Rabu, 01 Juli 2015

pokok dan tokoh sastra

Mata Kuliah: Pokok dan Tokoh Sastra Indonesia

NAWAL EL SAADAWI
BERSUARA DI BALIK JERUJI



OLEH
SRI RAHAYU ANDIRA
1251141006

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015





KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas  mata kuliah pokok dan tokoh sastra Indonesia ini dengan judul ” Nawal El Saadawi“ .
Dalam  penyelesaian tugas ini, penulis senantiasa mendapat bimbingan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya materi yang menguak tentang Iwan Simatupang ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan  ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan agar makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat. Amin.

Makassar,  Juni 2015

Penulis





DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB  I 
A.    Biografi Nawal El Saadawi
B.     Perjalanan Kepenulisan Nawal El Saadawi
BAB II
A.    Ideologi Nawal El Saadawi
B.     Citra Perempuan Dalam Karya Nawal El Saadawi
C.     Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
Data Sumber











BAB I
SASTRAWATI DALAM BANGSAL PELACUR
A.    Biografi Nawal El Saadawi
Nawal sadawi dilahirkan di kota Kafr Tahla Delta Mesir. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri sipil Menteri Pendidikan Ibunya berasal dari keluarga menengah keatas. Menurut kebiasaan pada umumnya,orang tua mengirimkan ke Sembilan saudaranya, tidak hanya laki-laki saja disekolah Nawal El Sadawi adalah seorang murid yang baik dan pada tahun 1949 dia masuk sekolah kedokteran. Dia belajar di Universitas Cairo dia mendapat gelar MD pada 1955, kemudian dia kuliah di universitas Colombia new York, dia mendapat gelar Master Public Healt pada tahun 1966, kemudian dia menikah dengan Ahmed Helmi seorang mahasiswa kedokteran dan pejuang kebebasan, di akhir penjajahan.
Suami keduanya adalah Wartawan tradisional yang mana Nawal Saadawi diceraikan ketika dia tidak menerima tulisannya. dia telah memulai menulis pada waktu kecil pada tahun 1964 kemudian dia menikah dengan Sherif Hetata, seorang dokter dan novelis. Dia telah menerjemahkan sebagian buku-bukunya kedalam bahasa inggris dari beberapa buku karangan El Saadawi, anak -anaknya juga menjadi penulis yang kreatif.

            Setelah lulus kuliah , dia bekerja di universitas kedokteran dan dua tahun di Rural Healt Cevtre di tahla. Dari tahun 1958-1972 El Sadawi menjabat sebagai Dirjen Publik Healt Education yang berada di mesir. Dia juga bekerja sebagai ketua editor di healt majalah dan asisten sekertaris jenderal persatuan dokter mesir. Pada tahun 1972 el sadawi diterima dari pos kementerian penerbitan al mar’ah wa al jin, beliau trauma pada semua subjek di Negara itu yang menjadi tabu.
.
            Kebiasaan/ tradisi orang muslim, ibunya sangat keras pada saadawis, dia dikhitan ketika berumur 6 tahun. Walaupun umrnya masih terlalu muda. Telah disahkan lagi pada tahun 1990. Lalu kesehatannya menurun dan buku-bukunya mulai di sensor sedangkan di Negara kita segala sesuatunya ditangani oleh Negara-negara bagian dan secara tidak langsung berada di bawah direktur kontroling. Latar penulisannya adalah memori dari tahanan wanita , hokum yang diketahui dari tradisi yang sudah lama ditetapkan hingga pada akar-akarnya takut pada aturan Negara atau penguasa.

B.     Perjalanan  Kepenulisan Nawal El Saadawi
Nawal El Saadawi adalah seorang penulis terkenal di dunia. Dia adalah seorang novelis, seorang psikiater, dan penulis lebih dari empat puluh buku fiksi dan non fiksi. Dia menulis dalam bahasa Arab dan tinggal di Mesir. Novel dan buku-bukunya tentang situasi perempuan memiliki efek mendalam pada generasi muda perempuan dan laki-laki selama lima dekade terakhir.
Pada tahun 1972, ia kehilangan pekerjaan di Departemen Kesehatan Mesir karena bukunya Women and Sex diterbitkan dalam bahasa Arab di Kairo (1969) dan dilarang oleh otoritas politik dan agama, karena dalam beberapa bab dari buku ini ia menulis terhadap Female Genital Mutilation (FGM) dan terkait dengan masalah seksual dan ekonomi politik penindasan. Majalah Health, yang ia dirikan dan telah disunting untuk lebih dari tiga tahun, itu ditutup pada tahun 1973. Pada September 1981 Presiden Sadat memasukkannya ke dalam penjara. Dia telah dirilis pada akhir November 1981, dua bulan setelah pembunuhan. Dia menulis bukunya “Memoar dari Penjara Perempuan” di gulungan kertas toilet dan pensil alis diselundupkan ke selnya oleh seorang wanita muda yang dipenjarakan di bangsal pelacur. Dari 1988-1993 namanya menduga pada daftar kematian yang dikeluarkan oleh organisasi-organisasi politik keagamaan fanatik.
Tanggal 15 Juni 1991, pemerintah mengeluarkan surat keputusan untuk menutup Arab Women’s Solidarity Association yang ia pimpin dan menyerahkan dananya ke perkumpulan yang disebut Women in Islam. Enam bulan sebelum Keputusan ini pemerintah menutup majalah Zuhur,diterbitkan oleh Arab Women’s Solidarity Association. Dia adalah seorang editor majalah.
Selama musim panas 2001, tiga dari buku dicekal di Cairo International Book Fair. Dia dituduh murtad pada tahun 2002 oleh seorang pengacara fundamentalis yang mengangkat kasus ke pengadilan karena ia telah meminta dengan paksa untuk bercerai dari suaminya, Dr Sheriff Hetata. Pada 28 Januari 2007, Nawal El Saadawi dan putrinya Mona Helmy, seorang penyair dan penulis, dituduh murtad dan diinterogasi oleh Jaksa Penuntut Umum di Kairo karena tulisan-tulisan mereka untuk menghormati nama ibu.
Nawal El Saadawi telah diberikan beberapa hadiah sastra nasional dan internasional, berceramah di banyak universitas, dan berpartisipasi dalam banyak konferensi internasional dan nasional. Tanggal 3 Mei 2009, ia mempresentasikan The Arthur Miller Lecture di Pen International Literary Festival yang berlangsung di New York. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih dari tiga puluh bahasa di seluruh dunia, dan beberapa dari mereka yang mengajar di sejumlah universitas di berbagai negara.



BAB II
PEREMPUAN DAN SEX
A.    Ideologi Nawal El Saadawi
Melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku terkenalnya al-Mar’ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex),83 Sa’dawi memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum lelakinya tentang perempuan dan sex. Dalam bukunya yang lain Woman at Point Zero, dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya tentang nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan.
Masalah diskriminasi wanita, menurut Sa’dawi tidak bisa diselesaikan lewat persamaan sex atau –apa lagi– lewat agama. Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global ekonomi dan politik sebuah negara. Wanita tertindas karena struktur patriarkal social Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan wanita. Dalam tradisi agama, wanita dihargai setengah, dan yang setengah itupun selalu dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat secara bebas.
Menurut Sa’dawi: “Keduanya bukan masalah agama sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara.” Sedikit berbeda dengan Sa’dawi, Fatima Mernissi tidak menafikan pentingnya factor ekonomi dan politik dalam sebuah negara –untuk menentukan nasib kaum wanita khususnya. Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu “discourse tentang wanita” yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab.
Menurut Nawal Sadawi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif –dari perspektif apa saja. Nawal Sadawi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.
Nawal Sadawi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya, “perdebatan di sekitar turats  tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita”.
Nawal Sadawi memandang turats secara negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk konteks modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat Arab sekarang sangat kompleks. Kendati demikian, bukan berarti Nawal Sadawi sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas.
Dalam banyak tulisannya, dengan keras ia mengecam Barat.
Model feminisme yang dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk lain. Nawal Sa’dawi hanya menekankan pada peran dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat permasalahan pada level ideology sosial, Khalida Sa’id menganjurkan komitmen kebersamaan mutlak (total societal commitment). Yang dimaksud Khalida dengan jargon ini adalah pembebasan wanita lewat kebersamaan sosial, termasuk lewat jalur radikal –revolusi atau oposisi. Tesis Khalida ini berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang menurutnya, sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu pihak kepada kelas sosial dan di lain pihak kepada keluarga. Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida, wanita Arab tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan contoh sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan kepada lelaki agar eksistensinya ada, seperti mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya si A), mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si A), seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan lain-lain.
            Berbicara tentang perspektif jender dalam sastra Islam, kita memang tidak dapat melewatkan karya-karya Nawal el-Sadawi, seperti Perempuan di Titik Nol, yang sangat menggetarkan. Siapapun kaum perempuan yang membaca novel tersebut akan terdorong untuk bangkit guna melawan diskriminasi jender dan menolak penindasan kaum laki-laki terhadap kaumnya (perempuan). Diduga, budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan’ lelaki, itu merupakan pengaruh bersama antara budaya Barat yang sekuler dan budaya feodal dari kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Timur yang kemudian ‘diadopsi’ secara tersembunyi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang mengalami degradasi nilai. Suatu tradisi budaya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sejati, yang sesungguhnya muliakan kaum perempuan sebagai ‘ibu kehidupan’.
Nawal el-Sadawi, yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional Mesir. Seperti tergambar dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami diskriminasi jender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena ditempatkan sebagai ‘kaum kelas dua’, perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.

Melihat nasib kaumnya yang sangat menyedihkan, Nawal el-Sadawi terpanggil untuk mencatat kesaksian, menyodorkan realitas pahit yang berabad-abad tersembunyi, dan mendorong proses perubahan, melalui karya sastra (novel). Karya-karyanya, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia, seperti Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang Penguasa, Memoar Seorang Dokter Perempuan, dan Catatan dari Penjara Perempuan, membuka mata jutaan manusia dari dunia Islam untuk menyadari keadaan untuk melakukan perubahan. Potret diskriminasi terhadap hak-hak perempuan memang telah banyak diangkat dalam berbagai bentuk media, tak terkecuali dalam karya sastra. Sastra menawarkan ruang sunyi untuk merefleksikan segala peristiwa dalam hidup manusia. Sastra juga kerap dijadikan media yang ampuh untuk smelawan segala bentuk ketimpangan karena salah kaprahnya sistem yang berlaku di tengah masyarakat. Melalui novel-novelnya, Nawal el-Sadawi hendak membebaskan kaum perempuan dari penindasan kaum lelaki.
Di negara-negara berkembang, hak-hak perempuan di wilayah-wilayah strategis memang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Secara tak langsung ini menandakan hadirnya imperialisme gender yang sama-sama sadis. Jika kita menyimak histori bangsa Arab jahiliyah, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib bagi sebuah keluarga. Tak jarang ada yang beranggapan bahwa kehadiran perempuan merupakan alamat buruk.
Kita mengenal Nawal el Sadawi, sastrawati asal Mesir yang begitu meledak-ledak dalam setiap karyanya. Namun berbeda dengan karya yang satu ini, para penikmat sastra akan diajak menyimak perlawanan para perempuan Lebanon yang berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai seorang perempuan di tengah-tengah masyarakat, sebagai istri bagi suami, maupun sebagai ibu dari anak-anak mereka.s
B.     Citra Perempuan Dalam Karya Nawal El Saadawi
Nawal  El Saadawi bukanlah nama yang asing lagi bagi masyarakat sastra di Indonesia. Wanita kelahiran Kafr Tahla-tepi Sungai Nil-Mesir, 72 tahun yang lalu ini selalu membangkitkan emosi pembaca dengan bahasa emotif (emotife language) di dalam setiap karyanya. Sejauh pengamatan sastra Arab yang telah dikaji, dalam setiap karya Nawal el Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus penggambaran realitas sosial politik dengan menggunakan colloquaialism atau gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel analitik. Nawal el Saadawi tidak mengikuti aliran al-fanna al-kamil (keindahan) yang kebanyakan digunakan sastrawan Arab.
Bahasa sarkatis yang sering digunakan Nawal ini cukup membuat geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Hal itu harus dibayar mahal olehnya. Pada 6 September 1981 ia dijebloskan ke dalam penjara Barrages di Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal melawan pemerintahan yang sah. Namun, di dalam sel Saadawi terus berkarya. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi diam-diam tetap menulis. Sekeluarnya dari penjara, tulisan itu menghasilkan esai berjudul Memoar dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, dia mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan penyebab masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut.

Potret Nawal Sebagai Seorang Feminis
Penulis Lillian Robinson ( 1970 ) pernah mengatakan bahwa pertanyaan paling penting yang dapat kita tanyakan kepada diri sebagai pengamat sastra yang feminis adalah: “ lalu, apa ?” Terimplikasi didalam pertanyaan itu adalah suatu sudut pandang yang merasuki ilmu sosial pada umumnya—bahwa tujuan dari pada segala karsa dan karya kita adalah untuk melakukan pengubahan terhadap tatanan dunia. Memulai dengan pertanyaan “lalu, apa ?” berarti kita menyandang pula sejumlahpertanyaan lain, seperti : Apatujuan saatra , dan dengan sendirinya, apa tujuan kritik sastra terhadap keadaan sosial dan perekonomian kehidupan kita semua ?
Sebagian besar pengamatan sastra yang berwawasan feminis bergerak di dalam pencerahan inti dari gerakan feminisme itu sendiri yakni bahwasanya gender adalah konstruk sosial, dan bahwasanya konstruksi tersebut telah memaksakan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang. Dari sudut pandang tersebut, tidak sulit kita mencapai asumsi bahwa hasil-hasil kesadaran masyarakat, misalnya sastra dan kritik sastra, juga merupakan konstruk sosial, dan bahwa dengan sendirinya kedua itu pun surat unsur politis. Sebagaimana upaya-upaya pengkajian perempuan pada umumnya, kritik sastra berwawasan feminis bertolak dari asumsi bahwa kita harus menciptakan pegetahuan kita sendiri, dan senantiasa menciptakannya kembali dalam batasan-batasan yang di berikan oleh sejarah—dan bahwa dalam menciptakan pengetahuan, kita lalu bertindak terhadap hubungan kekuasaan di dalam kehidupan kita.
Sebagai pengamat sastra yang feminis kita bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman kita tentang teks sastra dapat kita uraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai pengkajian atas sejarah dan pengkajian yang berdampak politis, terakhir, kita pun dapat melakukan penulusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metoda untuk membentuk kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang di buat oleh dan perempuan.
Ternyata, mengatakan bahwa sastra dan kebudayaan adalah produk politik berarti kita menantang moda berpikir yang dominant di masyarakat kita. Ada pemahaman di dalam kesastraan, yang di sebut formalisme, yang melihat sastra sebagai terpisah dari sejarah, tidak menjadi bagian dari ulur kehidupan realitas umat manusia. Ada pula pendapat bahwa sejarah, terutama sejarah modern, pada intinya adalah suatu kisah penderitaan individu, suatu penderitaan yang dibuat universal.dan dijamin keberadaanya dalam kondisi kemanusiaan. Salah satu isu pokok bagi feminisme adalah kontruksi cultural yang disebut subjektifitas. Didalam orgumentasi yang bergentayangan mengenai feminisme,dan bahkan diantara feminis itu sendiri, hampir selalu muncul pernyataan: mengapa gerangan perempuan tidak bersatu saja dan menggulingkan dan patriarki yang dikatakan menjadi sumber ketertindasan perempuan secara universal. Dan, mengapa jika semua perempuan menderita dibawah patriarki, tidak semua perempuan jadi feminis ? sementara itu, ada pula tudingan yang mengatakan bahwa, tampa sadar, sering kali kaum feminis sendiri secara tidak sengaja berkolusi dengan nilai-nilai serta asumsi-asumsi patriarchal yang merusak dalam kehidupan masyarakat.
Masalahnya, subyektivitas itu sendiri menjadi bagian dari konvensi, pendidikan dan kebudayaan dalam arti seluas-luasnya. Kritik sastra yang berwawasan feminis juga mengakui bahwa sastra ikut andil dalam proses mengkonstruksikan subjektivitas itu. Dalam esainya yang terkenal, “Ideology and ideological apparatuses”, Louis Althusser mengikutsertakan sastra dalam lembaga-lembaga ideology yang menyumbang terhadap proses mereproduksi hubungan-hubungan produksi, atau hubungan-hubungan sosial yang menjadi kondisi mutlak bagi eksistensi dan kelestarian mode produksi kapitalistik.
Argumentasinya disini adalah bahwa tidak saja kesusastraan mewakili mitos dan versi-versi khayalan dari hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan nyata yang pada gilirannya membentuk ideology, tetapi juga bahwa fiksi realis (bentuk kesusastraan yang paling dominan diabad ke-20 ini), menghadang si pembaca dengan berbicara langsung kepadanya, sembari menawarkan kepadanya suatu posisi yang paling “mungkin” baginya untuk membaca teks itu, yakni sebagai pemeran di dalam ideology itu sendiri.
Menurut Althusser, ideology bukan suatu rentetan ilusi belaka. Ia merupakan suatu sistem perwakilan (dikursus, imaji dan mitos) yang terkait dengan hubungan-hubungan nyata yang dihidupi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan sesungguhnya. Namun, katanya, “Apa yang terwakilkan di dalam ideologi itu bukannya sistem dari hubungan-hubungan nyata yang mengatur eksistensi manusia, tetapi hubungan khayalan individu-individu itu terhadap hubungan sesungguhnya yang mereka hidupi. “(Althusser 1971, p. 155). Dengan lain perkataan, ideology merupakan suatu hubungan kenyataan mau pun hubungan khayalan dengan dunia. Tetapi, lanjut Althusser, tujuan akhir dari semua ideology adalah sang subjek (atau individu di dalam masyarakat). Dengan begitu adalah peran mutlak dari ideology untuk mengkonstruk manusia untuk dijadikannya sebagai subjek.
Untuk kaitan argumentasi Untuk kaitan argumentasi ini dengan topik hari ini, ada pendapat bahwa bahasalah yang memberikan peluang untuk munculnya subjektivitas, karena bahasalah yang memungkinkan seorang pembicara untuk menempatkan dirinya sebagai Aku, sebagai pokok dari sebuah kalimat. Dalam bahasalah maka manusia menempatkan dirinya sebagai subjek. Sang subjek dikonstruk di dalam bahasa dan di dalam diskursus. Karena tatanan simbolik dalam penggunaan bahasa berhubungan erat dengan ideology, maka sang subjek pun dikonstruk di dalam ideologi. Ideologi meredam peran bahasa dalam konstruk subjek. Sebagai akibat, individu “mengenal” diri sendiri lewat cara ideologi menegur dirinya, menyebut dirinya dan menempatkan dirinya itu. Akhirnya, individu “bergerak sendiri”, bertindak atas “kemauan sendiri”, dan mengambil peran-peran partisipatif sebagai subjek di dalam formasi sosial.
Dalam bahasa patriarkal, perempuan “memilih sendiri” untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, merawat anak, berkorban demi keluarga, dan bukan menjadi insinyur, misalnya penggunaan subjek disini memiliki dua sisi. Bukan saja subjek dalam artian gramatikanya, yang adalah penggerak dan penanggung jawab atas setiap tindak-tanduknya sendiri, tetapi juga sebagai mahluk yang disubjekkan, yang tunduk pada otoritas formasi sosial yang di dalam ideologi dominant merupakan subjek absolute (misalnya Tuhan, Raja, Bos, Sang Pria, Kemanusiaan, hatinurani). Dalam bahasa hukum, individu dilihat sebagai “subjek yang bebas yang dapat tunduk dengan keinginannya sendiri kepada garisan-garisan yang ditetapkan subjek”, artinya individu jadi bebas memilih pendudukannya.
Ideologi cenderung menghadang sosok individu sebagai subjek, dan di dalamnya sang subjek diberi jatidiri yang pasti. Misalnya, kalimat “kita orang Timur”, membuat orang terpaku pada norma-norma yang sudah ditetapkan sebagai adat ketimuran. Atau “memang itu sifat manusia”, membuat segala sesuatu sudah “begitu sehingga tidak mungkin lagi ada upaya untuk mengubahnya. Jacques Lacan, seorang penelaah teori Freud, memilih sang subjek antara aku yang dipersepsi, dengan aku yang melakukan persepsi. Menurutnya, terdapat kontradiksi antara diri yang disadari, yakni diri yang tampil sendiri di dalam diskursus, dengan diri yang Cuma sebagian ditampilkan, yakni diri yang muncul dalam suatu percakapan dengan masyarakat. Di dalam kesenjangan kedua diri inilah, kata Lacan, muncul apa yang disebut bawah sadar.
Penulis Mesir yang di Indonesia paling dikenal berkat novelnya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, Nawal El Saadawi, akan melangkah lebih jauh untuk melanjutkan perjuangan kemanusiaannya, terutama yang berhubungan dengan kaum perempuan Arab. Ia menyatakan akan mencalonkan dirinya dalam pemilihan presiden Mesir pada Oktober 2005. Kepada harian setempat al-Masry al-Youm, perempuan berusia 73 tahun itu mengatakan bahwa ia akan mencalonkan diri dengan program-program politik, sosial, dan ekonomi. Katanya pula, ia akan menentang apa yang disebutnya sebagai kolonialisme Amerika-Israel di Mesir dan kawasan Arab.
Jika pencalonannya diajukan, Saadawi akan menjadi perempuan pertama novelis, dan penulis. Ibu dua anak tersebut juga pejuang hak asasi kaum perempuan Arab. Kontribusinya tak putus - putus dalam debat mengenai masalah - masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan Arab. Istri dokter sekaligus novelis Mesir Sherif Yousseff Hetata itu sudah lama menjadi sosok yang kontroversial. Tulisan-tulisan sastra dan ilmiahnya kerap mendatangkan kesulitan dan, bahkan, bahaya baginya.
Pada 1972, ia kehilangan pekerjaannya di pemerintahan. Majalah-majalah yang dibikin, dipimpin, dan melibatkannya sebagai editor, yaitu Health dan Noon, ditutup oleh pemerintah Mesir. Sejumlah dari buku-bukunya dilarang beredar di Mesir dan sejumlah negara Arab. Presiden Anwar Sadat menjebloskannya ke penjara pada 1981. Pemerintah Mesir juga menutup salah satu organisasi yang dipimpinnya, Arab Women’s Solidarity Association, pada 1991. Karya-karya dari penerima sejumlah penghargaan internasional itu telah beredar secara luas di seluruh dunia dalam 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Sosok Perempuan Dalam Karya-Karya Nawal El-Sa’dawi
Perempuan sebagai kelompok di dalam masyarakat merupakan ciptaan tetapi sekaligus juga diredam oleh diskursus yang kontradiktif. Contohnya begini, secara garis besar, terutama dalam tatanan masyarakat urban dan berpendidikan, perempuan ikut partisipasi dalam diskursus kebebasan, penentuan nasib sendiri dan rasionalitas sosial. Tetapi pada saat bersamaan, perempuan juga terlibat dalam diskursus khas perempuan yang ditawarkan masyarakat, misalnya sebagai mahluk yang tunduk, pasif, dituntun intuisi dan dirasuki ketidakmampuan. Maka terjadilah kesenjangan antara Aku-nya perempuan yang tampil sebagai sendiri dan Aku-nya yang muncul cuma sebagian. Tidak heran muncul tekanan-tekanan yang tidak nyaris tidak tertahankan, karena kedua aku saling bertentangan. Untuk mengakomodasikan kesenjangan tersebut, mudah sekali bagi perempuan untuk mundur saja dengan kalimat, “Saya toh cuma perempuan”.
Mengkaji perempuan di dalam sastra, dengan pemusatan perhatian pada sastra akhir abad 20 di Negara Arab, menarik untuk dilihat bahwa bersamaan dengan perangkulan kapitalisme dalam tatanan negara, kita lihat pula bangkitnya aliran realisme klasik sebagai gaya yang paling digemari dalam sastra, film dan drama televisi. Hal itu konon berlaku dimana-mana kapitalisme industrial merasuk. Mungkin karena realisme klasik menawarkan kepada pembacanya tidak saja posisi yang menelaah teks agar mudah dicernakan, tetapi juga posisi sebagai muara pemahaman serta peluang bertindak sesuai dengan pemahaman itu.
Dalam membahas bagaimana ideologi gender diproduksi dan direproduksi dalam praktek-praktek kebudayaan, satu hal perlu kita tekankan : seyogyanya jangan sampai menjadikan teks itu sendiri sebagai dasar analisis. Jadi, teks tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana sudah lama menjadi titik tolak kritik sastra. Jika membatasi analisis hanya pada isi teks itu sendiri berarti menjadikan objek analisis itu sebagai dasar keterangan untuk dirinya sendiri, suatu hal yang rasanya mustahil dilakukan. Beberapa pengkajian kritik sastra mengatakan bahwa menyempitkan masalah cuma pada teks belaka merupakan suatu bentuk reduksionisme yang sia-sia belaka.
Argumentasi yang sama diajukan oleh Tineke Hellwigg (1990), bahwasanya, “Sejak dulu kesusastraan dianggap sebagai proses komunikasi. Ada pengarang, ada teks (karya), ada pembaca dan ada kenyataan (semesta). Peranan kenyataan dalam proses komunikasi ini selalu dianggap paling ruwet. Pengarang dan pembaca hidup dalam suatu kenyataan sosial, tetapi kenyataan sosialistik yang mereka hadapi belum tentu kenyataan yang sama. Teks mengemukakan sejenis kenyataan, tetapi kenyataan dalam teks tak perlu sama dengan realitas hidup yang dihadapi pengarang atau pu pembaca.
Analisis terhadap proses-proses ini, menurut Eagleton, lalu harus juga memaktubkan penelaahan terhadap tahap-tahap pengembangan kekuatan-kekuatan yang menghasilkan karya tersebut (misalnya teknologi percetakan) serta hubungan-hubungan dalam mana karya itu dihasilkan (misalnya siapa yang memberikan izin, atau menjadi patronnya). Analisis demikian mutlak ada untuk membedah arti hakiki teks itu sendiri. Artinya, kondisi-kondisi material produksi begitu terinternalisasi, setiap karya sastra menunjukkan sendiri tatakrama bagaimana karya itu harus dikonsumsi, serta secara mantap mengisyaratkan ciri-ciri ideologinya sekitar untuk siapa, oleh siapa dan bagaimana karya itu dihasilkan.
Antologi cerita pendek Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga secara eksplisit mendeskripsikan kehidupan tertindas terombang-ambing oleh kekuatan dan kekuasaan. Cerpen pertama Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga, Nawal el Saadawi secara impresif mengisahkan tokoh Zainab dalam menapaki kehidupan. Kegetiran, kepedihan, dan segala kesengsaraan yang selalu menguntit setiap napasnya, dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Ia mendeskripsikan dengan jelas, pure, serta alur ceritanya yang rapi runtut mengenai bagaimana Zainab mendapatkan perlakuan tidak adil oleh orang-orang sekelilingnya karena ketidakberdayaannya sebagai seorang anak-perempuan-istri. Zainab hanya bisa pasrah dengan segala macam ancaman dan siksaan yang mendera hidupnya.
Dengan suspense yang terus meningkat, Nawal el Saadawi mengeksplorasikan kepasrahan dan ketidakberdayaan Zainab, "Sebelum subuh ia sudah dibangunkan oleh tamparan ibunya agar ia mau membawa kapas di atas kepalanya. Ia tidak mengenal apa pun kecuali kata ’Ya’, dan bila bapaknya mengikatnya di tempat bajak sebagai ganti kerbau yang sakit, dia tidak mengatakan apa pun kecuali ’Ya’. Suaminya tidak pernah mengangkat matanya untuk menatapnya sekalipun, dan di saat suaminya itu tidur di atasnya, sedangkan ia lagi demam, ia tidak berkata apa-apa kecuali kata ’Ya’." Ekspresionisme yang diungkapkan Nawal El Saadawi dalam setiap karyanya ini kerap mendobrak doktrin-doktrin dominasi laki-laki terhadap wanita (androsentrisme) seperti dituturkan dalam cerpen Kisah Fathiah al-Misriyah. Dalam cerpen ini diceritakan bagaimana Fathiah digambarkan sebagai wanita yang memberontak oleh aturan-aturan hidup yang menyudutkan hidupnya. Ia ingin membunuh bapaknya yang menurutnya telah menjual dirinya (menikahkan) pada seseorang konglomerat dari Mekkah yang usianya jauh lebih tua dari bapaknya.
Rentetan frasa dengan nada provokatif serta suspense yang terus meningkat, membuat cerita ini meninggalkan kesan yang sangat dalam, bahwa penulis menentang kultur sekaligus doktrin dan undang- undang di negaranya. Hal itu bisa ditemukan dalam :
“Matinya Sang Penguasa” … “Saat suaminya kembali dari ladang, dan karena ia tidak menemukan sang anak dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiyatnya. “Setiap anak laki-lakinya meninggal suaminya
“Perempuan di Titik Nol” “Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya muka dan badan sata menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tetapi paman mengatakan kepada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman adalah seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. (Saddawi, 1992 : 64)
“Memoar Seorang Dokter Perempuan” …Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya ? Mengapa tak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan ? Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tak mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya. (Saddawi, 1995 : 84).
“Tak ada Tempat Bagi Perempuan di Surga… "Bapakku memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah undang-undang tidak menghukum bapakku serta tidak menghukum suami Rabiah. Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang memperjualbelikan kami atas nama nikah yang sah, talak atau poligami yang sah" (Saddawi, 2003 : 158).
Di sisi lain, ada yang menarik dari karya Nawal, yaitu keberaniannya melontarkan sarkastis kepada pemerintah. Seperti yang ditulisnya di Catatan dari Penjara Perempuan, "Jika pihak penguasa marah pada seorang pengarang bersangkutan dapat diberangus dan suaranya dibungkam, sehingga tak terdengar lagi oleh siapa pun. Seorang pengarang tak mungkin mencapai puncak kesusastraan dan bertahan di sana, jika tak direstui oleh pemerintah" (Saadawi 1992 : 6-7).
Pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan emosi para pembaca.
Tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup. Seperti karya-karyanya yang terdahulu, Memoar Seorang Dokter Perempuan, Matinya Seorang Menteri, Catatan dari Penjara Perempuan, Perempuan di Titik Nol, dan Kabar dari Penjara, semua mengangkat hal yang sama. Semua tidak lepas dari uraian jiwa Nawal (sekaligus tokoh dalam karya sastra) yang mengalami guncangan hidup dan depresi yang sangat dalam. Tidak ada satu pun karyanya bisa membuat para pembaca tersenyum atau tertawa. Aliran naturalisme-realisme yang dianut oleh Nawal el Saadawi, di sisi lain ditemukan adanya suatu kejanggalan yang terkesan dibuat- buat, yaitu tema yang diangkat selalu menampilkan penderitaan hidup, tidak menampilkan kebahagiaan hidup di hati tokohnya, seakan hidup ini adalah penderitaan tiada akhir. Padahal Tuhan selalu menghiasi suka dan duka di hati hamba- hamba-Nya.
Namun Nawal begitu pandai menyembunyikan kesan itu dengan rising plot (alur menanjak), di mana jalinan peristiwa dalam karya yang dihasilkannya terus menanjak, tanpa ada peleraian sampai cerita itu selesai di puncak. Kesan itu benar-benar tak terbaca oleh para pembaca.
Suatu pola kritik sastra berwawasan feminis berasumsi bahwa perempuan secara universal bukanlah mahluk yang serupa, bahwa hubungan-hubungan mereka juga di tentukan oleh ras , kelas dan identipikasi seksual. Namun ada konstruksi yang serupa yang serupa yang dapat dikatakan universal yang diberlakukan terhadap perempuan, yakni konstruksi yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi dominan. Dalam sekian posisi yang diberikan oleh ideologi tersebut kepada perempuan, terdapat sekian yang tidak lompatibel, bahkan kontradiktif satu sama lainya. Ini melahirkan sekian tekanan-tekanan dan akan melahirkan sekian respons.
Pergolakan jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan emosi para pembaca. Adapun tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup

C.     Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
Karya sastra Muslim di Timur Tengah adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang berbagai dimensi kehidupan  masyarakat Muslim di Timur Tengah, mulai dari budaya, tradisi, setting, dan yang terpenting adalah latar belakang pengarang berasal dari Timur Tengah. Ia bersifat realis, tidak bersifat fantasi. Di antara salah satu karya sastra yang lahir di wilayah ini adalah Perempuan di Titik Nol (PTN) karya Nawal el Saadawi.

            Nawal el Saadawi adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal di seluruh dunia sebagai novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita. Dilahirkan di sebuah desa bernama Karf Tahla di tepi sungai Nil, ia memulai prakteknya di daerah pedesaan, kemudian di rumah sakit - rumah sakit di Kairo, dan terakhir menjadi Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir.

            Kehadiran Nawal dalam mendobrak ketidakadilan atas perempuan Mesir, menakuti Anwar el Sadat selaku pimpinan Negara pada saat itu. Nawal dianggap membahayakan nasionalis Mesir dengan karya-karyanya yang mencoba menyudutkan budaya patriarki sebagai budaya yang memiliki pengikut terbanyak di Mesir kala itu. 



Mesir Pada Tahun 1970an

            Seperti sudah diketahui sebelumnya, Perempuan di Titik Nol merupakan novel karya Nawal el Saadawi yang lahir pada tahun 1973. Dan pada tahun yang sama Mesir mengalami goncangan dahsyat dari pemerintahan Israel. Mesir dibantu oleh Syria untuk melancarkan serangan-serangan terhadap angkatan bersenjata Israel. Perang pun tidak bisa dihindari, perselisihan antara Mesir dan Israel berlangsung dari 06 Oktober hingga 25 Otktober 1973, oleh karena itu perang tersebut dikenal sebagai Perang Oktober atau Ramadhan atau Perang Yom Kippur. Seperti dalam Perang Atrisi sebelumnya, tujuan negara-negara Arab adalah mendapatkan kembali wilayah yang diduduki oleh Israel sejak Perang 1967.

            Kesombongan orang-orang Israel terhadap bangsa Arab telah menyesatkan bukan hanya dunia melainkan juga diri mereka sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian, Israel mengalami salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika Israel tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir-Syria terhadap pasukan pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973. Bulan-bulan sebelum pecahnya perang dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan negara-negara Arab.

            Pada April 1973, Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan. Setiap pintu yang saya buka dihempaskan di muka saya oleh Israel, dengan restu Amerika. Telah tiba waktunya untuk sebuah kejutan. Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi." Begitu kata Anwar el Sadat dalam wawancara terbukanya.

            Akibat dari peperangan itu tidak hanya dirasakan oleh pemerintahan Mesir saja, melainkan juga berakibat pada organisasi-organisasi kecil yang didirikan oleh rakyat mesir. Pada September 1981, Anwar Sadat mengenakan tindakan represif kepada organisasi pergerakan Islam yang dianggapnya fundamentalis, termasuk organasasi kaum Feminis yang didirikan oleh Nawal el Saadawi yang menurutnya dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir. 

Pengaruh Nawal el Sadawi dan Karyanya Terhadap Mesir

            Dari tahun 1973 sampai 1976 Nawal menjadi sorang peneliti perempuan dan neurosis di Fakultas Ain Syams University of Medicine. Hasil penelitiaanya dipublikasikan Perempuan dan Neurosis di Mesir Pada tahun 1976 dengan judul Perempuaan dan Neeurosis, termasuk memasukan  20 study  penelitiaan yang mendalam tentang kasus perempuan di penjara-penjara dan rumah sakit. Novel dan buku-bukunya tentang perempuan (feminisme) memiliki efek yang mendalam pada generasi ke generasi secara berturut-turut baik perempuan muda dan laki-laki selama lima dekade terakhir.

Tidak sebatas itu, El Saadawi juga mengadakan penelitiaan tentang aborsi. ia melakukan penelitiaan tersebut dikarnakan melihat banyak sekali realitas sosial yang sangat steriotip sebagai jawaban dari maraknya tindakan aborsi ilegal perempuan Mesir. hasil penelitiaan ini sangatlah mengejutkan dimana tindakan aborsi marak dilakukan oleh keluarga yang mampu dibanding dengan keluarga yang tidak mampu, presentasi perbandingannya hampir tiga kali lipat. Kesimpulan lain aborsi ini dilakukan oleh perempuan yang belum menikah, dari kalangan perempuan yang belum menikah presentasinya 90 persen berusia sekitar 25-35 tahun dan rata rata mereka sudah memiliki anak satu, dua atau lebih.

            Pada tahun 1972, tulisan pertamanya dalam buku non-fiksi, selalu berjudul tentang Perempuan dan Masalah Seks. Semua karyanya saat itu terkait dengan subjek yang sangat tabu; yakni tentang feminisme, gender, perempuan dan seksualitas, dan juga subyek sensitif, patriarki, budaya, politik dan agama. Nawal El Sa’dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah Negara yang kebetulan saat itu sedang bersiap melawan pasukan Israel. Publikasi ini membangkitkan kemarahan otoritas politik dan teologis saat itu, dan Departemen Kesehatan memaksanya untuk memundurkan diri dan memecatnya. Di bawah tekanan yang sama ia kehilangan posisinya sebagai Pemimpin Redaksi sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.

            Pada 1973, lahirlah novel yang membuat bulu kuduk merinding, Perempuan di Titik Nol menjadi serangan susulan dari Nawal el Saadawi untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Salah satu faktor yang melatar belakangi penulisan novel ‘Perempuan di Titik Nol’ adalah pengalaman Nawal Pada tahun 1969 yang melakukan observasi dan perjalanan ilmiah ke Sudan. Perjalanannya kesudan ini dalam rangka melihat lebih dekat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan yang dilakukan secara tradisional, menyakitkan dan sangat berbahaya terhadap keselamatan bagi perempuaan itu sendiri.

Melihat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan tersebut, di Mesir sendiri penyunatan itu dilakukan dengan cara hanya memotong sebagiaan dari klitoris tetapi di Sudan pemotongan tersebut dilakukan pada klitoris, dua bibir luar (labia minora). Akibat dari penyunatan yang tidak mengenal medis itu, banyak dari kaum perempuaan yang terkena infeksi akut atau kronis sehingga mereka tersiksa selama hidupnya. bahkan diantara mereka tidak sedikit yang kehilangan nyawanya sebagai akibat dari cara-cara yang primitif dan tidak manusiawi dalam mengoprasi.

            Pada tahun 1977, ia menerbitkan karya yang paling terkenal, The Hidden Face Hawa, yang meliputi sejumlah topik relatif terhadap wanita Arab seperti agresi terhadap anak-anak perempuan dan pemotongan alat kelamin perempuan, prostitusi, hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme Islam.

Melihat dari itu semua kasus-kasus diatas bisa terjadi karena sangat berhubungan erat dengan persoalan konsep kepemimpinan dalam keluarga yang patriarki. kepemimpinan keluarga yang diserahkan kepaada kaum laki-laki secara mutlak, ditambah kaum lelaki tersebut tidak memahami konsep gender dan feminimitas dalam keluarga apalagi melihat sosial-kultur kebudayaan arab yang sangat patriarikat juga pemahaman mereka terhadap tafsir teologi agama yang kurang akan melahirkan ketimpangan dan ketidak adilan terhadap kaum perempuaan. Kaum perempuan berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut.

Atas gebrakan yang dilakukan Saadawi dengan memunculkan karya-karyanya termasuk novel Perempuan di Titik Nol, akhirnya pada tahun 1980, sebagai puncak dari perang lama ia berjuang untuk kemerdekaan perempuan Mesir dalam segala aspek, terutama dalam aspek sosial dan intelektual. Semua kegiatan/ekspresi perempuaan telah ditutup, perempuan tidak mempunyai hak dan peranannya dalam membangun negara karena tempatnya hanya dirumah untuk menjadi ibu rumah tangga, perempuaan dipenjarakan di bawah rezim Sadat, atas tuduhan "kejahatan terhadap Negara”. El Saadawi menyatakan "Saya ditangkap karena saya percaya Sadat Dia mengatakan ada demokrasi dan kami memiliki sistem multi-partai dan Anda bisa mengkritik. Jadi saya mulai mengkritik kebijakannya dan saya mendarat di penjara." Begitu kata Nawal el Sadawi. Meskipun dalam penjara, El Saadawi terus melawan penindasan. DanPada September 1981, Anwar el Sadat menutup semua organisasi yang didirikan oleh Nawal dan juga organisasi-organisasi lain yang dianggap membahayakan Mesir.

Bahkan setelah dia dibebaskan dari penjara, kehidupan El Saadawi itu terancam oleh orang-orang yang menentang pekerjaannya,  terutama kaum Islam fundamentalis, dan penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di Giza selama beberapa tahun sampai dia meninggalkan negara untuk menjadi profesor tamu di universitas di Amerika Utara .

Konsep Pemikiran Nawal el Saadawi

Sebagai seorang tokoh yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak-hak perempuaan dan aktivis pergerakan pembebasan kaum perempuaan, El Saadawi bahu membahu untuk mengadvokasikan kepada kaum perempuaan di dunia bahwa  pembebasan kaum perempuan dari patriarki budaya masyarakat dan belenggu sistem sosial yang ada, hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuaan itu sendiri. Perempuaan harus kuat di mulai dari pribadinya masing-masing. menurut beliau perempuaan harus bisa terbebaskan dan berani menyikap tabir pikiran mereka, yaitu kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang selama ini melekat pada kaum perempuan. Sehingga nantinya akan muncul sebuah kesadaran baru pada diri mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara dirinya dan kaum lelaki.

Konsep pemikiran Nawal El Sadaawi tentang feminisme bisa dilihat dari tujuan ia mendirikan organisasi perempuan yang ia dirikan AWSA (Arabic Women's Solidarity Association). menurut asumsinya feminisme adalah penyikapan tabir yang menyelimuti pikiran kaum perempuaan. El Saadawi dalam mengungkapkan pemikirannya tidak jarang harus menolak norma-norma yang telah mapan. bahkan ia berani bersebrangan dengan pemerintahan Mesir dan menjadikannya sebagai oposisinya terhadap segala kebijakan pemerintah, tradisi masyarakat yang bertentangan dengan nalar dan keyakinannya beserta tidak menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan. Tentu itu semua harus dibayar dengan harga mahal dan ada pengorbanannya, ia sering keluar masuk penjara, banyak sekali teror dan ancaman pembunuhan terhadap dirinya. kini El Sadawi menghabiskan sisa hidupnya di Eropa dan Amerika dan sesekali berkunjung ke tanah kelahirannya di Mesir.




















DAFTAR PUSTAKA

____________. 1992. Perempuan di Titik Nol. Jakarta : Yayasan Obor




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar