Mata Kuliah: Pokok dan
Tokoh Sastra Indonesia
NAWAL EL SAADAWI
BERSUARA DI BALIK JERUJI

OLEH
SRI RAHAYU ANDIRA
1251141006
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah pokok dan tokoh sastra Indonesia
ini dengan judul ” Nawal El Saadawi“ .
Dalam penyelesaian tugas ini, penulis senantiasa
mendapat bimbingan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya materi yang menguak tentang Iwan Simatupang ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan agar
makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat. Amin.
Makassar, Juni 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
A.
Biografi Nawal El Saadawi
B.
Perjalanan Kepenulisan Nawal El Saadawi
BAB II
A.
Ideologi Nawal El Saadawi
B. Citra
Perempuan Dalam Karya Nawal El Saadawi
C. Perempuan
Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
Data Sumber
BAB
I
SASTRAWATI
DALAM BANGSAL PELACUR
A. Biografi
Nawal El Saadawi
Nawal sadawi dilahirkan di kota Kafr Tahla
Delta Mesir. Ayahnya adalah seorang Pegawai Negeri sipil Menteri Pendidikan
Ibunya berasal dari keluarga menengah keatas. Menurut kebiasaan pada
umumnya,orang tua mengirimkan ke Sembilan saudaranya, tidak hanya laki-laki
saja disekolah Nawal El Sadawi adalah seorang murid yang baik dan pada tahun
1949 dia masuk sekolah kedokteran. Dia belajar di Universitas Cairo dia mendapat
gelar MD pada 1955, kemudian dia kuliah di universitas Colombia new York, dia
mendapat gelar Master Public Healt pada tahun 1966, kemudian dia menikah dengan
Ahmed Helmi seorang mahasiswa kedokteran dan pejuang kebebasan, di akhir
penjajahan.
Suami keduanya adalah Wartawan
tradisional yang mana Nawal Saadawi diceraikan ketika dia tidak menerima
tulisannya. dia telah memulai menulis pada waktu kecil pada tahun 1964 kemudian
dia menikah dengan Sherif Hetata, seorang dokter dan novelis. Dia telah menerjemahkan
sebagian buku-bukunya kedalam bahasa inggris dari beberapa buku karangan El Saadawi,
anak -anaknya juga menjadi penulis yang kreatif.
Setelah lulus kuliah , dia bekerja di universitas kedokteran dan dua tahun di Rural Healt Cevtre di tahla. Dari tahun 1958-1972 El Sadawi menjabat sebagai Dirjen Publik Healt Education yang berada di mesir. Dia juga bekerja sebagai ketua editor di healt majalah dan asisten sekertaris jenderal persatuan dokter mesir. Pada tahun 1972 el sadawi diterima dari pos kementerian penerbitan al mar’ah wa al jin, beliau trauma pada semua subjek di Negara itu yang menjadi tabu.
.
Kebiasaan/ tradisi orang muslim, ibunya sangat keras pada saadawis, dia dikhitan ketika berumur 6 tahun. Walaupun umrnya masih terlalu muda. Telah disahkan lagi pada tahun 1990. Lalu kesehatannya menurun dan buku-bukunya mulai di sensor sedangkan di Negara kita segala sesuatunya ditangani oleh Negara-negara bagian dan secara tidak langsung berada di bawah direktur kontroling. Latar penulisannya adalah memori dari tahanan wanita , hokum yang diketahui dari tradisi yang sudah lama ditetapkan hingga pada akar-akarnya takut pada aturan Negara atau penguasa.
Kebiasaan/ tradisi orang muslim, ibunya sangat keras pada saadawis, dia dikhitan ketika berumur 6 tahun. Walaupun umrnya masih terlalu muda. Telah disahkan lagi pada tahun 1990. Lalu kesehatannya menurun dan buku-bukunya mulai di sensor sedangkan di Negara kita segala sesuatunya ditangani oleh Negara-negara bagian dan secara tidak langsung berada di bawah direktur kontroling. Latar penulisannya adalah memori dari tahanan wanita , hokum yang diketahui dari tradisi yang sudah lama ditetapkan hingga pada akar-akarnya takut pada aturan Negara atau penguasa.
B.
Perjalanan Kepenulisan Nawal El Saadawi
Nawal
El Saadawi adalah seorang penulis terkenal di dunia. Dia adalah seorang
novelis, seorang psikiater, dan penulis lebih dari empat puluh buku fiksi dan
non fiksi. Dia menulis dalam bahasa Arab dan tinggal di Mesir. Novel dan
buku-bukunya tentang situasi perempuan memiliki efek mendalam pada
generasi muda perempuan dan laki-laki selama lima dekade terakhir.
Pada
tahun 1972, ia kehilangan pekerjaan di Departemen Kesehatan Mesir karena
bukunya Women and Sex diterbitkan dalam bahasa Arab di Kairo
(1969) dan dilarang oleh otoritas politik dan agama, karena dalam beberapa bab
dari buku ini ia menulis terhadap Female Genital Mutilation (FGM)
dan terkait dengan masalah seksual dan ekonomi politik penindasan.
Majalah Health, yang ia dirikan dan telah disunting untuk
lebih dari tiga tahun, itu ditutup pada tahun 1973. Pada September 1981
Presiden Sadat memasukkannya ke dalam penjara. Dia telah dirilis pada akhir
November 1981, dua bulan setelah pembunuhan. Dia menulis bukunya “Memoar
dari Penjara Perempuan” di gulungan kertas toilet dan pensil alis diselundupkan
ke selnya oleh seorang wanita muda yang dipenjarakan di bangsal pelacur. Dari
1988-1993 namanya menduga pada daftar kematian yang dikeluarkan oleh
organisasi-organisasi politik keagamaan fanatik.
Tanggal 15
Juni 1991, pemerintah mengeluarkan surat keputusan untuk menutup Arab
Women’s Solidarity Association yang ia pimpin dan menyerahkan
dananya ke perkumpulan yang disebut Women in Islam.
Enam bulan sebelum Keputusan ini pemerintah menutup majalah Zuhur,diterbitkan
oleh Arab Women’s Solidarity Association. Dia adalah seorang
editor majalah.
Selama
musim panas 2001, tiga dari buku dicekal di Cairo International Book
Fair. Dia dituduh murtad pada tahun 2002 oleh seorang pengacara
fundamentalis yang mengangkat kasus ke pengadilan karena ia
telah meminta dengan paksa untuk bercerai dari suaminya, Dr Sheriff
Hetata. Pada 28 Januari 2007, Nawal El Saadawi dan putrinya Mona Helmy, seorang
penyair dan penulis, dituduh murtad dan diinterogasi oleh Jaksa Penuntut Umum
di Kairo karena tulisan-tulisan mereka untuk menghormati nama ibu.
Nawal
El Saadawi telah diberikan beberapa hadiah sastra nasional dan internasional,
berceramah di banyak universitas, dan berpartisipasi dalam banyak konferensi
internasional dan nasional. Tanggal 3 Mei 2009, ia mempresentasikan The
Arthur Miller Lecture di Pen International Literary
Festival yang berlangsung di New York. Karya-karyanya telah
diterjemahkan ke dalam lebih dari tiga puluh bahasa di seluruh dunia, dan
beberapa dari mereka yang mengajar di sejumlah universitas di berbagai negara.
BAB
II
PEREMPUAN
DAN SEX
A. Ideologi
Nawal El Saadawi
Melihat problem diskriminasi wanita sebagai
masalah struktural yang sama peliknya dengan masalah negara. Dalam buku
terkenalnya al-Mar’ah wa al-Jins (Perempuan dan Masalah Sex),83 Sa’dawi
memberikan potret sosial bangsa Arab yang lusuh dan cara pandang negatif kaum
lelakinya tentang perempuan dan sex. Dalam bukunya yang lain Woman at Point
Zero, dengan bahasa novel yang menarik, ia memberikan pandangannya tentang
nasib wanita Arab yang mengalami tekanan-tekanan.
Masalah diskriminasi wanita, menurut Sa’dawi
tidak bisa diselesaikan lewat persamaan sex atau –apa lagi– lewat agama.
Persoalan wanita sangat kompleks, erat kaitannya dengan masalah global ekonomi
dan politik sebuah negara. Wanita tertindas karena struktur patriarkal social
Arab yang terwarisi turun-temurun. Tradisi Arab cenderung merendahkan wanita.
Dalam tradisi agama, wanita dihargai setengah, dan yang setengah itupun selalu
dihalang-halangi untuk berperan dalam masyarakat secara bebas.
Menurut Sa’dawi: “Keduanya bukan masalah agama
sebagaimana yang selalu dikatakan oleh kalangan fundamentalis, tetapi
masalahnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi dan politik negara.” Sedikit
berbeda dengan Sa’dawi, Fatima Mernissi tidak menafikan pentingnya factor
ekonomi dan politik dalam sebuah negara –untuk menentukan nasib kaum wanita
khususnya. Tetapi, ada masalah yang lebih penting lagi, yaitu “discourse
tentang wanita” yang telah diciptakan oleh sosio-budaya Arab.
Menurut Nawal Sadawi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif –dari perspektif apa saja. Nawal Sadawi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.
Nawal Sadawi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya, “perdebatan di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita”.
Menurut Nawal Sadawi, diskursus wanita yang berlaku dalam komunitas Arab telah dibentuk sedemikian rupa oleh budaya dominasi lelaki. Dan dengan dominasi itu, perempuan selalu ditempatkan dan dipandang negatif –dari perspektif apa saja. Nawal Sadawi tidak meletakkan seluruh beban pada negara. Ia lebih menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib wanita. Yang dimaksud dengan struktur sosial, menurutnya, juga doktrin dan ajaran agama yang menjadi salah satu fondasi penting sebuah masyarakat.
Nawal Sadawi tidak sepenuhnya percaya dengan sekelompok elit pemikir (kaum tradisionalis?) yang turut membicarakan persoalan perempuan. Bahkan ia menganggap diskusi-diskusi di sekitar turats sebagai omong kosong. Menurutnya, “perdebatan di sekitar turats tidak lebih dari cara baru kaum lelaki meraih kembali dominasinya atas wanita”.
Nawal Sadawi memandang turats secara negatif.
Ia percaya bahwa model masa lalu (al-madli) tidak lagi memadai untuk konteks
modern. Itu karena ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat Arab
sekarang sangat kompleks. Kendati demikian, bukan berarti Nawal Sadawi
sepenuhnya berpegang pada capaian modernitas.
Dalam banyak tulisannya, dengan keras ia
mengecam Barat.
Model feminisme yang dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk lain. Nawal Sa’dawi hanya menekankan pada peran dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat permasalahan pada level ideology sosial, Khalida Sa’id menganjurkan komitmen kebersamaan mutlak (total societal commitment). Yang dimaksud Khalida dengan jargon ini adalah pembebasan wanita lewat kebersamaan sosial, termasuk lewat jalur radikal –revolusi atau oposisi. Tesis Khalida ini berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang menurutnya, sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu pihak kepada kelas sosial dan di lain pihak kepada keluarga. Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida, wanita Arab tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan contoh sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan kepada lelaki agar eksistensinya ada, seperti mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya si A), mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si A), seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan lain-lain.
Berbicara tentang perspektif jender dalam sastra Islam, kita memang tidak dapat melewatkan karya-karya Nawal el-Sadawi, seperti Perempuan di Titik Nol, yang sangat menggetarkan. Siapapun kaum perempuan yang membaca novel tersebut akan terdorong untuk bangkit guna melawan diskriminasi jender dan menolak penindasan kaum laki-laki terhadap kaumnya (perempuan). Diduga, budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan’ lelaki, itu merupakan pengaruh bersama antara budaya Barat yang sekuler dan budaya feodal dari kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Timur yang kemudian ‘diadopsi’ secara tersembunyi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang mengalami degradasi nilai. Suatu tradisi budaya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sejati, yang sesungguhnya muliakan kaum perempuan sebagai ‘ibu kehidupan’.
Nawal el-Sadawi, yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional Mesir. Seperti tergambar dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami diskriminasi jender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena ditempatkan sebagai ‘kaum kelas dua’, perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.
Model feminisme yang dikembangkan Barat, menurutnya, hanya melahirkan diskriminasi terhadap perempuan dengan bentuk lain. Nawal Sa’dawi hanya menekankan pada peran dan faktor ekonomi-politik, atau Mernissi yang lebih melihat permasalahan pada level ideology sosial, Khalida Sa’id menganjurkan komitmen kebersamaan mutlak (total societal commitment). Yang dimaksud Khalida dengan jargon ini adalah pembebasan wanita lewat kebersamaan sosial, termasuk lewat jalur radikal –revolusi atau oposisi. Tesis Khalida ini berangkat dari premis fenomenologis komunitas Arab yang menurutnya, sedang mengalami alienasi ganda, yaitu, di satu pihak kepada kelas sosial dan di lain pihak kepada keluarga. Pada alienasi jenis kedua, menurut Khafida, wanita Arab tidak akan pernah bisa independen, karena mereka selalu mengaitkan atau dikaitkan oleh kaum lelaki. Ia memberikan contoh sehari-hari bagaimana perempuan selalu dikaitkan kepada lelaki agar eksistensinya ada, seperti mengidentifikasikan istri dengan suami (istrinya si A), mengidentifikasikan anak gadis dengan ayahnya (puterinya si A), seorang ibu dengan anak lelakinya (ibunya si A) dan lain-lain.
Berbicara tentang perspektif jender dalam sastra Islam, kita memang tidak dapat melewatkan karya-karya Nawal el-Sadawi, seperti Perempuan di Titik Nol, yang sangat menggetarkan. Siapapun kaum perempuan yang membaca novel tersebut akan terdorong untuk bangkit guna melawan diskriminasi jender dan menolak penindasan kaum laki-laki terhadap kaumnya (perempuan). Diduga, budaya patriarkhi, yang menempatkan perempuan sebagai ‘pelayan’ lelaki, itu merupakan pengaruh bersama antara budaya Barat yang sekuler dan budaya feodal dari kaum bangsawan dan kerajaan-kerajaan Timur yang kemudian ‘diadopsi’ secara tersembunyi oleh kesultanan-kesultanan Islam yang mengalami degradasi nilai. Suatu tradisi budaya yang sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sejati, yang sesungguhnya muliakan kaum perempuan sebagai ‘ibu kehidupan’.
Nawal el-Sadawi, yang kebetulan berprofesi sebagai dokter, melihat realitas yang amat menyedihkan yang dialami oleh kaum perempuan yang hidup di tengah-tengah masyarakat tradisional Mesir. Seperti tergambar dalam novel Perempuan di Titik Nol, kaum perempuan Mesir mengalami diskriminasi jender yang sangat menyedihkan. Dalam banyak hal, mereka harus mengutamakan kaum lelaki, bahkan dalam soal makan pun mereka harus mengalah dan mendahulukan kaum lelaki. Bersamaan dengan itu, karena ditempatkan sebagai ‘kaum kelas dua’, perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual kaum lelaki, dan mereka tidak dapat berbuat banyak selain diam dan tunduk pada kekuasaan lelaki.
Melihat nasib kaumnya yang sangat menyedihkan,
Nawal el-Sadawi terpanggil untuk mencatat kesaksian, menyodorkan realitas pahit
yang berabad-abad tersembunyi, dan mendorong proses perubahan, melalui karya
sastra (novel). Karya-karyanya, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, termasuk Indonesia, seperti Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang
Penguasa, Memoar Seorang Dokter Perempuan, dan Catatan dari Penjara Perempuan,
membuka mata jutaan manusia dari dunia Islam untuk menyadari keadaan untuk
melakukan perubahan. Potret diskriminasi terhadap hak-hak perempuan memang
telah banyak diangkat dalam berbagai bentuk media, tak terkecuali dalam karya
sastra. Sastra menawarkan ruang sunyi untuk merefleksikan segala peristiwa
dalam hidup manusia. Sastra juga kerap dijadikan media yang ampuh untuk smelawan
segala bentuk ketimpangan karena salah kaprahnya sistem yang berlaku di tengah
masyarakat. Melalui novel-novelnya, Nawal el-Sadawi hendak membebaskan kaum
perempuan dari penindasan kaum lelaki.
Di negara-negara berkembang, hak-hak perempuan
di wilayah-wilayah strategis memang belum sepenuhnya mendapat perhatian. Secara
tak langsung ini menandakan hadirnya imperialisme gender yang sama-sama sadis.
Jika kita menyimak histori bangsa Arab jahiliyah, kehadiran anak perempuan
dianggap sebagai aib bagi sebuah keluarga. Tak jarang ada yang beranggapan
bahwa kehadiran perempuan merupakan alamat buruk.
Kita mengenal Nawal el Sadawi, sastrawati asal
Mesir yang begitu meledak-ledak dalam setiap karyanya. Namun berbeda dengan
karya yang satu ini, para penikmat sastra akan diajak menyimak perlawanan para
perempuan Lebanon yang berjuang mendapatkan hak-haknya sebagai seorang
perempuan di tengah-tengah masyarakat, sebagai istri bagi suami, maupun sebagai
ibu dari anak-anak mereka.s
B. Citra
Perempuan Dalam Karya Nawal El Saadawi
Nawal El Saadawi bukanlah
nama yang asing lagi bagi masyarakat sastra di Indonesia. Wanita kelahiran Kafr
Tahla-tepi Sungai Nil-Mesir, 72 tahun yang lalu ini selalu membangkitkan emosi
pembaca dengan bahasa emotif (emotife language) di dalam setiap karyanya.
Sejauh pengamatan sastra Arab yang telah dikaji, dalam setiap karya Nawal el
Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus
penggambaran realitas sosial politik dengan menggunakan colloquaialism atau
gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural, dan tanpa embel-embel
analitik. Nawal el Saadawi tidak mengikuti aliran al-fanna al-kamil (keindahan)
yang kebanyakan digunakan sastrawan Arab.
Bahasa sarkatis yang sering digunakan Nawal ini cukup membuat
geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Hal itu harus dibayar mahal
olehnya. Pada 6 September 1981 ia dijebloskan ke dalam penjara Barrages di
Mesir pada masa pemerintahan Anwar Sadat atas tuduhan perbuatan kriminal
melawan pemerintahan yang sah. Namun, di dalam sel
Saadawi terus berkarya. Meski dengan kertas toilet dan pensil alis, Saadawi
diam-diam tetap menulis. Sekeluarnya dari penjara, tulisan itu menghasilkan
esai berjudul Memoar dari Penjara Perempuan. Dalam buku itu, dia
mengisahkan bahwa ketimpangan sosial-ekonomi dan jender merupakan penyebab
masuknya perempuan ke dalam sel penjara tersebut.
Potret Nawal Sebagai Seorang Feminis
Penulis
Lillian Robinson ( 1970 ) pernah mengatakan bahwa pertanyaan paling penting
yang dapat kita tanyakan kepada diri sebagai pengamat sastra yang feminis
adalah: “ lalu, apa ?” Terimplikasi didalam pertanyaan itu adalah suatu sudut
pandang yang merasuki ilmu sosial pada umumnya—bahwa tujuan dari pada segala
karsa dan karya kita adalah untuk melakukan pengubahan terhadap tatanan dunia.
Memulai dengan pertanyaan “lalu, apa ?” berarti kita menyandang pula sejumlahpertanyaan
lain, seperti : Apatujuan saatra , dan dengan sendirinya, apa tujuan kritik
sastra terhadap keadaan sosial dan perekonomian kehidupan kita semua ?
Sebagian
besar pengamatan sastra yang berwawasan feminis bergerak di dalam pencerahan
inti dari gerakan feminisme itu sendiri yakni bahwasanya gender adalah konstruk
sosial, dan bahwasanya konstruksi tersebut telah memaksakan hubungan kekuasaan
yang tidak seimbang. Dari sudut pandang tersebut, tidak sulit kita mencapai
asumsi bahwa hasil-hasil kesadaran masyarakat, misalnya sastra dan kritik
sastra, juga merupakan konstruk sosial, dan bahwa dengan sendirinya kedua itu
pun surat unsur politis. Sebagaimana upaya-upaya pengkajian perempuan pada
umumnya, kritik sastra berwawasan feminis bertolak dari asumsi bahwa kita harus
menciptakan pegetahuan kita sendiri, dan senantiasa menciptakannya kembali
dalam batasan-batasan yang di berikan oleh sejarah—dan bahwa dalam menciptakan
pengetahuan, kita lalu bertindak terhadap hubungan kekuasaan di dalam kehidupan
kita.
Sebagai
pengamat sastra yang feminis kita bisa saja dapat melihat di dalam sastra bukan
kisah penderitaan atau pengalaman pribadi, tetapi kisah-kisah perjuangan dan
pola-pola hubungan kekuasaan. Pemahaman kita tentang teks sastra dapat kita
uraikan bukan sebagai renungan terhadap teks itu sendiri, tetapi sebagai
pengkajian atas sejarah dan pengkajian yang berdampak politis, terakhir, kita
pun dapat melakukan penulusuran teks sastra bukan dengan membacanya secara
objektif, tetapi sebagai langkah intervensi, suatu metoda untuk membentuk
kembali penggunaan kebudayaan atas penulisan yang di buat oleh dan perempuan.
Ternyata,
mengatakan bahwa sastra dan kebudayaan adalah produk politik berarti kita
menantang moda berpikir yang dominant di masyarakat kita. Ada pemahaman di
dalam kesastraan, yang di sebut formalisme, yang melihat sastra sebagai
terpisah dari sejarah, tidak menjadi bagian dari ulur kehidupan realitas umat
manusia. Ada pula pendapat bahwa sejarah, terutama sejarah modern, pada intinya
adalah suatu kisah penderitaan individu, suatu penderitaan yang dibuat
universal.dan dijamin keberadaanya dalam kondisi kemanusiaan. Salah satu isu
pokok bagi feminisme adalah kontruksi cultural yang disebut subjektifitas.
Didalam orgumentasi yang bergentayangan mengenai feminisme,dan bahkan diantara
feminis itu sendiri, hampir selalu muncul pernyataan: mengapa gerangan
perempuan tidak bersatu saja dan menggulingkan dan patriarki yang dikatakan
menjadi sumber ketertindasan perempuan secara universal. Dan, mengapa jika
semua perempuan menderita dibawah patriarki, tidak semua perempuan jadi feminis
? sementara itu, ada pula tudingan yang mengatakan bahwa, tampa sadar, sering
kali kaum feminis sendiri secara tidak sengaja berkolusi dengan nilai-nilai
serta asumsi-asumsi patriarchal yang merusak dalam kehidupan masyarakat.
Masalahnya,
subyektivitas itu sendiri menjadi bagian dari konvensi, pendidikan dan
kebudayaan dalam arti seluas-luasnya. Kritik sastra yang berwawasan feminis
juga mengakui bahwa sastra ikut andil dalam proses mengkonstruksikan
subjektivitas itu. Dalam esainya yang terkenal, “Ideology and ideological
apparatuses”, Louis Althusser mengikutsertakan sastra dalam lembaga-lembaga ideology
yang menyumbang terhadap proses mereproduksi hubungan-hubungan produksi, atau
hubungan-hubungan sosial yang menjadi kondisi mutlak bagi eksistensi dan
kelestarian mode produksi kapitalistik.
Argumentasinya
disini adalah bahwa tidak saja kesusastraan mewakili mitos dan versi-versi
khayalan dari hubungan-hubungan sosial dalam kehidupan nyata yang pada
gilirannya membentuk ideology, tetapi juga bahwa fiksi realis (bentuk
kesusastraan yang paling dominan diabad ke-20 ini), menghadang si pembaca
dengan berbicara langsung kepadanya, sembari menawarkan kepadanya suatu posisi
yang paling “mungkin” baginya untuk membaca teks itu, yakni sebagai pemeran di
dalam ideology itu sendiri.
Menurut
Althusser, ideology bukan suatu rentetan ilusi belaka. Ia merupakan suatu
sistem perwakilan (dikursus, imaji dan mitos) yang terkait dengan
hubungan-hubungan nyata yang dihidupi oleh anggota masyarakat dalam kehidupan
sesungguhnya. Namun, katanya, “Apa yang terwakilkan di dalam ideologi itu
bukannya sistem dari hubungan-hubungan nyata yang mengatur eksistensi manusia,
tetapi hubungan khayalan individu-individu itu terhadap hubungan sesungguhnya
yang mereka hidupi. “(Althusser 1971, p. 155). Dengan lain perkataan, ideology
merupakan suatu hubungan kenyataan mau pun hubungan khayalan dengan dunia.
Tetapi, lanjut Althusser, tujuan akhir dari semua ideology adalah sang subjek
(atau individu di dalam masyarakat). Dengan begitu adalah peran mutlak dari
ideology untuk mengkonstruk manusia untuk dijadikannya sebagai subjek.
Untuk
kaitan argumentasi Untuk kaitan argumentasi ini dengan topik hari ini, ada
pendapat bahwa bahasalah yang memberikan peluang untuk munculnya subjektivitas,
karena bahasalah yang memungkinkan seorang pembicara untuk menempatkan dirinya
sebagai Aku, sebagai pokok dari sebuah kalimat. Dalam bahasalah maka manusia
menempatkan dirinya sebagai subjek. Sang subjek dikonstruk di dalam bahasa dan
di dalam diskursus. Karena tatanan simbolik dalam penggunaan bahasa berhubungan
erat dengan ideology, maka sang subjek pun dikonstruk di dalam ideologi.
Ideologi meredam peran bahasa dalam konstruk subjek. Sebagai akibat, individu
“mengenal” diri sendiri lewat cara ideologi menegur dirinya, menyebut dirinya
dan menempatkan dirinya itu. Akhirnya, individu “bergerak sendiri”, bertindak
atas “kemauan sendiri”, dan mengambil peran-peran partisipatif sebagai subjek
di dalam formasi sosial.
Dalam
bahasa patriarkal, perempuan “memilih sendiri” untuk melakukan pekerjaan rumah
tangga, merawat anak, berkorban demi keluarga, dan bukan menjadi insinyur,
misalnya penggunaan subjek disini memiliki dua sisi. Bukan saja subjek dalam
artian gramatikanya, yang adalah penggerak dan penanggung jawab atas setiap
tindak-tanduknya sendiri, tetapi juga sebagai mahluk yang disubjekkan, yang
tunduk pada otoritas formasi sosial yang di dalam ideologi dominant merupakan
subjek absolute (misalnya Tuhan, Raja, Bos, Sang Pria, Kemanusiaan,
hatinurani). Dalam bahasa hukum, individu dilihat sebagai “subjek yang bebas
yang dapat tunduk dengan keinginannya sendiri kepada garisan-garisan yang
ditetapkan subjek”, artinya individu jadi bebas memilih pendudukannya.
Ideologi
cenderung menghadang sosok individu sebagai subjek, dan di dalamnya sang subjek
diberi jatidiri yang pasti. Misalnya, kalimat “kita orang Timur”, membuat orang
terpaku pada norma-norma yang sudah ditetapkan sebagai adat ketimuran. Atau
“memang itu sifat manusia”, membuat segala sesuatu sudah “begitu sehingga tidak
mungkin lagi ada upaya untuk mengubahnya. Jacques Lacan, seorang penelaah teori
Freud, memilih sang subjek antara aku yang dipersepsi, dengan aku yang
melakukan persepsi. Menurutnya, terdapat kontradiksi antara diri yang disadari,
yakni diri yang tampil sendiri di dalam diskursus, dengan diri yang Cuma
sebagian ditampilkan, yakni diri yang muncul dalam suatu percakapan dengan
masyarakat. Di dalam kesenjangan kedua diri inilah, kata Lacan, muncul apa yang
disebut bawah sadar.
Penulis
Mesir yang di Indonesia paling dikenal berkat novelnya yang berjudul Perempuan
di Titik Nol, Nawal El Saadawi, akan melangkah lebih jauh untuk
melanjutkan perjuangan kemanusiaannya, terutama yang berhubungan dengan kaum
perempuan Arab. Ia menyatakan akan mencalonkan dirinya dalam pemilihan presiden
Mesir pada Oktober 2005. Kepada harian setempat al-Masry al-Youm,
perempuan berusia 73 tahun itu mengatakan bahwa ia akan mencalonkan diri dengan
program-program politik, sosial, dan ekonomi. Katanya pula, ia akan menentang
apa yang disebutnya sebagai kolonialisme Amerika-Israel di Mesir dan kawasan
Arab.
Jika
pencalonannya diajukan, Saadawi akan menjadi perempuan pertama novelis, dan
penulis. Ibu dua anak tersebut juga pejuang hak asasi kaum perempuan Arab.
Kontribusinya tak putus - putus dalam debat mengenai masalah - masalah yang
dihadapi oleh kaum perempuan Arab. Istri dokter sekaligus novelis Mesir Sherif
Yousseff Hetata itu sudah lama menjadi sosok yang kontroversial.
Tulisan-tulisan sastra dan ilmiahnya kerap mendatangkan kesulitan dan, bahkan,
bahaya baginya.
Pada
1972, ia kehilangan pekerjaannya di pemerintahan. Majalah-majalah yang dibikin,
dipimpin, dan melibatkannya sebagai editor, yaitu Health dan Noon,
ditutup oleh pemerintah Mesir. Sejumlah dari buku-bukunya dilarang beredar di
Mesir dan sejumlah negara Arab. Presiden Anwar Sadat menjebloskannya ke penjara
pada 1981. Pemerintah Mesir juga menutup salah satu organisasi yang
dipimpinnya, Arab Women’s Solidarity Association, pada 1991. Karya-karya dari
penerima sejumlah penghargaan internasional itu telah beredar secara luas di
seluruh dunia dalam 30 bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Sosok Perempuan Dalam Karya-Karya Nawal
El-Sa’dawi
Perempuan
sebagai kelompok di dalam masyarakat merupakan ciptaan tetapi sekaligus juga
diredam oleh diskursus yang kontradiktif. Contohnya begini, secara garis besar,
terutama dalam tatanan masyarakat urban dan berpendidikan, perempuan ikut
partisipasi dalam diskursus kebebasan, penentuan nasib sendiri dan rasionalitas
sosial. Tetapi pada saat bersamaan, perempuan juga terlibat dalam diskursus
khas perempuan yang ditawarkan masyarakat, misalnya sebagai mahluk yang tunduk,
pasif, dituntun intuisi dan dirasuki ketidakmampuan. Maka terjadilah
kesenjangan antara Aku-nya perempuan yang tampil sebagai sendiri dan Aku-nya
yang muncul cuma sebagian. Tidak heran muncul tekanan-tekanan yang tidak nyaris
tidak tertahankan, karena kedua aku saling bertentangan. Untuk mengakomodasikan
kesenjangan tersebut, mudah sekali bagi perempuan untuk mundur saja dengan
kalimat, “Saya toh cuma perempuan”.
Mengkaji
perempuan di dalam sastra, dengan pemusatan perhatian pada sastra akhir abad 20
di Negara Arab, menarik untuk dilihat bahwa bersamaan dengan perangkulan
kapitalisme dalam tatanan negara, kita lihat pula bangkitnya aliran realisme
klasik sebagai gaya yang paling digemari dalam sastra, film dan drama televisi.
Hal itu konon berlaku dimana-mana kapitalisme industrial merasuk. Mungkin
karena realisme klasik menawarkan kepada pembacanya tidak saja posisi yang menelaah teks agar mudah
dicernakan, tetapi juga posisi sebagai muara pemahaman serta peluang bertindak
sesuai dengan pemahaman itu.
Dalam
membahas bagaimana ideologi gender diproduksi dan direproduksi dalam
praktek-praktek kebudayaan, satu hal perlu kita tekankan : seyogyanya jangan
sampai menjadikan teks itu sendiri sebagai dasar analisis. Jadi, teks tidak
dapat berdiri sendiri, sebagaimana sudah lama menjadi titik tolak kritik
sastra. Jika membatasi analisis hanya pada isi teks itu sendiri berarti
menjadikan objek analisis itu sebagai dasar keterangan untuk dirinya sendiri,
suatu hal yang rasanya mustahil dilakukan. Beberapa pengkajian kritik sastra
mengatakan bahwa menyempitkan masalah cuma pada teks belaka merupakan suatu bentuk
reduksionisme yang sia-sia belaka.
Argumentasi
yang sama diajukan oleh Tineke Hellwigg (1990), bahwasanya, “Sejak dulu
kesusastraan dianggap sebagai proses komunikasi. Ada pengarang, ada teks
(karya), ada pembaca dan ada kenyataan (semesta). Peranan kenyataan dalam
proses komunikasi ini selalu dianggap paling ruwet. Pengarang dan pembaca hidup
dalam suatu kenyataan sosial, tetapi kenyataan sosialistik yang mereka hadapi
belum tentu kenyataan yang sama. Teks mengemukakan sejenis kenyataan, tetapi
kenyataan dalam teks tak perlu sama dengan realitas hidup yang dihadapi
pengarang atau pu pembaca.
Analisis
terhadap proses-proses ini, menurut Eagleton, lalu harus juga memaktubkan
penelaahan terhadap tahap-tahap pengembangan kekuatan-kekuatan yang
menghasilkan karya tersebut (misalnya teknologi percetakan) serta
hubungan-hubungan dalam mana karya itu dihasilkan (misalnya siapa yang
memberikan izin, atau menjadi patronnya). Analisis demikian mutlak ada untuk
membedah arti hakiki teks itu sendiri. Artinya, kondisi-kondisi material
produksi begitu terinternalisasi, setiap karya sastra menunjukkan sendiri
tatakrama bagaimana karya itu harus dikonsumsi, serta secara mantap
mengisyaratkan ciri-ciri ideologinya sekitar untuk siapa, oleh siapa dan
bagaimana karya itu dihasilkan.
Antologi
cerita pendek Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga secara
eksplisit mendeskripsikan kehidupan tertindas terombang-ambing oleh kekuatan
dan kekuasaan. Cerpen pertama Tak Ada Tempat bagi Perempuan di Surga, Nawal el
Saadawi secara impresif mengisahkan tokoh Zainab dalam menapaki kehidupan.
Kegetiran, kepedihan, dan segala kesengsaraan yang selalu menguntit setiap
napasnya, dari ia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Ia mendeskripsikan dengan
jelas, pure, serta alur ceritanya yang rapi runtut mengenai bagaimana Zainab
mendapatkan perlakuan tidak adil oleh orang-orang sekelilingnya karena
ketidakberdayaannya sebagai seorang anak-perempuan-istri. Zainab hanya bisa
pasrah dengan segala macam ancaman dan siksaan yang mendera hidupnya.
Dengan
suspense yang terus meningkat, Nawal el Saadawi mengeksplorasikan kepasrahan
dan ketidakberdayaan Zainab, "Sebelum subuh ia sudah dibangunkan oleh
tamparan ibunya agar ia mau membawa kapas di atas kepalanya. Ia tidak mengenal
apa pun kecuali kata ’Ya’, dan bila bapaknya mengikatnya di tempat bajak
sebagai ganti kerbau yang sakit, dia tidak mengatakan apa pun kecuali ’Ya’.
Suaminya tidak pernah mengangkat matanya untuk menatapnya sekalipun, dan di
saat suaminya itu tidur di atasnya, sedangkan ia lagi demam, ia tidak berkata
apa-apa kecuali kata ’Ya’." Ekspresionisme yang diungkapkan Nawal El
Saadawi dalam setiap karyanya ini kerap mendobrak doktrin-doktrin dominasi
laki-laki terhadap wanita (androsentrisme) seperti dituturkan dalam cerpen
Kisah Fathiah al-Misriyah. Dalam cerpen ini diceritakan bagaimana Fathiah
digambarkan sebagai wanita yang memberontak oleh aturan-aturan hidup yang
menyudutkan hidupnya. Ia ingin membunuh bapaknya yang menurutnya telah menjual
dirinya (menikahkan) pada seseorang konglomerat dari Mekkah yang usianya jauh
lebih tua dari bapaknya.
Rentetan
frasa dengan nada provokatif serta suspense yang terus meningkat, membuat
cerita ini meninggalkan kesan yang sangat dalam, bahwa penulis menentang kultur
sekaligus doktrin dan undang- undang di negaranya. Hal itu bisa ditemukan dalam
:
“Matinya Sang Penguasa”
…
“Saat suaminya kembali dari ladang, dan karena ia tidak menemukan sang anak
dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiyatnya. “Setiap anak
laki-lakinya meninggal suaminya
“Perempuan di Titik
Nol” … “Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan
saya dengan sepatunya muka dan badan sata menjadi bengkak dan memar. Lalu saya
tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tetapi paman mengatakan kepada saya
bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman
adalah seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan dia
karena itu tak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab bahwa
justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya. Aturan agama
mengijinkan untuk melakukan hukuman itu. (Saddawi, 1992 : 64)
“Memoar Seorang Dokter
Perempuan” …Mengapa kehidupan tak berjalan
sebagaimana mestinya ? Mengapa tak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap
kebenaran dan keadilan ? Mengapa para ibu tak mengakui bahwa anak perempuan
sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan
sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tak mengakui
hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun
tubuhnya. (Saddawi, 1995 : 84).
“Tak ada Tempat Bagi
Perempuan di Surga”… "Bapakku
memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah
undang-undang tidak menghukum bapakku serta tidak menghukum suami Rabiah.
Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang
memperjualbelikan kami atas nama nikah yang sah, talak atau poligami yang sah"
(Saddawi, 2003 : 158).
Di
sisi lain, ada yang menarik dari karya Nawal, yaitu keberaniannya melontarkan
sarkastis kepada pemerintah. Seperti yang ditulisnya di Catatan dari Penjara
Perempuan, "Jika pihak penguasa marah pada seorang pengarang bersangkutan
dapat diberangus dan suaranya dibungkam, sehingga tak terdengar lagi oleh siapa
pun. Seorang pengarang tak mungkin mencapai puncak kesusastraan dan bertahan di
sana, jika tak direstui oleh pemerintah" (Saadawi 1992 : 6-7).
Pergolakan
jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas
dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai
seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan
sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga
menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra
terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa
pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan
emosi para pembaca.
Tema
yang diangkat Nawal yang cenderung monoton, terfokus pada kegelisahan hidup.
Seperti karya-karyanya yang terdahulu, Memoar Seorang Dokter Perempuan, Matinya
Seorang Menteri, Catatan dari Penjara Perempuan, Perempuan di Titik Nol, dan
Kabar dari Penjara, semua mengangkat hal yang sama. Semua tidak lepas dari
uraian jiwa Nawal (sekaligus tokoh dalam karya sastra) yang mengalami guncangan
hidup dan depresi yang sangat dalam. Tidak ada satu pun karyanya bisa membuat
para pembaca tersenyum atau tertawa. Aliran naturalisme-realisme yang dianut
oleh Nawal el Saadawi, di sisi lain ditemukan adanya suatu kejanggalan yang
terkesan dibuat- buat, yaitu tema yang diangkat selalu menampilkan penderitaan
hidup, tidak menampilkan kebahagiaan hidup di hati tokohnya, seakan hidup ini
adalah penderitaan tiada akhir. Padahal Tuhan selalu menghiasi suka dan duka di
hati hamba- hamba-Nya.
Namun
Nawal begitu pandai menyembunyikan kesan itu dengan rising plot (alur
menanjak), di mana jalinan peristiwa dalam karya yang dihasilkannya terus
menanjak, tanpa ada peleraian sampai cerita itu selesai di puncak. Kesan itu
benar-benar tak terbaca oleh para pembaca.
Suatu
pola kritik sastra berwawasan feminis berasumsi bahwa perempuan secara
universal bukanlah mahluk yang serupa, bahwa hubungan-hubungan mereka juga di
tentukan oleh ras , kelas dan identipikasi seksual. Namun ada konstruksi yang
serupa yang serupa yang dapat dikatakan universal yang diberlakukan terhadap
perempuan, yakni konstruksi yang dihadirkan oleh patriarki, sebagai ideologi
dominan. Dalam sekian posisi yang diberikan oleh ideologi tersebut kepada
perempuan, terdapat sekian yang tidak lompatibel, bahkan kontradiktif satu sama
lainya. Ini melahirkan sekian tekanan-tekanan dan akan melahirkan sekian
respons.
Pergolakan
jiwa yang dihidangkan dalam setiap karya-karya Nawal el Saadawi tidak terlepas
dari jiwa Nawal yang berontak dengan aturan-aturan yang mengikatnya sebagai
seorang wanita. Karena itu, di dalam karya-karyanya selalu menampilkan
sarkasme-sarkasme yang ditujukan pada kaum laki-laki dan penguasa. Hal ini juga
menyangkut kritik pragmatik, sebagai pertimbangan pengaruh karya sastra
terhadap pembaca. Disadari atau tidak. Nawal telah menciptakan jiwa-jiwa
pemberontak dengan bahasanya yang terkesan memprovokasi yang membangkitkan
emosi para pembaca. Adapun tema yang diangkat Nawal yang cenderung monoton,
terfokus pada kegelisahan hidup
C. Perempuan
Di Titik Nol Karya Nawal El Saadawi
Karya sastra Muslim di Timur Tengah adalah sebuah
karya sastra yang berisi tentang berbagai dimensi kehidupan masyarakat
Muslim di Timur Tengah, mulai dari budaya, tradisi, setting, dan
yang terpenting adalah latar belakang pengarang berasal dari Timur
Tengah. Ia bersifat realis, tidak bersifat fantasi. Di antara
salah satu karya sastra yang lahir di wilayah ini adalah Perempuan di Titik Nol
(PTN) karya Nawal el Saadawi.
Nawal el Saadawi
adalah seorang dokter bangsa Mesir. Ia terkenal di seluruh dunia sebagai
novelis dan penulis wanita pejuang hak-hak wanita. Dilahirkan di sebuah desa
bernama Karf Tahla di tepi sungai Nil, ia memulai prakteknya di daerah
pedesaan, kemudian di rumah sakit - rumah sakit di Kairo, dan terakhir menjadi
Direktur Kesehatan Masyarakat Mesir.
Kehadiran Nawal dalam mendobrak ketidakadilan atas perempuan Mesir, menakuti
Anwar el Sadat selaku pimpinan Negara pada saat itu. Nawal dianggap
membahayakan nasionalis Mesir dengan karya-karyanya yang mencoba menyudutkan
budaya patriarki sebagai budaya yang memiliki pengikut terbanyak di Mesir kala
itu.
Mesir Pada Tahun 1970an
Seperti sudah diketahui sebelumnya, Perempuan di Titik Nol merupakan novel
karya Nawal el Saadawi yang lahir pada tahun 1973.
Dan pada tahun yang sama Mesir mengalami goncangan dahsyat dari
pemerintahan Israel. Mesir dibantu oleh Syria untuk melancarkan
serangan-serangan terhadap angkatan bersenjata Israel. Perang pun tidak bisa
dihindari, perselisihan antara Mesir dan Israel berlangsung dari 06 Oktober
hingga 25 Otktober 1973, oleh karena itu perang tersebut dikenal sebagai Perang Oktober atau Ramadhan atau Perang Yom Kippur.
Seperti dalam Perang Atrisi sebelumnya, tujuan negara-negara Arab adalah
mendapatkan kembali wilayah yang diduduki oleh Israel sejak Perang 1967.
Kesombongan orang-orang Israel terhadap bangsa Arab telah menyesatkan bukan
hanya dunia melainkan juga diri mereka sendiri. Sebagaimana terbukti kemudian,
Israel mengalami salah satu kegagalan intelijen militer paling besar ketika
Israel tidak mengantisipasi serangan gabungan Mesir-Syria terhadap pasukan
pendudukan Israel pada 6 Oktober 1973. Bulan-bulan sebelum pecahnya perang
dipenuhi dengan bualan orang-orang Israel tentang kekuatan Israel dan kelemahan
negara-negara Arab.
Pada April 1973, Sadat secara terbuka memberi peringatan dalam sebuah
wawancara: "Semuanya sangat mengendurkan semangat. Pendeknya itu adalah
sebuah kegagalan sempurna dan keputusasaan. Setiap pintu yang saya buka
dihempaskan di muka saya oleh Israel, dengan restu Amerika. Telah tiba waktunya
untuk sebuah kejutan. Segalanya di negeri ini sekarang tengah digerakkan untuk
membuka kembali pertempuran yang kini tak terelakkan lagi." Begitu kata
Anwar el Sadat dalam wawancara terbukanya.
Akibat dari peperangan itu tidak hanya dirasakan oleh pemerintahan Mesir saja,
melainkan juga berakibat pada organisasi-organisasi kecil yang didirikan oleh
rakyat mesir. Pada September 1981, Anwar Sadat mengenakan tindakan represif
kepada organisasi pergerakan Islam yang dianggapnya fundamentalis, termasuk
organasasi kaum Feminis yang didirikan oleh Nawal el Saadawi yang menurutnya
dapat mengganggu stabilitas nasional Mesir.
Pengaruh Nawal el Sadawi dan Karyanya Terhadap
Mesir
Dari tahun 1973 sampai
1976 Nawal menjadi sorang peneliti perempuan dan neurosis di Fakultas Ain Syams
University of Medicine. Hasil penelitiaanya dipublikasikan Perempuan dan
Neurosis di Mesir Pada tahun 1976 dengan judul Perempuaan dan Neeurosis,
termasuk memasukan 20 study penelitiaan yang mendalam tentang kasus
perempuan di penjara-penjara dan rumah sakit. Novel dan buku-bukunya tentang
perempuan (feminisme) memiliki efek yang mendalam pada generasi ke generasi
secara berturut-turut baik perempuan muda dan laki-laki selama lima dekade
terakhir.
Tidak sebatas itu, El Saadawi juga mengadakan penelitiaan
tentang aborsi. ia melakukan penelitiaan tersebut dikarnakan melihat banyak
sekali realitas sosial yang sangat steriotip sebagai jawaban dari maraknya
tindakan aborsi ilegal perempuan Mesir. hasil penelitiaan ini sangatlah
mengejutkan dimana tindakan aborsi marak dilakukan oleh keluarga yang mampu
dibanding dengan keluarga yang tidak mampu, presentasi perbandingannya hampir
tiga kali lipat. Kesimpulan lain aborsi ini dilakukan oleh perempuan yang belum
menikah, dari kalangan perempuan yang belum menikah presentasinya 90 persen
berusia sekitar 25-35 tahun dan rata rata mereka sudah memiliki anak satu, dua
atau lebih.
Pada
tahun 1972, tulisan pertamanya dalam buku non-fiksi, selalu berjudul tentang
Perempuan dan Masalah Seks. Semua karyanya saat itu terkait dengan subjek yang
sangat tabu; yakni tentang feminisme, gender, perempuan dan seksualitas, dan
juga subyek sensitif, patriarki, budaya, politik dan agama. Nawal El
Sa’dawi melihat problem diskriminasi wanita sebagai masalah struktural yang
sama peliknya dengan masalah Negara yang kebetulan saat itu sedang bersiap
melawan pasukan Israel. Publikasi ini membangkitkan kemarahan otoritas politik
dan teologis saat itu, dan Departemen Kesehatan memaksanya untuk memundurkan
diri dan memecatnya. Di bawah tekanan yang sama ia kehilangan posisinya sebagai
Pemimpin Redaksi sebuah jurnal kesehatan dan sebagai Asisten Sekretaris
Jenderal di Asosiasi Medis di Mesir.
Pada 1973, lahirlah novel yang membuat bulu kuduk merinding, Perempuan di Titik
Nol menjadi serangan susulan dari Nawal el Saadawi untuk mengakhiri penindasan
terhadap perempuan. Salah satu faktor yang melatar belakangi penulisan novel
‘Perempuan di Titik Nol’ adalah pengalaman Nawal Pada tahun 1969 yang melakukan
observasi dan perjalanan ilmiah ke Sudan. Perjalanannya kesudan ini dalam
rangka melihat lebih dekat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan yang
dilakukan secara tradisional, menyakitkan dan sangat berbahaya terhadap
keselamatan bagi perempuaan itu sendiri.
Melihat praktek-praktek penyunatan terhadap perempuaan tersebut,
di Mesir sendiri penyunatan itu dilakukan dengan cara hanya memotong sebagiaan
dari klitoris tetapi di Sudan pemotongan tersebut dilakukan pada klitoris, dua
bibir luar (labia minora). Akibat dari penyunatan yang tidak mengenal medis
itu, banyak dari kaum perempuaan yang terkena infeksi akut atau kronis sehingga
mereka tersiksa selama hidupnya. bahkan diantara mereka tidak sedikit yang
kehilangan nyawanya sebagai akibat dari cara-cara yang primitif dan tidak
manusiawi dalam mengoprasi.
Pada
tahun 1977, ia menerbitkan karya yang paling terkenal, The Hidden Face Hawa,
yang meliputi sejumlah topik relatif terhadap wanita Arab seperti agresi
terhadap anak-anak perempuan dan pemotongan alat kelamin perempuan, prostitusi,
hubungan seksual, perkawinan dan perceraian dan fundamentalisme Islam.
Melihat dari itu semua kasus-kasus diatas bisa terjadi karena
sangat berhubungan erat dengan persoalan konsep kepemimpinan dalam keluarga
yang patriarki. kepemimpinan keluarga yang diserahkan kepaada kaum laki-laki
secara mutlak, ditambah kaum lelaki tersebut tidak memahami konsep gender dan
feminimitas dalam keluarga apalagi melihat sosial-kultur kebudayaan arab yang
sangat patriarikat juga pemahaman mereka terhadap tafsir teologi agama yang
kurang akan melahirkan ketimpangan dan ketidak adilan terhadap kaum perempuaan.
Kaum perempuan berada pada pihak yang termarginalkan, tertindas, terkekang
sementara kaum lelaki malah melanggengkan kekuasaan penindasan tersebut.
Atas gebrakan yang dilakukan Saadawi dengan memunculkan
karya-karyanya termasuk novel Perempuan di Titik Nol, akhirnya pada tahun
1980, sebagai puncak dari perang lama ia berjuang untuk kemerdekaan perempuan
Mesir dalam segala aspek, terutama dalam aspek sosial dan intelektual. Semua
kegiatan/ekspresi perempuaan telah ditutup, perempuan tidak mempunyai hak dan
peranannya dalam membangun negara karena tempatnya hanya dirumah untuk menjadi
ibu rumah tangga, perempuaan dipenjarakan di bawah rezim Sadat, atas tuduhan
"kejahatan terhadap Negara”. El Saadawi menyatakan "Saya ditangkap
karena saya percaya Sadat Dia mengatakan ada demokrasi dan kami memiliki sistem
multi-partai dan Anda bisa mengkritik. Jadi saya mulai mengkritik kebijakannya
dan saya mendarat di penjara." Begitu kata Nawal el Sadawi. Meskipun dalam
penjara, El Saadawi terus melawan penindasan. DanPada September 1981, Anwar el Sadat menutup semua organisasi yang didirikan oleh
Nawal dan juga organisasi-organisasi lain yang dianggap membahayakan Mesir.
Bahkan setelah dia dibebaskan dari penjara, kehidupan El Saadawi
itu terancam oleh orang-orang yang menentang pekerjaannya, terutama kaum
Islam fundamentalis, dan penjaga bersenjata ditempatkan di luar rumahnya di
Giza selama beberapa tahun sampai dia meninggalkan negara untuk menjadi
profesor tamu di universitas di Amerika Utara .
Konsep Pemikiran Nawal el Saadawi
Sebagai seorang tokoh yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan
hak-hak perempuaan dan aktivis pergerakan pembebasan kaum perempuaan, El
Saadawi bahu membahu untuk mengadvokasikan kepada kaum perempuaan di dunia
bahwa pembebasan kaum perempuan dari patriarki budaya masyarakat dan
belenggu sistem sosial yang ada, hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuaan itu
sendiri. Perempuaan harus kuat di mulai dari pribadinya masing-masing. menurut
beliau perempuaan harus bisa terbebaskan dan berani menyikap tabir pikiran
mereka, yaitu kesadaran palsu, kesan-kesan minor, dan sikap lemah yang selama
ini melekat pada kaum perempuan. Sehingga nantinya akan muncul sebuah kesadaran
baru pada diri mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara
dirinya dan kaum lelaki.
Konsep pemikiran Nawal El Sadaawi tentang feminisme bisa dilihat
dari tujuan ia mendirikan organisasi perempuan yang ia dirikan AWSA (Arabic
Women's Solidarity Association). menurut asumsinya feminisme adalah penyikapan
tabir yang menyelimuti pikiran kaum perempuaan. El Saadawi dalam mengungkapkan
pemikirannya tidak jarang harus menolak norma-norma yang telah mapan. bahkan ia
berani bersebrangan dengan pemerintahan Mesir dan menjadikannya sebagai
oposisinya terhadap segala kebijakan pemerintah, tradisi masyarakat yang
bertentangan dengan nalar dan keyakinannya beserta tidak menguntungkan bagi
perjuangan kaum perempuan. Tentu itu semua harus dibayar dengan harga mahal dan
ada pengorbanannya, ia sering keluar masuk penjara, banyak sekali teror dan
ancaman pembunuhan terhadap dirinya. kini El Sadawi menghabiskan sisa hidupnya
di Eropa dan Amerika dan sesekali berkunjung ke tanah kelahirannya di Mesir.
DAFTAR PUSTAKA
____________.
1992. Perempuan di Titik Nol. Jakarta : Yayasan Obor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar