Pengkajian Drama
Indonesia
DEKONSTRUKSI SEBAGAI GEMPA TEKSTUAL
OLEH
:
KELOMPOK
II
SRI
RAHAYU ANDIRA
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR

KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur kehadirat Allah SWT
karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
mnyelesaikan Makalah yang
berjudul “Dekonstruksi Sebagai Gempa
Tekstual”.
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis senantiasa mendapat
bimbingan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan agar
makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat. Amin.
Makassar, Mei
2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan
Penulisan
............................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Dekonstruksi ........................................................................ 3
2.2 Dekonstruksi
Sebagai Gempa Tekstual .................................................. 6
2.3 Contoh
Karya Sastra yang Bersifat Dekonstruksi ................................. 9
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ................................................................................................ 13
3.2 Saran ...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14
LAMPIRAN
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra merupakan
cabang ilmu sastra. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria
yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra.
Sedangkan studi terhadap karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah
sastra. Ketiga bidang ilmu ini saling memengaruhi dan berkaitan secara erat.
"Tidak mungkin kita menyusun: teori sastra tanpa kritik sastra dan teori
sastra; kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra" (Wellek &
Warren, 1993:39).
Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan
Willem G. Weststeijn
berpendapat Ilmu Sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra
secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Tugas ilmu
sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas
kesastraan dan fungsi sastra dalam masyarakat) secara umum dan sistematis.
Teori Sastra merumuskan kaidah-kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum.
Kegunaan Ilmu Sastra adalah membantu kita untuk mengerti teks itu secara lebih
baik sehingga kita lebih tertarik untuk membaca karya-karya sastra.
Sedangkan Andre Lefevere sastra adalah
pengetahuan kemanusiaan (existential knowledge) yang sejajar dengan
bentuk hidup itu sendiri. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan terhadap
sastra hanya akan terkesan absurd. Untuk mengetahui tentang teks sastra lebih dalam, begitu
banyak teori yang dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra. Salah satunya
adalah dekonstruksi yang dicetuskan oleh Derrida. Dalam makalah ini akan
dibahas lebih luas mengenai teori dekonstruksi.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah yang ada
berdasarkan latar belakang sebagai berikut:
1) Apa yang dimaksud dengan dekonstruksi?
2) Bagaimana peranan dekonstruksi
terhadap karya sastra?
3) Bagaimana contoh penggunaan teori
dekonstruksi?
1.3 Tujuan
Penulisan
1) Mendeskripsikan pengertian
dekonstruksi.
2) Mendeskripsikan peranan dekonstruksi
dalam karya sastra.
3) Mendeskripsikan contoh penggunaan
dekonstruksi dalam karya sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Dekonstuksi
Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan
dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan
yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan
selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya,
anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan
tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam
sejarah.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung
untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari
konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida
sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu
metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode
dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa
kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini
dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker,
konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky
yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker.
Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini
sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh,
tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia mengatakan,
“Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau seorang dokter yang tidak
dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang yang berbicara dengan sebuah
bahasa asing. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu meminta filsuf untuk
berbicara secara “mudah” dan bukanny kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan
lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”
Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang sulit
untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk
dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah
mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan
secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi
tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai
konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli
1983, demikian isinya :
“…Dekonstruksi
bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa
dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika
Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti
kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak
cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi
suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan
prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap
“peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat
mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus
diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”
Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan
merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai kita. Apapun itu, setelah
kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu
dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.
Jika strukturalisme menempatkan konsruksi bangunan sebagai
hal penting dalam sebuah karya sastra, sehingga unsur-unsurnya harus terpadu
secara kokoh dan harmonis, dekonstruksi justru menjungkirbalikkan pemikiran
itu. Teori dekonstruksi yang dikembangkan Derrida memberikan peluang untuk
menempatkan apa yang tidak penting dalam strukturalisme menjadi sesuatu yang
penting. Tokoh yang tidak penting dalam kajian strukturalisme misalnya, bisa
saja menjadi tokoh penting dalam kajian dekonstruksi. Satu hal yang sangat
menonjol dari dekonstruksi adalah sifatnya yang menafikan penafsiran
berdasarkan hermeneutika.
Derrida, melalui teori semiotika Dekonstruksi-nya, telah
mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics
of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan. Menolak obyektivitas tunggal dan
kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya
dalam proses pemaknaan dan penafsiran.
Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang
bebas memberi makna dan menafsiri suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka
luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh
seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan
makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya
makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna.
Makna menjadi tidak berarti lagi.
Itulah kelemahan Dekonstruksi Derrida. Kelemahan lain adalah:
1.
Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah
massalisasi makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang
dapat mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan
untuk ditelaah.
2. Ketidakbernilaian
makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan
apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi
tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses
perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk
revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran
yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan
dapat dicegah.
4. Tidak
adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena
makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak
mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.
2.2 Dekonstruksi Sebagai Gempa Tekstual
Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu
mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa
dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun
kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru
yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses
penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak
memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu
teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan
tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang
menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida.
Setiap
karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang
melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi yang diterapkan Derrida tidak mau
memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain
dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat
kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah
makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi
sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks
sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi,
dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di
dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari
teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.
Jika tidak
ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa
dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran
dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep
lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yaknidifferance,
jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini
tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua
kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to
defer). Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan
ditangguhkan kepastiannya.
Karena
kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus,
maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa
kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan
bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak
(trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah
kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang
berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda
yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan
penafsirnya.
Di dalam
bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis bahwa dekonstruksi Derrida
adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk
menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis,
tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di
dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa
yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan
menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama
juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka,
dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini
dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara
sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi
adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas
itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan
menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan
menggoyang kepastian makna teks.
Derrida juga
menambahkan bahwa inti dekontruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang
telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti
baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga
mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah
membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi
dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’
selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata
lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi
sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling
terkait. Maka oposisi tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk
mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.
Menurut
Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya.
Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa
yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang
baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang
terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di
dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk
pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun
penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun
penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji
tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi
pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak
akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan,
2.3 Contoh Karya Sastra yang
Bersifat Dekonstruksi
Dekostruksi
mencakup pembuatan dikotomi biner, menentukan tokoh dominan, dan meruntuhkan
hirarki, contoh yang mengikuti tahap tersebut ada pada lampiran makalah. Kali
ini kita terlebih dahulu membahas Cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka merupakan salah
satu cerpen A.A. Navis yang terdapat dalam antologi lengkap cerpennya
yang diterbitkan pada tahun 2005. Cerpen ini ditulisnya pada
tahun 1963. Sebagai seorang cerpenis, Navis telah banyak menghasilkan
karya-karya yang sarat dengan sikap kritisnya untuk menyikapi berbagai fenomena
sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Lewat cerpen
fenomenalnya— Robohnya Surau Kami, Navis telah berhasil menjadi
bagian terpenting dalam khasanah perkembangan sastra Indonesia Modern.
Malin Kundang, sebuah legenda yang sudah tidak asing lagi. Telah
banyak orang yang mendongengkannya menurut keperluan dan imajinasinya
masing-masing. Berbeda dengan apa yang selama sudah dikenal banyak orang,
melalui cerpen ini, Navis mengemukakan sesuatu yang lain. Membaca judul cerpen
ini, ada semacam ketidaklaziman dengan apa yang sudah diketahui dan yang telah
berkembang di masyarakat selama ini. Perbedaan itu tampak jelas ketika Navis
mengemukakan bahwa yang durhaka itu sebetulnya bukanlah Malin
Kundang, tetapi ibunya. Secara struktural, cerpen ini tidak mempunyai sesuatu
yang berbeda dengan cerpencerpen lainnya. Penggambaran tokoh, alur, setting
tampak biasa-biasa saja, tetapi yang menarik dalam cerpen ini adalah kemampuan
Navis dalam melihat sisi lain dari legenda Malin Kundang msehingga
menjadi legenda tersebut sebagai ide dalam penulisan cerpen ini.
Dalam cerpen ini, Navis tidak ‘meniru’ apa adanya
dari legenda tersebut, tidak pula menceritakan kembali tentang legenda itu
menurut versinya, tetapi Navis justru mengemukakan sesuatu yang berbeda dari
cerita legenda melalui cara-cara yang unik dan menarik.Cerita ini mengisahkan
tentang sekelompok pemuda di sebuah kampung yang akan mementaskan sebuah drama
dalam rangkaian acara malam Hari Raya Idul Fitri untuk mengumpulkan dana dari
para perantau yang pulang pada hari lebaran. Dana yang terkumpul itu akan digunakan
untuk mendirikan sekolah, klinik kesehatan bagi kepentingan umum. Untuk
mengumpulkan orang-orang tersebut maka dipersiapkanlah sebuah acara dengan
menampilkan sebuah pementasan drama/teater. Dalam sebuah rapat para pemain
drama, Rasidin selaku sutradara meminta pendapat dari teman-temannya tentang
drama apa yang akan dipertunjukkan nantinya. Buya Nauman selaku tokoh
masyarakat meminta agar skrip yang akan dimainkan lebih bersifat edukatif.
Dalam rapat tersebut berbagai usukan muncul, termasuk usulan untuk mengangkat
cerita Malin Kundang. Seperti dalam kutipan berikut:
“Baiklah,
baiklah, “kata Rasidin mengatasi suara
yang
muncul.
“Nanti
kita tentukan kepada siapa anak itu
mendurhaka.
Yang perlu kini, pikirkan bentuk
durhakanya.”
“Melawan
ibu bapak”
“Tidak
membalas guna”
“Membalas
susu dengan tuba”
“Bahkan
sampai menyepak dan menerjang”
“Seperti
Ceritera Malin Kundang?”
“Kenapa
tidak ceritera Malin Kundang saja”
“Oh,
itu dongeng anak-anak. Sedang kita perlu
ceritera
untuk orang dewasa”
Bila dilihat sepintas lalu, cerpen ini tampaknya
sangat sederhana, hanya menceritakan tentang sebuah pertunjukan drama di sebuah
kampung, tetapi yang menarik di sini adalah melalui media inilah Navis
‘mendobrak’ atau menggembosi sebuah narasi besar. Sekarang yang perlu dilihat
adalah dalam perspektif atau cara yang bagaimana Navis melihat bahwa yang
durhaka itu adalah ibunya, bukan Malin Kundang.
Seperti
dalam kutipan berikut.
“Dikutuk”
“Jadi
batu”
“Kenapa
tidak jadi hantu”
“Oh
jangan. Nanti para penonton tidak berani
pulang
malam. Takut ketemu hantu di balik pintu”
“Kenapa
tidak dijadikan cerita sunsang?” Usul
Anis.
“Sunsang
bagaimana?”
“Si
ibu yang durhaka, dikutuk oleh anaknya.”
Suasana
menjadi sepi oleh gagasan yang tidak
lazim
itu
Dalam kutipan di atas tampak kepiawaian, memainkan
imajinasi dan proses kreatif Navis dalam menyampaikan ide-idenya melalui cara
yang menarik. Navis tampak sekali ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dari
apa yang dikemukakannya. Cerpen ini dikemas sedemikian rupa sehingga tampak
sebuah cerita lain di dalamnya—“cerita dalam cerita.” “Waktu Malin
Kundang kecil, ia anak sehat, suka lari sana lari sini. Ibunya asyik dengan
susurnya sambil bersandar di bawah naungan pohon rindang. Beberapa perangkat
cuciannya, seperti ember, ketiding, bangku berserakan di tempat Malin Kundang
berlari-lari. Kakinya tersandung dan jatuh. Keningnya menimpa ember. Robek, dan
mengalirkan darahnya yang banyak. Ibunya terpekik. Luka lebar di keningnya ia
tutup dengan susurnya. Darah memang berhenti mengucur, akan tetapi luka di
kening itu terus menganga. Luka itulah sebagai pertanda Malin Kundang sampai
dewasanya.” (Hal. 276) Selanjutnya, setelah Malin Kundang kembali dari
rantaunya, sesaat sebelum ia berlabuh di pantai, Malin Kundang bercerita kepada
istrinya bahwa negerinya kaya raya dan subur. Di pantainya nyiur melambai, di
gunungnya emas di tambang, di hutan yang lebat satwa bertahta. satwa bertahta.
Tentang ibunya Malin Kundang. menjelaskan bahwa sosok ibunya adalah ibu yang
mandiri, ditinggalkan mati suaminya, ibu yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan. Ketika telah sampai di pantai, alangkah terkejutnya Malin Kundang
melihat semuanya. Tanah negerinya tidak lagi subur, tidak ada lagi nyiur yang
melambai di tepi pantai, seperti sebelum ia berangkat untuk merantau dulu.
Sekarang semuanya telah berubah, tanahnya sudah gersang, tandus kerontang,
hutan-hutan yang dulunya sebagai tahta bagi aneka satwa sekarang sudah tidak
ada lagi. Selain itu, ibu yang selama ini ia sayangi dan banggakan, selalu taat
beribadah kepada tuhan pun telah berubah. Barangkali di sinilah kemarahan Malin
Kundang terhadap ibunya. terhadap ibunya bukan tanpa alasan. Ibunya yang selama
ini taat beribadah, sekarang justru berubah menjadi wanita penghibur alias
pelacur. “Akulah ibumu, Malin Kundang. Memang beginilah keadannya sekarang,
setelah banyak oarng seberang yang katanya mau menghangatkan tubuhku di
ranjang. Ketika aku terlena, mereka membabat hutan kita, memindahkan untuk
bangsanya. Ketika aku terjaga. Mereka sudah tiada,” kata perempuan tua di bawah
tangga.
“Tapi siapa laki-laki itu?” tanya
Malin Kundang sambil menunjuk ke belakang ibunya. “Dialah lelaki satu-satunya
yang tertinggal, yang rela menemani aku sampai kau
tiba
membawa harta, karena aku janjikan bahwa dia akan mendapat bagian.
Pada saat itulah Malin Kundang mengutuk ibunya
sendiri, “engkau perempuan laknat”. Kenapa tidak jadi batu? Itu
bertentangan dengan hukum dibumi. Hal inilah perbedaan besar, penggembosan
terhadap grand narative—sesuatu yang selama ini telah mendarah daging
dan yang telah berakar dalam pikiran masyarakat. Bukan Malin Kundang yang
durhaka, tapi ibunya. Sang ibu tidak mendoakan kesuksesan anaknya dalam berusaha
di negeri orang, tetapi justru memanfaatkan kesendiriannya dengan para lelaki hidung
belang. Entah telah berapa laki-laki yang tidur dengan ibunya. Dengan
demikian, A.A Navis, melalui cerpen ini ingin menyampaikan sesuatu yang beda.
Bahkan mengobrak-abrik pemikiran yang selama ini telah berkembang. Bila
dianalogikan dengan novel Siti Nubaya, Datuk Maringgih adalah sosok
seorang pahlawan yang senantiasa berjuang untuk bangsanya sendiri dari kaum
penjajah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah dekonstruksi
dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang lahir di
Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode
membaca teks. Dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks
secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang
menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam
menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Persoalan lain
dalam dekonstruksi adalah penggembosan terhadap narasi besar (grand narative).
Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian muncul sesuatu yang baru
yang menolak atau bahkan sama sekali bertolak belakang dengan apa yang selama
ini sudah tertanam kokoh.
Dalam cerpen Malin
Kundang, Ibunya Durhaka, A.A. Navis melihat sisi-sisi lain dari
legenda Malin Kundang dan menyampaikannya melalui cara yang sangat unik dan
menarik. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa yang durhaka bukanlah Malin
Kundang, tetapi ibunya. Hal ini adalah pembalikan yang luar biasa dari apa yang
telah dipahami oleh banyak orang selama ini.
3.2 Saran
Dalam
melakukan pengkajian karya sastra menggunakan teori dekonstruksi perlu mencari
referensi yang tepat dan menentukan objek yang sesuai. Sebab penggebrakan yang
ada dalam dekonstruksi merupakan hal yang luar biasa dan mampu mengubah opini
khalayak.
DAFTAR PUSTAKA
Barry, Peter.1995. Beginning Theory. Yogyakarta. Jalasutra
Luxemburg, Jan Van.1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Gramedia