Senin, 13 Juli 2015

SASTRA BANDINGAN BERDASARKAN PERBEDAAN LETAK GEOGRAFIS


SASTRA BANDINGAN
BERDASARKAN PERBEDAAN LETAK GEOGRAFIS


Description: E:\--photo--\logo _UNM.jpg


OLEH
KELOMPOK II

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015




Cinderella
Di sebuah kota, ada seorang anak perempuan yang cantik dan baik hatinya. Cinderella namanya. Cinderella tinggal bersama ibu tiri dengan kedua kakak tirinya dimana mereka selalu berbuat jahat kepada Cinderella. Cinderella selalu disuruh melakukan semua pekerjaan rumah, dibentak dan dimarahi oleh kedua kakak serta ibu tirinya. Bahkan dengan kejamnya kadang Cinderella hanya diberi makan satu kali setiap hari. Bahkan mereka memanggilnya Cinderela yang mempunyai arti gadis yang penuh debu dan kotor. Namun, walau mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, Cinderella mempunyai hati yang bersih. Dia tidak pernah membalas perlakuan jahat kakak dan ibu tirinya dengan kejahatan pula. Sebaliknya, Cinderella dengan tulus selalu menerima perlakuan itu dan mengerjakan semuanya dengan lapang dada.
            Pada suatu ketika, Istana mengadakan sebuah pesta. Para pengawal kerajaan menyebarkan surat undangan pesta tersebut. keluarga Cinderella pun mendapat undangan tersebut. ibu dan kakak tiri Cinderella pun begitu senang. Bahkan mereka berencana untuk berdandan secantik – cantiknya dengan harapan siapa tau pangeran kerajaan itu tertarik dengan mereka, sehingga mereka bisa menjadi putri raga. Wah asyiknya ya, ayo kita dandan secantik – cantiknya. Kalau aku bisa jadi putri, tentu ibu juga akan senang dan bahagia , kata kedua kakak tiri cinderela kepada sang ibu tiri. Mendengar hal itu, cinderela rupanya tertarik untuk ikut ke pesta itu. Namun ketika dia berkata kepada ibu tiri dan kedua kakaknya bahwa dia mau ikut, Cinderella malah dimarahi. “Kamu tidak boleh ikut!!” Kata kakak tiri Cinderella. Jika kamu ikut, mau pakai apa kamu ? Baju mu jelek semua, badanmu pun kotor ! lanjut kakak tiri cinderela dengan penuh amarah. Begitu sedihnya Cinderella mendengar hal ini. Tak lama kemudia berangkatlah ibu tiri dan kedua kakak tiri Cinderella ke istana dengan tidak lupa menghina Cinderella terlebih dahulu sebelum berangkat. Hal ini membuat Cinderella bertambah sedih hingga menangis. Dia kemudian masuk ke kamar nya dan menangis tersedu – sedu.


            Ketika Cinderella sedang menangis tersedu – sedu di dalam kamarnya, tiba – tiba terdengar suara : “Cinderella, berhentilah menangis.” . Cinderella pun menjadi kaget. Dia mencari – cari asal suara itu. Kemudian dia menemukan bahwa ternyata yang berbicara adalah seorang peri. Peri tersebut tersenyum dengan sangat ramah. Peri itu kemudian berkata : “jangan menangis Cinderella, hapuslah air matamu. Bawalah empat ekor tikus dan dua ekor kadal ke kebun labu di halaman belakang rumah.” . Cinderella pun kemudian berhenti menangis dan menyeka airmatanya lalu menuruti kata  peri yang baik hati ini.
            Setelah sampai di kebun labu belakang rumah, ibu peri mengayunkan tongkat sihirnya sambil berkata “sim salabim”, lalu terjadilah keajaiban, 4 ekor tikus itu berubah menjadi empat ekor kuda, serta 2 kadal itu berubah menjadi dua orang sais. Ibu peri pun mengubah Cinderella menjadi putri yang cantik dengan gaun yang sangat indah dengan sepatu kaca yang sangat mengkilat. Begitu senangnya hati Cinderella sehingga dia menari dengan riang. Sang ibu peri pun berkata kepada Cinderella, berangkatlah ke pesta di istana, Cinderella, namun pulanglah sebelum jam 12 malam yang ditandai dengan lonceng pukul dua belas malam. Dikarenakan pengaruh sihir ini akan hilang setelah pukul 12 malam dan semuanya akan kembali seperti semula. “iya ibu peri, terima kasih banyak ibu peri.” Jawab Cinderella dengan riang gembira.
            Lalu berangkatlah Cinderella dengan kereta kudanya menuju pesta di istana. Setelah tiba di istana, ia langsung masuk ke aula istana. Begitu masuk, pandangan semua yang hadir tertuju pada Cinderella. Mereka sangat kagum dengan kecantikan Cinderela. “Cantiknya putri itu! Putri dari negara mana ya ?” Tanya mereka. Tak hanya itu, pangeran istana pun ikut terkagum – kagum dengan Cinderella. Sang Pangeran datang menghampiri Cinderela. “Putri yang cantik, maukah Anda menari dengan saya ?” katanya. “Ya!,” kata Cinderela sambil mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Mereka menari berdua dalam irama yang pelan. Ibu dan kedua kakak Cinderella yang berada di situ tidak menyangka kalau putri yang cantik itu adalah Cinderella. Pangeran terus berdansa dengan Cinderela. “Orang seperti andalah yang saya idamkan selama ini,” kata sang Pangeran. Wah ternyata sang pangeran sampai menyukai Cinderella. Dikarenakan hanyut oleh suasana, membuat Cinderella lupa akan waktu bahwa dia harus pulang sebelum jam dua belas malam. Ketika lonceng berdentang menandakan waktu jam 12 malam, membuat Cinderella kaget dan teringat pesan dari ibu peri bahwa setelah jam 12 malam, khasiat sihir akan menghilang. “Maaf Pangeran saya harus segera pulang..,”. Cinderela menarik tangannya dari genggaman pangeran dan segera berlari ke luar Istana. Di tengah jalan, sepatunya terlepas sebelah, tapi Cinderella tidak memperdulikannya, ia terus berlari.
            Pangeran yang kaget dengan peristiwa larinya Cinderella pun tidak tinggal diam. Pangeran mengejar Cinderella, tetapi ia kehilangan jejak Cinderela. Di tengah anak tangga, pangeran menemukan ada sebuah sepatu kaca kepunyaan Cinderella. Pangeran pun memungut sepatu itu. “Aku akan mencarimu, dan pasti bisa menemukanmu” kata pangeran dalam hati.
            Meskipun Cinderella kembali menjadi gadis yang kotor dan penuh debu, Cinderella bahagia karena bisa pergi ke pesta. Besok harinya, setelah pesta itu, pangeran memerintahkan para pengawal untuk mencari pemilik sepatu kaca yang dia temukan. Para pengawal yang dikirim Pangeran pun datang ke rumah-rumah yang ada anak gadisnya di seluruh pelosok negeri untuk mencocokkan sepatu kaca dengan kaki mereka, tetapi tidak ada yang cocok. Sampai akhirnya para pengawal tiba di rumah Cinderela. “Kami mencari gadis yang kakinya cocok dengan sepatu kaca ini,” kata para pengawal. Dengan penuh semangat, kedua kakak Cinderella mencoba sepatu tersebut, tapi kaki mereka terlalu besar. Namun mereka tetap memaksa kakinya dimasukkan ke sepatu kaca sampai kaki mereka menjadi lecet namun tetap tidak bisa masuk ke dalam 
sepatu kaca.
            Pada saat pengawal akan pergi dari rumah Cinderella, ternyata ada seorang pengawal yang melihat Cinderella. “Hai kamu, cobalah sepatu ini,” katanya. Mendengar hal ini Ibu tiri Cinderela menjadi marah,” tidak akan cocok dengan anak ini!”. Namun pengawal kerajaan tetap memerintahkan Cinderella untuk tetap mencobanya. “semua tetap memperoleh kesempatan untuk mencoba tanpa kecuali!!” kata pengawal kerajaan itu. Kemudian Cinderella menjulurkan kakinya. Ternyata sepatu tersebut sangat cocok. “Ah! Andalah Putri itu,” seru pengawal gembira. “Cinderella, selamat..,” Cinderella menoleh ke belakang, ternyata ibu peri sudah berdiri di belakangnya. “Mulai sekarang hiduplah berbahagia dengan Pangeran. Sim salabim!.,” kata ibu peri yang baik hati ini. Begitu peri membaca mantranya, Cinderela berubah menjadi seorang Putri yang memakai gaun pengantin. “Pengaruh sihir ini tidak akan hilang walau jam berdentang dua belas kali”, kata sang peri. Cinderela diantar oleh tikus-tikus dan burung yang selama ini menjadi temannya.
            Sesampainya di Istana, Pangeran menyambutnya sambil tersenyum bahagia. Akhirnya Cinderella menikah dengan Pangeran dan hidup Berbahagia untuk selamanya. Melihat hal ini membuat kakak-kakak tiri dan ibu tiri Cinderella bersikap baik dengan Putri Cinderella karena dia sekarang sang putri yang cantik. Ternyata Cinderella yang sudah menjadi putri ini sama sekali tidak menyimpan dendam dengan kakak-kakaknya dan ibu tirinya, bahkan Cinderella mau menerima dan memaafkan mereka walaupun sering disakiti. Kemudian berakhirlah dongeng dan cerita Cinderella dengan happy ending.


Kisah Ande-Ande Lumut
            Dahulu kala, ada dua buah kerajaan,  Kediri dan Jenggala. Kedua kerajaan itu berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Kahuripan. Raja Erlangga membagi kerajaan itu menjadi dua untuk menghindari perang saudara. Namun sebelum meninggal raja Erlangga berpesan bahwa kedua kerajaan itu harus disatukan kembali.
            Maka kedua raja pun bersepakat menyatukan kembali kedua kerajaan dengan menikahkan putera mahkota Jenggala, Raden Panji Asmarabangun dengan puteri Kediri, Dewi Sekartaji.
            Ibu tiri Sekartaji, selir raja Kediri, tidak menghendaki Sekartaji menikah dengan Raden Panji karena ia menginginkan puteri kandungnya sendiri yang nantinya menjadi ratu Jenggala. Maka ia menyekap dan menyembunyikan Sekartaji dan ibunya. Pada saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, puteri itu sudah menghilang. Raden Panji sangat kecewa. Ibu tiri Sekartaji membujuknya untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti Sekartaji, namun Raden Panji menolak.
Raden Panji kemudian berkelana. Ia mengganti namanya menjadi Ande-Ande Lumut. Pada suatu hari ia tiba di desa Dadapan. Ia bertemu dengan seorang janda yang biasa dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya sebagai anak dan sejak itu ia tinggal di rumah Mbok Randa. Ande-Ande Lumut kemudian minta ibu angkatnya untuk mengumumkan bahwa ia mencari calon isteri. Maka berdatanganlah gadis-gadis dari desa-desa di sekitar Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Tak seorangpun ia terima sebagai isterinya.
Sementara itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat untuk menemukan Raden Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda yang mempunyai tiga anak gadis, Klething Abang, Klething Ijo dan si bungsu Klething Biru. Ibu janda menerimanya sebagai anak dan diberi nama Klething Kuning.

Klething Kuning disuruh menyelesaikan pekerjaan sehari-hari dari membersihkan rumah, mencuci pakaian dan peralatan dapur. Pada suatu hari karena kelelahan Klething Kuning menangis. Tiba-tiba datang seekor bangau besar. Klething Kuning hampir lari ketakutan. Namun bangau itu berkata, “Jangan takut, aku datang untuk membantumu.” Bangau itu kemudian mengibaskan sayapnya dan pakaian yang harus dicuci Klething Kuning berubah menjadi bersih. Peralatan dapur juga dibersihkannya. Setelah itu bangau terbang kembali.
Bangau itu kembali setiap hari untuk membantu Klething Kuning. Pada suatu hari bangau menceritakan tentang Ande-Ande Lumut kepada Klething Kuning dan menyuruhnya pergi melamar. Klething Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.
Sementara itu ibu janda mengajak ketiga anak gadisnya ke Dadapan untuk melamar Ande-Ande Lumut. Di perjalanan mereka tiba di sebuah sungai yang sangat lebar. Tidak ada jembatan atau perahu yang melintas. Mereka kebingungan. Lalu mereka melihat seekor kepiting raksasa menghampiri mereka.

“Namaku Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?”
Mereka tentu saja mau.
“Tentu saja kalian harus memberiku imbalan.”
“Kau mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.
“Aku tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
Mereka terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.

Sesampainya di rumah mbok Randa, mereka minta bertemu dengan Ande-Ande Lumut. Mbok Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”
“Ibu,” sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka, aku tidak mau mengambil kekasih Yuyu Kangkang sebagai isteriku.”
Ibu Janda dan ketiga anak gadisnya terkejut mendengar jawaban Ande-Ande Lumut. Bagaimana pemuda itu tahu bahwa mereka tadi bertemu dengan kepiting raksasa itu? Dengan kecewa mereka pun pulang. Di rumah, Klething Kuning sudah menyelesaikan semua tugasnya berkat bantuan bangau ajaib. Bangau itu memberinya sebatang lidi.
Ketika ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning. Klething Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar. Kepiting raksasa itu mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya ke seberang sungai.
“Gadis cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang
“Tidak usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.
“Ayolah, kau tak perlu membayar,” Yuyu Kangkang mengejarnya.”Cukup sebuah ci... Aduh!”

Klething Kuning mencambuk Yuyu Kangkang dengan lidi pemberian bangau. Kepiting raksasa itu pun lari ketakutan. Klething Kuning kemudian mendekati tepi air sungai dan menyabetkan lidinya sekali lagi. Air sungai terbelah, dan ia pun bisa berjalan di dasar sungai sampai ke seberang.

Klething Kuning akhirnya tiba di rumah Mbok Randa. Mbok Randa menerimanya sambil mengernyitkan hidung karena baju Klething Kuning bau kotoran ayam. Ia pun menyilakan gadis itu masuk lalu ia pergi ke kamar Ande-Ande Lumut.

“Ande anakku, ada seorang gadis cantik, tetapi kau tak perlu menemuinya. Bajunya bau sekali, seperti bau kotoran ayam. Biar kusuruh ia pulang saja.”
“Aku akan menemuinya, Ibu,” kata Ande-Ande Lumut.
“Tetapi... ia...,” sahut Mbok Randa.
“Ia satu-satunya gadis yang menyeberang tanpa bantuan Yuyu Kangkang, ibu. Ialah gadis yang aku tunggu-tunggu selama ini.”
Mbok Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu.
Klething Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji Asmarabangun.
“Sekartaji, akhirnya kita bertemu lagi,” kata Raden Panji.

Raden Panji kemudian membawa Dewi Sekartaji dan Mbok Randa Dadapan ke Jenggala. Raden Panji dan Dewi Sekartaji pun menikah. Kerajaan Kediri dan Jenggala pun dipersatukan kembali.



Analisis unsur Intrinsik dan Ekstrinsik  cerita rakyat Ciderella dan Ande-ande Lumut
1.      Cinderella
a.       Tema
Tema yang terdapat dalam cerita ini adalah Persaingan untuk mendapatkan kebahagiaan dari seorang pangeran. Karena cinderella bersaing dengan orang-orang di seluruh negri beserta dua orang kakak tirinya. Demi mendapatkan cinta dari seorang pangeran yang mencari seorang pendamping hidup untuk dinikahinya.
b.      Alur
            Alur yang terdapat dongeng Cinderella adalah  maju (Linear).
c.       Penokohan
 Penokohan dalam cerita Cinderella bahwa Cinderella digambarkan sebagai gadis yang baik hati.
d.      Sudut Pandang
Sudut pandang yang diambil adalah peran ketiga.
e.       Amanat
Amanatnya adalah seseorang harus bersabar dan susah dahulu demi mendapatkan sebuah kebahagiaan.
2.      Ande-ande Lumut
a.       Tema
Tema yang terkandung dalam cerita ande-ande lumut adalah mencari pasangan yang jujur, sabar, baik hati, suci, setia dan tabah dalam menghadapi cobaan.
b.      Penokohan dan karakter
-          Ande-ande Lumut atau Raden Panji
Karakter : Bijaksana dan teguh pada pendirian
-          Kelnting Kuning atau Chandra Kirana
Karakter : sabar, baik, penolong, setia dan tabah dalam menghadapi cobaan.
-          Si Mbok
Karakter : jujur dan bijaksana
-          Klenting Merah
Karakter : Pemalas dan tidak sabaran.
-          Yuyu Kangkang
Karakter : penolong.
3.   Alur
Alur yang digunakan dalam cerita ini adalah alur maju (linear).
4.   Setting atau Latar
-          Tempat : Kerajaan Kediri.
-          Waktu : Pagi hari.
-          Suasana : Menegangkan
5.   Sudut Pandang
Cerita ini menggunakan sudut pandang orang ketiga
6.   Amanat
Amanat yang terkandung pada cerita ini adalah kesungguhan hati dapat membawa kebahagiaan dan orang yang berbudi luhur akan mendapat pahala.


C. Perbandingan Cerita Ande-ande Lumut dan Cinderella
Cinderela merupakan cerita yang sudah ada (dapat dikatakan sebagai cerita rakyat) di Inggris sedangkan Ande-Ande Lumut merupakan cerita rakyat di Indonesia. Berdasarkan setting tempat dan waktu dalam cerita serta wujud kedua cerita yang merupakan cerita rakyat (biasanya dalam pembuatan cerita rakyat menggunakan setting tempat dan waktu sesuai keadaan zaman pembuatan cerita tersebut) maka dapat diketahui bahwa kedua cerita tidaklah satu zaman . Dilihat dari perkembangan sejarah Inggris yang lebih dulu maju dibandingkan Indonesia maka cerita Cinderalatentunya dibuat lebih dahulu dari cerita Ande-Ande Lumut (sama-sama menggunakan setting masa kerajaan tetapi masa kerajaan di Inggris terjadinya lebih dulu dibandingkan masa kerajaan di Indonesia), sehingga dalam melakukan studi sastra bandingan dilakukan secara diakronis untuk menelusuri genetika teks sastra. Persamaan-persamaan dalam cerita semata-mata bukan karena dibuat pada zaman yang sama maupun mempunyai satu induk cerita tetapi karena masing-masing mempunyai kemampuan untuk menciptakannya dan kebetulan ceritanya hampir sama. Hal ini sesuai dengan Teori Survival kebudayaan Andrew Lang dapat dimasukkan ke dalam golongan teori poligenesis, karena mempunyai paham yang menganggap bahwa setiap kebudayaan di dunia ini mempunyai kemampuan untuk berevolusi. Oleh karena itu, masing-masing folk mempunyai kemampuan melahirkan unsur-unsur kebudayaan yang sama dalam setiap taraf evolusi yang sama. Jadi, jika sampai ada motif cerita rakyat yang sama dalam beberapa negara, maka hal itu karena masing-masing negara mempunyai kemampuan untuk menciptakannya, baik sendiri maupun sejajar (independent or paralel invention). Dalam mengkaji bandingan kedua teks cerita ini dapat berdasarkan empat asas pokok pembanding, yaitu genetik teks, generik teks, tematik teks, dan kesejajaran teks.
Dari segi genentik kedua cerita ini merupakan cerita rakyat yang menggunakan setting istana sentris yang mengambil latar lingkungan istana. Dalam segi bahasanya, kedua cerita tersebut sangatlah berbeda. Cinderela menggunakan bahasa Inggris sedangakan Ande-Ande Lumut menggunakan bahasa Jawa. Hanya saja kedua cerita tersebut telah digubah dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Secara generik kedua cerita tersebut sama-sama bergenre prosa (cerita rakyat).
Secara tematik juga dapat dikatakan hampir sama, yaitu menceritakan kehidupan gadis cantik yang hidup sengsara dan miskin tetapi kehidupannya berubah ketika bertemu jodohnya yang dari keluarga kaya (keluarga kerajaan). Dalam segi kesejajaran teks, kedua cerita tersebut memiliki banyak kesejajaran diantaranya dalam segi judul, tema, alur, karakterisasi/penokohan, setting, dan point of view serta amanat .

1.      Judul
Kedua cerita tersebut mempunyai kesejajaran dari segi judul, yaitu sama-sama mengambil judul dari tokoh utama dalam cerita yang bernama Cinderela dan Ande-Ande Lumut.
2.      Tema
Dalam segi tema sangatlah jelah kesejajaran kedua cerita tersebut yaitu menceritakan kehidupan gadis cantik yang hidup sengsara dan miskin tetapi kehidupannya berubah ketika bertemu jodohnya yang dari keluarga kaya (keluarga kerajaan).
3.      Alur
Pembahasan mengenai kesejajaran segi alur kedua cerita tersebut saya rasa tidak perlu dibahas satu persatu karena dasar alur kedua cerita sama. Alur ceritanya menceritakan kehidupan gadis cantik yang dibenci oleh saudara tirinya. Kemudian karena suatu keadaan (dalam cerita Cinderela karena ada pesta di istana yang digunakan pangeran untuk mencari jodoh sedangkan dalam Ande-Ande Lumut karena adanya sayembara untuk mencari jodoh) maka sang gadis tersebut bertemu jodohnya dan kehidupannya yang semula sengsara menjadi bahagia. Demikianlah akhir kedua cerita tersebut, sama-sama berakhir dengan kebahagiaan tokoh utama yang semula sengsara.
4.      Karakterisasi/Penokohan
Penokohan dalam kedua cerita juga mempunyai dasar yang sama. Ada tokoh pria yang merupakan orang kaya dan tampan (imej seorang lelaki idaman wanita) yang sedang mencari jodoh, didukung oleh orang disekelilingnya dalam mencari jodoh (dalam cerita Cinderela, pangeran dibantu oleh pengawal kerajaan sedang dalamAnde-Ande Lumut Ande-Ande lumut yang sebenarnya juga seorang anak raja dibantu oleh Mbok Randa Dadapan). Tokoh seorang gadis yang sangat baik hati, sabar, dan penyayang (Cinderela dan Klenting Kuning) tetapi selalu dibenci dan dimusihi saudara tirinya. Kemudian ada tokoh antagonis yang merupakan saudara tiri jahat yang selalu memusuhi tokoh sang gadis baik hati dan cantik.
5.      Setting
Setting kedua cerita rakyat tersebut menggunakan setting istana sentris atau masa-masa kerajaan. Setting tempatnya sangatlah sedikit, hanya berupa tempat inggal pangeran, tempat tinggal sang gadis yang disukai pangeran, dan setting perjalanan dari rumah sang gadis menuju ke tempat pangeran.
6.      Point of view
Pengarang kedua cerita menggunakan point of view orang ketiga. Disini pengarang bertindak sebagai yang maha tahu.
7.      Amanat
Amanat yang bisa diambil dari kedua cerita sama, yaitu kita harus senantiasa sabar dalam menghadapi cobaan. Kita harus menjadi orang yang baik hati, sabar, penyanyang, jujur, dan suka menolong. Kita janganlah suka iri dan benci serta jahat kepada orang lain, terlebih lagi kepada saudara sendiri.


Rabu, 01 Juli 2015

pokok dan tokoh sastra

Mata Kuliah: Pokok dan Tokoh Sastra Indonesia

NAWAL EL SAADAWI
BERSUARA DI BALIK JERUJI



OLEH
SRI RAHAYU ANDIRA
1251141006

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015





KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas  mata kuliah pokok dan tokoh sastra Indonesia ini dengan judul ” Nawal El Saadawi“ .
Dalam  penyelesaian tugas ini, penulis senantiasa mendapat bimbingan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya materi yang menguak tentang Iwan Simatupang ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan  ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan agar makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat. Amin.

Makassar,  Juni 2015

Penulis





DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB  I 
A.    Biografi Nawal El Saadawi
B.     Perjalanan Kepenulisan Nawal El Saadawi
BAB II
A.    Ideologi Nawal El Saadawi
B.     Citra Perempuan Dalam Karya Nawal El Saadawi
C.     Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
Data Sumber











BAB I
SASTRAWATI DALAM BANGSAL PELACUR
A.    Biografi Nawal El Saadawi
Nawal sadawi dilahirkan di kota Kafr Tahla Delta Mesir. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri sipil Menteri Pendidikan Ibunya berasal dari keluarga menengah keatas. Menurut kebiasaan pada umumnya,orang tua mengirimkan ke Sembilan saudaranya, tidak hanya laki-laki saja disekolah Nawal El Sadawi adalah seorang murid yang baik dan pada tahun 1949 dia masuk sekolah kedokteran. Dia belajar di Universitas Cairo dia mendapat gelar MD pada 1955, kemudian dia kuliah di universitas Colombia new York, dia mendapat gelar Master Public Healt pada tahun 1966, kemudian dia menikah dengan Ahmed Helmi seorang mahasiswa kedokteran dan pejuang kebebasan, di akhir penjajahan.
Suami keduanya adalah Wartawan tradisional yang mana Nawal Saadawi diceraikan ketika dia tidak menerima tulisannya. dia telah memulai menulis pada waktu kecil pada tahun 1964 kemudian dia menikah dengan Sherif Hetata, seorang dokter dan novelis. Dia telah menerjemahkan sebagian buku-bukunya kedalam bahasa inggris dari beberapa buku karangan El Saadawi, anak -anaknya juga menjadi penulis yang kreatif.

            Setelah lulus kuliah , dia bekerja di universitas kedokteran dan dua tahun di Rural Healt Cevtre di tahla. Dari tahun 1958-1972 El Sadawi menjabat sebagai Dirjen Publik Healt Education yang berada di mesir. Dia juga bekerja sebagai ketua editor di healt majalah dan asisten sekertaris jenderal persatuan dokter mesir. Pada tahun 1972 el sadawi diterima dari pos kementerian penerbitan al mar’ah wa al jin, beliau trauma pada semua subjek di Negara itu yang menjadi tabu.
.
            Kebiasaan/ tradisi orang muslim, ibunya sangat keras pada saadawis, dia dikhitan ketika berumur 6 tahun. Walaupun umrnya masih terlalu muda. Telah disahkan lagi pada tahun 1990. Lalu kesehatannya menurun dan buku-bukunya mulai di sensor sedangkan di Negara kita segala sesuatunya ditangani oleh Negara-negara bagian dan secara tidak langsung berada di bawah direktur kontroling. Latar penulisannya adalah memori dari tahanan wanita , hokum yang diketahui dari tradisi yang sudah lama ditetapkan hingga pada akar-akarnya takut pada aturan Negara atau penguasa.

B.     Perjalanan  Kepenulisan Nawal El Saadawi
Nawal El Saadawi adalah seorang penulis terkenal di dunia. Dia adalah seorang novelis, seorang psikiater, dan penulis lebih dari empat puluh buku fiksi dan non fiksi. Dia menulis dalam bahasa Arab dan tinggal di Mesir. Novel dan buku-bukunya tentang situasi perempuan memiliki efek mendalam pada generasi muda perempuan dan laki-laki selama lima dekade terakhir.
Pada tahun 1972, ia kehilangan pekerjaan di Departemen Kesehatan Mesir karena bukunya Women and Sex diterbitkan dalam bahasa Arab di Kairo (1969) dan dilarang oleh otoritas politik dan agama, karena dalam beberapa bab dari buku ini ia menulis terhadap Female Genital Mutilation (FGM) dan terkait dengan masalah seksual dan ekonomi politik penindasan. Majalah Health, yang ia dirikan dan telah disunting untuk lebih dari tiga tahun, itu ditutup pada tahun 1973. Pada September 1981 Presiden Sadat memasukkannya ke dalam penjara. Dia telah dirilis pada akhir November 1981, dua bulan setelah pembunuhan. Dia menulis bukunya “Memoar dari Penjara Perempuan” di gulungan kertas toilet dan pensil alis diselundupkan ke selnya oleh seorang wanita muda yang dipenjarakan di bangsal pelacur. Dari 1988-1993 namanya menduga pada daftar kematian yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi politik keagamaan fanatik.
Tanggal 15 Juni 1991, pemerintah mengeluarkan surat keputusan untuk menutup Arab Women’s Solidarity Association yang ia pimpin dan menyerahkan dananya ke perkumpulan yang disebut Women in Islam. Enam bulan sebelum Keputusan ini pemerintah menutup majalah Zuhur,diterbitkan oleh Arab Women’s Solidarity Association. Dia adalah seorang editor majalah.
Selama musim panas 2001, tiga dari buku dicekal di Cairo International Book Fair. Dia dituduh murtad pada tahun 2002 oleh seorang pengacara fundamentalis yang mengangkat kasus ke pengadilan karena ia telah meminta dengan paksa untuk bercerai dari suaminya, Dr Sheriff Hetata. Pada 28 Januari 2007, Nawal El Saadawi dan putrinya Mona Helmy, seorang penyair dan penulis, dituduh murtad dan diinterogasi oleh Jaksa Penuntut Umum di Kairo karena tulisan-tulisan mereka untuk menghormati nama ibu.
Nawal El Saadawi telah diberikan beberapa hadiah sastra nasional dan internasional, berceramah di banyak universitas, dan berpartisipasi dalam banyak konferensi internasional dan nasional. Tanggal 3 Mei 2009, ia mempresentasikan The Arthur Miller Lecture di Pen International Literary Festival yang berlangsung di New York. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari tiga puluh bahasa di seluruh dunia, dan beberapa dari mereka yang mengajar di sejumlah universitas di berbagai negara.



BAB II
PEREMPUAN DAN SEX
A.    Ideologi Nawal El Saadawi
Melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku terkenalnya al-Mar’ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex),83 Sa’dawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex. Dalam bukunya yang lain Woman at Point Zero, dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya tentang nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan.
Masalah diskriminasi wanita, menurut Sa’dawi tidak bisa diselesaikan lewat persamaan sex atau –apa lagi– lewat agama. Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global ekonomi dan politik sebuah negara. Wanita tertindas karena struktur patriarkal social Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan wanita. Dalam tradisi agama, wanita dihargai setengah, dan yang setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat secara bebas.
Menurut Sa’dawi: “Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara.” Sedikit berbeda dengan Sa’dawi, Fatima Mernissi tidak menafikan pentingnya factor ekonomi dan politik dalam sebuah negara –untuk menentukan nasib kaum wanita khususnya. Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu “discourse tentang wanita” yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab.
Menurut Nawal Sadawi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif –dari perspektif apa saja. Nawal Sadawi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.
Nawal Sadawi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya, “perdebatan di sekitar turats  tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita”.
Nawal Sadawi memandang turats secara negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk konteks modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat Arab sekarang sangat kompleks. Kendati demikian, bukan berarti Nawal Sadawi sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas.
Dalam banyak tulisannya, dengan keras ia mengecam Barat.
Model feminisme yang dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk lain. Nawal Sa’dawi hanya menekankan pada peran dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat permasalahan pada level ideology sosial, Khalida Sa’id menganjurkan komitmen kebersamaan mutlak (total societal commitment). Yang dimaksud Khalida dengan jargon ini adalah pembebasan wanita lewat kebersamaan sosial, termasuk lewat jalur radikal –revolusi atau oposisi. Tesis Khalida ini berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang menurutnya, sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu pihak kepada kelas sosial dan di lain pihak kepada keluarga. Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida, wanita Arab tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan contoh sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan kepada lelaki agar eksistensinya ada, seperti mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya si A), mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si A), seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan lain-lain.
            Berbicara tentang perspektif jender dalam sastra Islam, kita memang tidak dapat melewatkan karya-karya Nawal el-Sadawi, seperti Perempuan di Titik Nol, yang sangat menggetarkan. Siapapun kaum perempuan yang membaca novel tersebut akan terdorong untuk bangkit guna melawan diskriminasi jender dan menolak penindasan kaum laki-laki terhadap kaumnya (perempuan). Diduga, budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan’ lelaki, itu merupakan pengaruh bersama antara budaya Barat yang sekuler dan budaya feodal dari kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Timur yang kemudian ‘diadopsi’ secara tersembunyi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang mengalami degradasi nilai. Suatu tradisi budaya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sejati, yang sesungguhnya muliakan kaum perempuan sebagai ‘ibu kehidupan’.
Nawal el-Sadawi, yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional Mesir. Seperti tergambar dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami diskriminasi jender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena ditempatkan sebagai ‘kaum kelas dua’, perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.

Melihat nasib kaumnya yang sangat menyedihkan, Nawal el-Sadawi terpanggil untuk mencatat kesaksian, menyodorkan realitas pahit yang berabad-abad tersembunyi, dan mendorong proses perubahan, melalui karya sastra (novel). Karya-karyanya, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia, seperti Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang Penguasa, Memoar Seorang Dokter Perempuan, dan Catatan dari Penjara Perempuan, membuka mata jutaan manusia dari dunia Islam untuk menyadari keadaan untuk melakukan perubahan. Potret diskriminasi terhadap hak-hak perempuan memang telah banyak diangkat dalam berbagai bentuk media, tak terkecuali dalam karya sastra. Sastra menawarkan ruang sunyi untuk merefleksikan segala peristiwa dalam hidup manusia. Sastra juga kerap dijadikan media yang ampuh untuk smelawan segala bentuk ketimpangan karena salah kaprahnya sistem yang berlaku di tengah masyarakat. Melalui novel-novelnya, Nawal el-Sadawi hendak membebaskan kaum perempuan dari penindasan kaum lelaki.
Di negara-negara berkembang, hak-hak perempuan di wilayah-wilayah strategis memang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Secara tak langsung ini menandakan hadirnya imperialisme gender yang sama-sama sadis. Jika kita menyimak histori bangsa Arab jahiliyah, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib bagi sebuah keluarga. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kehadiran perempuan merupakan alamat buruk.
Kita mengenal Nawal el Sadawi, sastrawati asal Mesir yang begitu meledak-ledak dalam setiap karyanya. Namun berbeda dengan karya yang satu ini, para penikmat sastra akan diajak menyimak perlawanan para perempuan Lebanon yang berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat, sebagai istri bagi suami, maupun sebagai ibu dari anak-anak mereka.s
B.     Citra Perempuan Dalam Karya Nawal El Saadawi
Nawal  El Saadawi bukanlah nama yang asing lagi bagi masyarakat sastra di Indonesia. Wanita kelahiran Kafr Tahla-tepi Sungai Nil-Mesir, 72 tahun yang lalu ini selalu membangkitkan emosi pembaca dengan bahasa emotif (emotife language) di dalam setiap karyanya. Sejauh pengamatan sastra Arab yang telah dikaji, dalam setiap karya Nawal el Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus penggambaran realitas sosial politik dengan menggunakan colloquaialism atau gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel analitik. Nawal el Saadawi tidak mengikuti aliran al-fanna al-kamil (keindahan) yang kebanyakan digunakan sastrawan Arab.
Bahasa sarkatis yang sering digunakan Nawal ini cukup membuat geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Hal itu harus dibayar mahal olehnya. Pada 6 September 1981 ia dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan yang sah. Namun, di dalam sel Saadawi terus berkarya. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi diam-diam tetap menulis. Sekeluarnya dari penjara, tulisan itu menghasilkan esai berjudul Memoar dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, dia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut.

Potret Nawal Sebagai Seorang Feminis
Penulis Lillian Robinson ( 1970 ) pernah mengatakan bahwa pertanyaan paling penting yang dapat kita tanyakan kepada diri sebagai pengamat sastra yang feminis adalah: “ lalu, apa ?” Terimplikasi didalam pertanyaan itu adalah suatu sudut pandang yang merasuki ilmu sosial pada umumnya—bahwa tujuan dari pada segala karsa dan karya kita adalah untuk melakukan pengubahan terhadap tatanan dunia. Memulai dengan pertanyaan “lalu, apa ?” berarti kita menyandang pula sejumlahpertanyaan lain, seperti : Apatujuan saatra , dan dengan sendirinya, apa tujuan kritik sastra terhadap keadaan sosial dan perekonomian kehidupan kita semua ?
Sebagian besar pengamatan sastra yang berwawasan feminis bergerak di dalam pencerahan inti dari gerakan feminisme itu sendiri yakni bahwasanya gender adalah konstruk sosial, dan bahwasanya konstruksi tersebut telah memaksakan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang. Dari sudut pandang tersebut, tidak sulit kita mencapai asumsi bahwa hasil-hasil kesadaran masyarakat, misalnya sastra dan kritik sastra, juga merupakan konstruk sosial, dan bahwa dengan sendirinya kedua itu pun surat unsur politis. Sebagaimana upaya-upaya pengkajian perempuan pada umumnya, kritik sastra berwawasan feminis bertolak dari asumsi bahwa kita harus menciptakan pegetahuan kita sendiri, dan senantiasa menciptakannya kembali dalam batasan-batasan yang di berikan oleh sejarah—dan bahwa dalam menciptakan pengetahuan, kita lalu bertindak terhadap hubungan kekuasaan di dalam kehidupan kita.
Sebagai pengamat sastra yang feminis kita bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman kita tentang teks sastra dapat kita uraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai pengkajian atas sejarah dan pengkajian yang berdampak politis, terakhir, kita pun dapat melakukan penulusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metoda untuk membentuk kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang di buat oleh dan perempuan.
Ternyata, mengatakan bahwa sastra dan kebudayaan adalah produk politik berarti kita menantang moda berpikir yang dominant di masyarakat kita. Ada pemahaman di dalam kesastraan, yang di sebut formalisme, yang melihat sastra sebagai terpisah dari sejarah, tidak menjadi bagian dari ulur kehidupan realitas umat manusia. Ada pula pendapat bahwa sejarah, terutama sejarah modern, pada intinya adalah suatu kisah penderitaan individu, suatu penderitaan yang dibuat universal.dan dijamin keberadaanya dalam kondisi kemanusiaan. Salah satu isu pokok bagi feminisme adalah kontruksi cultural yang disebut subjektifitas. Didalam orgumentasi yang bergentayangan mengenai feminisme,dan bahkan diantara feminis itu sendiri, hampir selalu muncul pernyataan: mengapa gerangan perempuan tidak bersatu saja dan menggulingkan dan patriarki yang dikatakan menjadi sumber ketertindasan perempuan secara universal. Dan, mengapa jika semua perempuan menderita dibawah patriarki, tidak semua perempuan jadi feminis ? sementara itu, ada pula tudingan yang mengatakan bahwa, tampa sadar, sering kali kaum feminis sendiri secara tidak sengaja berkolusi dengan nilai-nilai serta asumsi-asumsi patriarchal yang merusak dalam kehidupan masyarakat.
Masalahnya, subyektivitas itu sendiri menjadi bagian dari konvensi, pendidikan dan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya. Kritik sastra yang berwawasan feminis juga mengakui bahwa sastra ikut andil dalam proses mengkonstruksikan subjektivitas itu. Dalam esainya yang terkenal, “Ideology and ideological apparatuses”, Louis Althusser mengikutsertakan sastra dalam lembaga-lembaga ideology yang menyumbang terhadap proses mereproduksi hubungan-hubungan produksi, atau hubungan-hubungan sosial yang menjadi kondisi mutlak bagi eksistensi dan kelestarian mode produksi kapitalistik.
Argumentasinya disini adalah bahwa tidak saja kesusastraan mewakili mitos dan versi-versi khayalan dari hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan nyata yang pada gilirannya membentuk ideology, tetapi juga bahwa fiksi realis (bentuk kesusastraan yang paling dominan diabad ke-20 ini), menghadang si pembaca dengan berbicara langsung kepadanya, sembari menawarkan kepadanya suatu posisi yang paling “mungkin” baginya untuk membaca teks itu, yakni sebagai pemeran di dalam ideology itu sendiri.
Menurut Althusser, ideology bukan suatu rentetan ilusi belaka. Ia merupakan suatu sistem perwakilan (dikursus, imaji dan mitos) yang terkait dengan hubungan-hubungan nyata yang dihidupi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan sesungguhnya. Namun, katanya, “Apa yang terwakilkan di dalam ideologi itu bukannya sistem dari hubungan-hubungan nyata yang mengatur eksistensi manusia, tetapi hubungan khayalan individu-individu itu terhadap hubungan sesungguhnya yang mereka hidupi. “(Althusser 1971, p. 155). Dengan lain perkataan, ideology merupakan suatu hubungan kenyataan mau pun hubungan khayalan dengan dunia. Tetapi, lanjut Althusser, tujuan akhir dari semua ideology adalah sang subjek (atau individu di dalam masyarakat). Dengan begitu adalah peran mutlak dari ideology untuk mengkonstruk manusia untuk dijadikannya sebagai subjek.
Untuk kaitan argumentasi Untuk kaitan argumentasi ini dengan topik hari ini, ada pendapat bahwa bahasalah yang memberikan peluang untuk munculnya subjektivitas, karena bahasalah yang memungkinkan seorang pembicara untuk menempatkan dirinya sebagai Aku, sebagai pokok dari sebuah kalimat. Dalam bahasalah maka manusia menempatkan dirinya sebagai subjek. Sang subjek dikonstruk di dalam bahasa dan di dalam diskursus. Karena tatanan simbolik dalam penggunaan bahasa berhubungan erat dengan ideology, maka sang subjek pun dikonstruk di dalam ideologi. Ideologi meredam peran bahasa dalam konstruk subjek. Sebagai akibat, individu “mengenal” diri sendiri lewat cara ideologi menegur dirinya, menyebut dirinya dan menempatkan dirinya itu. Akhirnya, individu “bergerak sendiri”, bertindak atas “kemauan sendiri”, dan mengambil peran-peran partisipatif sebagai subjek di dalam formasi sosial.
Dalam bahasa patriarkal, perempuan “memilih sendiri” untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, merawat anak, berkorban demi keluarga, dan bukan menjadi insinyur, misalnya penggunaan subjek disini memiliki dua sisi. Bukan saja subjek dalam artian gramatikanya, yang adalah penggerak dan penanggung jawab atas setiap tindak-tanduknya sendiri, tetapi juga sebagai mahluk yang disubjekkan, yang tunduk pada otoritas formasi sosial yang di dalam ideologi dominant merupakan subjek absolute (misalnya Tuhan, Raja, Bos, Sang Pria, Kemanusiaan, hatinurani). Dalam bahasa hukum, individu dilihat sebagai “subjek yang bebas yang dapat tunduk dengan keinginannya sendiri kepada garisan-garisan yang ditetapkan subjek”, artinya individu jadi bebas memilih pendudukannya.
Ideologi cenderung menghadang sosok individu sebagai subjek, dan di dalamnya sang subjek diberi jatidiri yang pasti. Misalnya, kalimat “kita orang Timur”, membuat orang terpaku pada norma-norma yang sudah ditetapkan sebagai adat ketimuran. Atau “memang itu sifat manusia”, membuat segala sesuatu sudah “begitu sehingga tidak mungkin lagi ada upaya untuk mengubahnya. Jacques Lacan, seorang penelaah teori Freud, memilih sang subjek antara aku yang dipersepsi, dengan aku yang melakukan persepsi. Menurutnya, terdapat kontradiksi antara diri yang disadari, yakni diri yang tampil sendiri di dalam diskursus, dengan diri yang Cuma sebagian ditampilkan, yakni diri yang muncul dalam suatu percakapan dengan masyarakat. Di dalam kesenjangan kedua diri inilah, kata Lacan, muncul apa yang disebut bawah sadar.
Penulis Mesir yang di Indonesia paling dikenal berkat novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, Nawal El Saadawi, akan melangkah lebih jauh untuk melanjutkan perjuangan kemanusiaannya, terutama yang berhubungan dengan kaum perempuan Arab. Ia menyatakan akan mencalonkan dirinya dalam pemilihan presiden Mesir pada Oktober 2005. Kepada harian setempat al-Masry al-Youm, perempuan berusia 73 tahun itu mengatakan bahwa ia akan mencalonkan diri dengan program-program politik, sosial, dan ekonomi. Katanya pula, ia akan menentang apa yang disebutnya sebagai kolonialisme Amerika-Israel di Mesir dan kawasan Arab.
Jika pencalonannya diajukan, Saadawi akan menjadi perempuan pertama novelis, dan penulis. Ibu dua anak tersebut juga pejuang hak asasi kaum perempuan Arab. Kontribusinya tak putus - putus dalam debat mengenai masalah - masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan Arab. Istri dokter sekaligus novelis Mesir Sherif Yousseff Hetata itu sudah lama menjadi sosok yang kontroversial. Tulisan-tulisan sastra dan ilmiahnya kerap mendatangkan kesulitan dan, bahkan, bahaya baginya.
Pada 1972, ia kehilangan pekerjaannya di pemerintahan. Majalah-majalah yang dibikin, dipimpin, dan melibatkannya sebagai editor, yaitu Health dan Noon, ditutup oleh pemerintah Mesir. Sejumlah dari buku-bukunya dilarang beredar di Mesir dan sejumlah negara Arab. Presiden Anwar Sadat menjebloskannya ke penjara pada 1981. Pemerintah Mesir juga menutup salah satu organisasi yang dipimpinnya, Arab Women’s Solidarity Association, pada 1991. Karya-karya dari penerima sejumlah penghargaan internasional itu telah beredar secara luas di seluruh dunia dalam 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Sosok Perempuan Dalam Karya-Karya Nawal El-Sa’dawi
Perempuan sebagai kelompok di dalam masyarakat merupakan ciptaan tetapi sekaligus juga diredam oleh diskursus yang kontradiktif. Contohnya begini, secara garis besar, terutama dalam tatanan masyarakat urban dan berpendidikan, perempuan ikut partisipasi dalam diskursus kebebasan, penentuan nasib sendiri dan rasionalitas sosial. Tetapi pada saat bersamaan, perempuan juga terlibat dalam diskursus khas perempuan yang ditawarkan masyarakat, misalnya sebagai mahluk yang tunduk, pasif, dituntun intuisi dan dirasuki ketidakmampuan. Maka terjadilah kesenjangan antara Aku-nya perempuan yang tampil sebagai sendiri dan Aku-nya yang muncul cuma sebagian. Tidak heran muncul tekanan-tekanan yang tidak nyaris tidak tertahankan, karena kedua aku saling bertentangan. Untuk mengakomodasikan kesenjangan tersebut, mudah sekali bagi perempuan untuk mundur saja dengan kalimat, “Saya toh cuma perempuan”.
Mengkaji perempuan di dalam sastra, dengan pemusatan perhatian pada sastra akhir abad 20 di Negara Arab, menarik untuk dilihat bahwa bersamaan dengan perangkulan kapitalisme dalam tatanan negara, kita lihat pula bangkitnya aliran realisme klasik sebagai gaya yang paling digemari dalam sastra, film dan drama televisi. Hal itu konon berlaku dimana-mana kapitalisme industrial merasuk. Mungkin karena realisme klasik menawarkan kepada pembacanya tidak saja posisi yang menelaah teks agar mudah dicernakan, tetapi juga posisi sebagai muara pemahaman serta peluang bertindak sesuai dengan pemahaman itu.
Dalam membahas bagaimana ideologi gender diproduksi dan direproduksi dalam praktek-praktek kebudayaan, satu hal perlu kita tekankan : seyogyanya jangan sampai menjadikan teks itu sendiri sebagai dasar analisis. Jadi, teks tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana sudah lama menjadi titik tolak kritik sastra. Jika membatasi analisis hanya pada isi teks itu sendiri berarti menjadikan objek analisis itu sebagai dasar keterangan untuk dirinya sendiri, suatu hal yang rasanya mustahil dilakukan. Beberapa pengkajian kritik sastra mengatakan bahwa menyempitkan masalah cuma pada teks belaka merupakan suatu bentuk reduksionisme yang sia-sia belaka.
Argumentasi yang sama diajukan oleh Tineke Hellwigg (1990), bahwasanya, “Sejak dulu kesusastraan dianggap sebagai proses komunikasi. Ada pengarang, ada teks (karya), ada pembaca dan ada kenyataan (semesta). Peranan kenyataan dalam proses komunikasi ini selalu dianggap paling ruwet. Pengarang dan pembaca hidup dalam suatu kenyataan sosial, tetapi kenyataan sosialistik yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks mengemukakan sejenis kenyataan, tetapi kenyataan dalam teks tak perlu sama dengan realitas hidup yang dihadapi pengarang atau pu pembaca.
Analisis terhadap proses-proses ini, menurut Eagleton, lalu harus juga memaktubkan penelaahan terhadap tahap-tahap pengembangan kekuatan-kekuatan yang menghasilkan karya tersebut (misalnya teknologi percetakan) serta hubungan-hubungan dalam mana karya itu dihasilkan (misalnya siapa yang memberikan izin, atau menjadi patronnya). Analisis demikian mutlak ada untuk membedah arti hakiki teks itu sendiri. Artinya, kondisi-kondisi material produksi begitu terinternalisasi, setiap karya sastra menunjukkan sendiri tatakrama bagaimana karya itu harus dikonsumsi, serta secara mantap mengisyaratkan ciri-ciri ideologinya sekitar untuk siapa, oleh siapa dan bagaimana karya itu dihasilkan.
Antologi cerita pendek Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga secara eksplisit mendeskripsikan kehidupan tertindas terombang-ambing oleh kekuatan dan kekuasaan. Cerpen pertama Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga, Nawal el Saadawi secara impresif mengisahkan tokoh Zainab dalam menapaki kehidupan. Kegetiran, kepedihan, dan segala kesengsaraan yang selalu menguntit setiap napasnya, dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Ia mendeskripsikan dengan jelas, pure, serta alur ceritanya yang rapi runtut mengenai bagaimana Zainab mendapatkan perlakuan tidak adil oleh orang-orang sekelilingnya karena ketidakberdayaannya sebagai seorang anak-perempuan-istri. Zainab hanya bisa pasrah dengan segala macam ancaman dan siksaan yang mendera hidupnya.
Dengan suspense yang terus meningkat, Nawal el Saadawi mengeksplorasikan kepasrahan dan ketidakberdayaan Zainab, "Sebelum subuh ia sudah dibangunkan oleh tamparan ibunya agar ia mau membawa kapas di atas kepalanya. Ia tidak mengenal apa pun kecuali kata ’Ya’, dan bila bapaknya mengikatnya di tempat bajak sebagai ganti kerbau yang sakit, dia tidak mengatakan apa pun kecuali ’Ya’. Suaminya tidak pernah mengangkat matanya untuk menatapnya sekalipun, dan di saat suaminya itu tidur di atasnya, sedangkan ia lagi demam, ia tidak berkata apa-apa kecuali kata ’Ya’." Ekspresionisme yang diungkapkan Nawal El Saadawi dalam setiap karyanya ini kerap mendobrak doktrin-doktrin dominasi laki-laki terhadap wanita (androsentrisme) seperti dituturkan dalam cerpen Kisah Fathiah al-Misriyah. Dalam cerpen ini diceritakan bagaimana Fathiah digambarkan sebagai wanita yang memberontak oleh aturan-aturan hidup yang menyudutkan hidupnya. Ia ingin membunuh bapaknya yang menurutnya telah menjual dirinya (menikahkan) pada seseorang konglomerat dari Mekkah yang usianya jauh lebih tua dari bapaknya.
Rentetan frasa dengan nada provokatif serta suspense yang terus meningkat, membuat cerita ini meninggalkan kesan yang sangat dalam, bahwa penulis menentang kultur sekaligus doktrin dan undang- undang di negaranya. Hal itu bisa ditemukan dalam :
“Matinya Sang Penguasa” … “Saat suaminya kembali dari ladang, dan karena ia tidak menemukan sang anak dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiyatnya. “Setiap anak laki-lakinya meninggal suaminya
“Perempuan di Titik Nol” “Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya muka dan badan sata menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman adalah seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. (Saddawi, 1992 : 64)
“Memoar Seorang Dokter Perempuan” …Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya ? Mengapa tak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan ? Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tak mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya. (Saddawi, 1995 : 84).
“Tak ada Tempat Bagi Perempuan di Surga… "Bapakku memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah undang-undang tidak menghukum bapakku serta tidak menghukum suami Rabiah. Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang memperjualbelikan kami atas nama nikah yang sah, talak atau poligami yang sah" (Saddawi, 2003 : 158).
Di sisi lain, ada yang menarik dari karya Nawal, yaitu keberaniannya melontarkan sarkastis kepada pemerintah. Seperti yang ditulisnya di Catatan dari Penjara Perempuan, "Jika pihak penguasa marah pada seorang pengarang bersangkutan dapat diberangus dan suaranya dibungkam, sehingga tak terdengar lagi oleh siapa pun. Seorang pengarang tak mungkin mencapai puncak kesusastraan dan bertahan di sana, jika tak direstui oleh pemerintah" (Saadawi 1992 : 6-7).
Pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan emosi para pembaca.
Tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup. Seperti karya-karyanya yang terdahulu, Memoar Seorang Dokter Perempuan, Matinya Seorang Menteri, Catatan dari Penjara Perempuan, Perempuan di Titik Nol, dan Kabar dari Penjara, semua mengangkat hal yang sama. Semua tidak lepas dari uraian jiwa Nawal (sekaligus tokoh dalam karya sastra) yang mengalami guncangan hidup dan depresi yang sangat dalam. Tidak ada satu pun karyanya bisa membuat para pembaca tersenyum atau tertawa. Aliran naturalisme-realisme yang dianut oleh Nawal el Saadawi, di sisi lain ditemukan adanya suatu kejanggalan yang terkesan dibuat- buat, yaitu tema yang diangkat selalu menampilkan penderitaan hidup, tidak menampilkan kebahagiaan hidup di hati tokohnya, seakan hidup ini adalah penderitaan tiada akhir. Padahal Tuhan selalu menghiasi suka dan duka di hati hamba- hamba-Nya.
Namun Nawal begitu pandai menyembunyikan kesan itu dengan rising plot (alur menanjak), di mana jalinan peristiwa dalam karya yang dihasilkannya terus menanjak, tanpa ada peleraian sampai cerita itu selesai di puncak. Kesan itu benar-benar tak terbaca oleh para pembaca.
Suatu pola kritik sastra berwawasan feminis berasumsi bahwa perempuan secara universal bukanlah mahluk yang serupa, bahwa hubungan-hubungan mereka juga di tentukan oleh ras , kelas dan identipikasi seksual. Namun ada konstruksi yang serupa yang serupa yang dapat dikatakan universal yang diberlakukan terhadap perempuan, yakni konstruksi yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi dominan. Dalam sekian posisi yang diberikan oleh ideologi tersebut kepada perempuan, terdapat sekian yang tidak lompatibel, bahkan kontradiktif satu sama lainya. Ini melahirkan sekian tekanan-tekanan dan akan melahirkan sekian respons.
Pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan emosi para pembaca. Adapun tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup

C.     Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
Karya sastra Muslim di Timur Tengah adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang berbagai dimensi kehidupan  masyarakat Muslim di Timur Tengah, mulai dari budaya, tradisi, setting, dan yang terpenting adalah latar belakang pengarang berasal dari Timur Tengah. Ia bersifat realis, tidak bersifat fantasi. Di antara salah satu karya sastra yang lahir di wilayah ini adalah Perempuan di Titik Nol (PTN) karya Nawal el Saadawi.

            Nawal el Saadawi adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita. Dilahirkan di sebuah desa bernama Karf Tahla di tepi sungai Nil, ia memulai prakteknya di daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit - rumah sakit di Kairo, dan terakhir menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir.

            Kehadiran Nawal dalam mendobrak ketidakadilan atas perempuan Mesir, menakuti Anwar el Sadat selaku pimpinan Negara pada saat itu. Nawal dianggap membahayakan nasionalis Mesir dengan karya-karyanya yang mencoba menyudutkan budaya patriarki sebagai budaya yang memiliki pengikut terbanyak di Mesir kala itu. 



Mesir Pada Tahun 1970an

            Seperti sudah diketahui sebelumnya, Perempuan di Titik Nol merupakan novel karya Nawal el Saadawi yang lahir pada tahun 1973. Dan pada tahun yang sama Mesir mengalami goncangan dahsyat dari pemerintahan Israel. Mesir dibantu oleh Syria untuk melancarkan serangan-serangan terhadap angkatan bersenjata Israel. Perang pun tidak bisa dihindari, perselisihan antara Mesir dan Israel berlangsung dari 06 Oktober hingga 25 Otktober 1973, oleh karena itu perang tersebut dikenal sebagai Perang Oktober atau Ramadhan atau Perang Yom Kippur. Seperti dalam Perang Atrisi sebelumnya, tujuan negara-negara Arab adalah mendapatkan kembali wilayah yang diduduki oleh Israel sejak Perang 1967.

            Kesombongan orang-orang Israel terhadap bangsa Arab telah menyesatkan bukan hanya dunia melainkan juga diri mereka sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian, Israel mengalami salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika Israel tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir-Syria terhadap pasukan pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973. Bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan negara-negara Arab.

            Pada April 1973, Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan. Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di muka saya oleh Israel, dengan restu Amerika. Telah tiba waktunya untuk sebuah kejutan. Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi." Begitu kata Anwar el Sadat dalam wawancara terbukanya.

            Akibat dari peperangan itu tidak hanya dirasakan oleh pemerintahan Mesir saja, melainkan juga berakibat pada organisasi-organisasi kecil yang didirikan oleh rakyat mesir. Pada September 1981, Anwar Sadat mengenakan tindakan represif kepada organisasi pergerakan Islam yang dianggapnya fundamentalis, termasuk organasasi kaum Feminis yang didirikan oleh Nawal el Saadawi yang menurutnya dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir. 

Pengaruh Nawal el Sadawi dan Karyanya Terhadap Mesir

            Dari tahun 1973 sampai 1976 Nawal menjadi sorang peneliti perempuan dan neurosis di Fakultas Ain Syams University of Medicine. Hasil penelitiaanya dipublikasikan Perempuan dan Neurosis di Mesir Pada tahun 1976 dengan judul Perempuaan dan Neeurosis, termasuk memasukan  20 study  penelitiaan yang mendalam tentang kasus perempuan di penjara-penjara dan rumah sakit. Novel dan buku-bukunya tentang perempuan (feminisme) memiliki efek yang mendalam pada generasi ke generasi secara berturut-turut baik perempuan muda dan laki-laki selama lima dekade terakhir.

Tidak sebatas itu, El Saadawi juga mengadakan penelitiaan tentang aborsi. ia melakukan penelitiaan tersebut dikarnakan melihat banyak sekali realitas sosial yang sangat steriotip sebagai jawaban dari maraknya tindakan aborsi ilegal perempuan Mesir. hasil penelitiaan ini sangatlah mengejutkan dimana tindakan aborsi marak dilakukan oleh keluarga yang mampu dibanding dengan keluarga yang tidak mampu, presentasi perbandingannya hampir tiga kali lipat. Kesimpulan lain aborsi ini dilakukan oleh perempuan yang belum menikah, dari kalangan perempuan yang belum menikah presentasinya 90 persen berusia sekitar 25-35 tahun dan rata rata mereka sudah memiliki anak satu, dua atau lebih.

            Pada tahun 1972, tulisan pertamanya dalam buku non-fiksi, selalu berjudul tentang Perempuan dan Masalah Seks. Semua karyanya saat itu terkait dengan subjek yang sangat tabu; yakni tentang feminisme, gender, perempuan dan seksualitas, dan juga subyek sensitif, patriarki, budaya, politik dan agama. Nawal El Sa’dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah Negara yang kebetulan saat itu sedang bersiap melawan pasukan Israel. Publikasi ini membangkitkan kemarahan otoritas politik dan teologis saat itu, dan Departemen Kesehatan memaksanya untuk memundurkan diri dan memecatnya. Di bawah tekanan yang sama ia kehilangan posisinya sebagai Pemimpin Redaksi sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.

            Pada 1973, lahirlah novel yang membuat bulu kuduk merinding, Perempuan di Titik Nol menjadi serangan susulan dari Nawal el Saadawi untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Salah satu faktor yang melatar belakangi penulisan novel ‘Perempuan di Titik Nol’ adalah pengalaman Nawal Pada tahun 1969 yang melakukan observasi dan perjalanan ilmiah ke Sudan. Perjalanannya kesudan ini dalam rangka melihat lebih dekat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan yang dilakukan secara tradisional, menyakitkan dan sangat berbahaya terhadap keselamatan bagi perempuaan itu sendiri.

Melihat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan tersebut, di Mesir sendiri penyunatan itu dilakukan dengan cara hanya memotong sebagiaan dari klitoris tetapi di Sudan pemotongan tersebut dilakukan pada klitoris, dua bibir luar (labia minora). Akibat dari penyunatan yang tidak mengenal medis itu, banyak dari kaum perempuaan yang terkena infeksi akut atau kronis sehingga mereka tersiksa selama hidupnya. bahkan diantara mereka tidak sedikit yang kehilangan nyawanya sebagai akibat dari cara-cara yang primitif dan tidak manusiawi dalam mengoprasi.

            Pada tahun 1977, ia menerbitkan karya yang paling terkenal, The Hidden Face Hawa, yang meliputi sejumlah topik relatif terhadap wanita Arab seperti agresi terhadap anak-anak perempuan dan pemotongan alat kelamin perempuan, prostitusi, hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme Islam.

Melihat dari itu semua kasus-kasus diatas bisa terjadi karena sangat berhubungan erat dengan persoalan konsep kepemimpinan dalam keluarga yang patriarki. kepemimpinan keluarga yang diserahkan kepaada kaum laki-laki secara mutlak, ditambah kaum lelaki tersebut tidak memahami konsep gender dan feminimitas dalam keluarga apalagi melihat sosial-kultur kebudayaan arab yang sangat patriarikat juga pemahaman mereka terhadap tafsir teologi agama yang kurang akan melahirkan ketimpangan dan ketidak adilan terhadap kaum perempuaan. Kaum perempuan berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut.

Atas gebrakan yang dilakukan Saadawi dengan memunculkan karya-karyanya termasuk novel Perempuan di Titik Nol, akhirnya pada tahun 1980, sebagai puncak dari perang lama ia berjuang untuk kemerdekaan perempuan Mesir dalam segala aspek, terutama dalam aspek sosial dan intelektual. Semua kegiatan/ekspresi perempuaan telah ditutup, perempuan tidak mempunyai hak dan peranannya dalam membangun negara karena tempatnya hanya dirumah untuk menjadi ibu rumah tangga, perempuaan dipenjarakan di bawah rezim Sadat, atas tuduhan "kejahatan terhadap Negara”. El Saadawi menyatakan "Saya ditangkap karena saya percaya Sadat Dia mengatakan ada demokrasi dan kami memiliki sistem multi-partai dan Anda bisa mengkritik. Jadi saya mulai mengkritik kebijakannya dan saya mendarat di penjara." Begitu kata Nawal el Sadawi. Meskipun dalam penjara, El Saadawi terus melawan penindasan. DanPada September 1981, Anwar el Sadat menutup semua organisasi yang didirikan oleh Nawal dan juga organisasi-organisasi lain yang dianggap membahayakan Mesir.

Bahkan setelah dia dibebaskan dari penjara, kehidupan El Saadawi itu terancam oleh orang-orang yang menentang pekerjaannya,  terutama kaum Islam fundamentalis, dan penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di Giza selama beberapa tahun sampai dia meninggalkan negara untuk menjadi profesor tamu di universitas di Amerika Utara .

Konsep Pemikiran Nawal el Saadawi

Sebagai seorang tokoh yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-hak perempuaan dan aktivis pergerakan pembebasan kaum perempuaan, El Saadawi bahu membahu untuk mengadvokasikan kepada kaum perempuaan di dunia bahwa  pembebasan kaum perempuan dari patriarki budaya masyarakat dan belenggu sistem sosial yang ada, hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuaan itu sendiri. Perempuaan harus kuat di mulai dari pribadinya masing-masing. menurut beliau perempuaan harus bisa terbebaskan dan berani menyikap tabir pikiran mereka, yaitu kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang selama ini melekat pada kaum perempuan. Sehingga nantinya akan muncul sebuah kesadaran baru pada diri mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara dirinya dan kaum lelaki.

Konsep pemikiran Nawal El Sadaawi tentang feminisme bisa dilihat dari tujuan ia mendirikan organisasi perempuan yang ia dirikan AWSA (Arabic Women's Solidarity Association). menurut asumsinya feminisme adalah penyikapan tabir yang menyelimuti pikiran kaum perempuaan. El Saadawi dalam mengungkapkan pemikirannya tidak jarang harus menolak norma-norma yang telah mapan. bahkan ia berani bersebrangan dengan pemerintahan Mesir dan menjadikannya sebagai oposisinya terhadap segala kebijakan pemerintah, tradisi masyarakat yang bertentangan dengan nalar dan keyakinannya beserta tidak menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan. Tentu itu semua harus dibayar dengan harga mahal dan ada pengorbanannya, ia sering keluar masuk penjara, banyak sekali teror dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya. kini El Sadawi menghabiskan sisa hidupnya di Eropa dan Amerika dan sesekali berkunjung ke tanah kelahirannya di Mesir.




















DAFTAR PUSTAKA

____________. 1992. Perempuan di Titik Nol. Jakarta : Yayasan Obor