Jumat, 12 Juni 2015

Pengkajian drama indonesia "dekonstruksi sebagai gempa tekstual"

Pengkajian Drama Indonesia
DEKONSTRUKSI SEBAGAI GEMPA TEKSTUAL











OLEH :
KELOMPOK II

SRI RAHAYU ANDIRA





JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015


KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
            Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat mnyelesaikan Makalah  yang berjudul “Dekonstruksi Sebagai Gempa Tekstual”.
Dalam penyusunan makalah  ini, penulis senantiasa mendapat bimbingan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah  ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan agar makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat. Amin.

Makassar,  Mei  2015

Penulis

                



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3  Tujuan Penulisan ............................................................................         2
BAB II PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Dekonstruksi ........................................................................ 3
2.2  Dekonstruksi Sebagai Gempa Tekstual .................................................. 6
2.3  Contoh Karya Sastra yang Bersifat Dekonstruksi ................................. 9
BAB III PENUTUP
3.1  Simpulan ................................................................................................ 13
3.2  Saran ...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14
LAMPIRAN








PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang
Teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra. Ketiga bidang ilmu ini saling memengaruhi dan berkaitan secara erat. "Tidak mungkin kita menyusun: teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra; kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra" (Wellek & Warren, 1993:39).
Jan van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn berpendapat Ilmu Sastra adalah ilmu yang mempelajari teks-teks sastra secara sistematis sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat. Tugas ilmu sastra adalah meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-ciri khas kesastraan dan fungsi sastra dalam masyarakat) secara umum dan sistematis. Teori Sastra merumuskan kaidah-kaidah dan konvensi-konvensi kesusastraan umum. Kegunaan Ilmu Sastra adalah membantu kita untuk mengerti teks itu secara lebih baik sehingga kita lebih tertarik untuk membaca karya-karya sastra.
Sedangkan Andre Lefevere sastra adalah pengetahuan kemanusiaan (existential knowledge) yang sejajar dengan bentuk hidup itu sendiri. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan terhadap sastra hanya akan terkesan absurd. Untuk mengetahui tentang teks sastra lebih dalam, begitu banyak teori yang dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra. Salah satunya adalah dekonstruksi yang dicetuskan oleh Derrida. Dalam makalah ini akan dibahas lebih luas mengenai teori dekonstruksi.




1.2       Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah yang ada berdasarkan latar belakang sebagai berikut:
1)      Apa yang dimaksud dengan dekonstruksi?
2)      Bagaimana peranan dekonstruksi terhadap karya sastra?
3)      Bagaimana contoh penggunaan teori dekonstruksi?

1.3       Tujuan Penulisan
1)      Mendeskripsikan pengertian dekonstruksi.
2)      Mendeskripsikan peranan dekonstruksi dalam karya sastra.
3)      Mendeskripsikan contoh penggunaan dekonstruksi dalam karya sastra.


















BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Pengertian Dekonstuksi
Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh, tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang yang berbicara dengan sebuah bahasa asing. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu meminta filsuf untuk berbicara secara “mudah” dan bukanny kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”
Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983, demikian isinya :
“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”

Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai kita. Apapun itu, setelah kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.
Jika strukturalisme menempatkan konsruksi bangunan sebagai hal penting dalam sebuah karya sastra, sehingga unsur-unsurnya harus terpadu secara kokoh dan harmonis, dekonstruksi justru menjungkirbalikkan pemikiran itu. Teori dekonstruksi yang dikembangkan Derrida memberikan peluang untuk menempatkan apa yang tidak penting dalam strukturalisme menjadi sesuatu yang penting. Tokoh yang tidak penting dalam kajian strukturalisme misalnya, bisa saja menjadi tokoh penting dalam kajian dekonstruksi. Satu hal yang sangat menonjol dari dekonstruksi adalah sifatnya yang menafikan penafsiran berdasarkan hermeneutika.
Derrida, melalui teori semiotika Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan. Menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran.
Itulah kelebihan Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Tafsiran-tafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi.

Itulah kelemahan Dekonstruksi Derrida. Kelemahan lain adalah:
1.   Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna. Retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai dan obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2.   Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakpercayaan terhadap makna.
3.  Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasa-biasaan pemaknaan dapat dicegah.
4.   Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil penghancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah bagi makna-makna baru.

2.2       Dekonstruksi Sebagai Gempa Tekstual
            Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida.
Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks.
Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yaknidifferance, jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to defer).  Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya.
Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya.
Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.
Derrida juga menambahkan bahwa inti dekontruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada.
Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan,

2.3       Contoh Karya Sastra yang Bersifat Dekonstruksi
Dekostruksi mencakup pembuatan dikotomi biner, menentukan tokoh dominan, dan meruntuhkan hirarki, contoh yang mengikuti tahap tersebut ada pada lampiran makalah. Kali ini kita terlebih dahulu membahas Cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka merupakan salah satu cerpen A.A. Navis yang terdapat dalam antologi lengkap cerpennya yang diterbitkan pada tahun 2005. Cerpen ini ditulisnya pada tahun 1963. Sebagai seorang cerpenis, Navis telah banyak menghasilkan karya-karya yang sarat dengan sikap kritisnya untuk menyikapi berbagai fenomena sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Lewat cerpen fenomenalnya— Robohnya Surau Kami, Navis telah berhasil menjadi bagian terpenting dalam khasanah perkembangan sastra Indonesia Modern. Malin Kundang, sebuah legenda yang sudah tidak asing lagi. Telah banyak orang yang mendongengkannya menurut keperluan dan imajinasinya masing-masing. Berbeda dengan apa yang selama sudah dikenal banyak orang, melalui cerpen ini, Navis mengemukakan sesuatu yang lain. Membaca judul cerpen ini, ada semacam ketidaklaziman dengan apa yang sudah diketahui dan yang telah berkembang di masyarakat selama ini. Perbedaan itu tampak jelas ketika Navis mengemukakan bahwa yang durhaka itu sebetulnya bukanlah Malin Kundang, tetapi ibunya. Secara struktural, cerpen ini tidak mempunyai sesuatu yang berbeda dengan cerpencerpen lainnya. Penggambaran tokoh, alur, setting tampak biasa-biasa saja, tetapi yang menarik dalam cerpen ini adalah kemampuan Navis dalam melihat sisi lain dari legenda Malin Kundang msehingga menjadi legenda tersebut sebagai ide dalam penulisan cerpen ini.
Dalam cerpen ini, Navis tidak ‘meniru’ apa adanya dari legenda tersebut, tidak pula menceritakan kembali tentang legenda itu menurut versinya, tetapi Navis justru mengemukakan sesuatu yang berbeda dari cerita legenda melalui cara-cara yang unik dan menarik.Cerita ini mengisahkan tentang sekelompok pemuda di sebuah kampung yang akan mementaskan sebuah drama dalam rangkaian acara malam Hari Raya Idul Fitri untuk mengumpulkan dana dari para perantau yang pulang pada hari lebaran. Dana yang terkumpul itu akan digunakan untuk mendirikan sekolah, klinik kesehatan bagi kepentingan umum. Untuk mengumpulkan orang-orang tersebut maka dipersiapkanlah sebuah acara dengan menampilkan sebuah pementasan drama/teater. Dalam sebuah rapat para pemain drama, Rasidin selaku sutradara meminta pendapat dari teman-temannya tentang drama apa yang akan dipertunjukkan nantinya. Buya Nauman selaku tokoh masyarakat meminta agar skrip yang akan dimainkan lebih bersifat edukatif. Dalam rapat tersebut berbagai usukan muncul, termasuk usulan untuk mengangkat cerita Malin Kundang. Seperti dalam kutipan berikut:
“Baiklah, baiklah, “kata Rasidin mengatasi suara
yang muncul.
“Nanti kita tentukan kepada siapa anak itu
mendurhaka. Yang perlu kini, pikirkan bentuk
durhakanya.”
“Melawan ibu bapak”
“Tidak membalas guna”
“Membalas susu dengan tuba”
“Bahkan sampai menyepak dan menerjang”
“Seperti Ceritera Malin Kundang?”
“Kenapa tidak ceritera Malin Kundang saja”
“Oh, itu dongeng anak-anak. Sedang kita perlu
ceritera untuk orang dewasa”

Bila dilihat sepintas lalu, cerpen ini tampaknya sangat sederhana, hanya menceritakan tentang sebuah pertunjukan drama di sebuah kampung, tetapi yang menarik di sini adalah melalui media inilah Navis ‘mendobrak’ atau menggembosi sebuah narasi besar. Sekarang yang perlu dilihat adalah dalam perspektif atau cara yang bagaimana Navis melihat bahwa yang durhaka itu adalah ibunya, bukan Malin Kundang.
Seperti dalam kutipan berikut.
“Dikutuk”
“Jadi batu”
“Kenapa tidak jadi hantu”
“Oh jangan. Nanti para penonton tidak berani
pulang malam. Takut ketemu hantu di balik pintu”
“Kenapa tidak dijadikan cerita sunsang?” Usul
Anis.
“Sunsang bagaimana?”
“Si ibu yang durhaka, dikutuk oleh anaknya.”
Suasana menjadi sepi oleh gagasan yang tidak
lazim itu

Dalam kutipan di atas tampak kepiawaian, memainkan imajinasi dan proses kreatif Navis dalam menyampaikan ide-idenya melalui cara yang menarik. Navis tampak sekali ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dari apa yang dikemukakannya. Cerpen ini dikemas sedemikian rupa sehingga tampak sebuah cerita lain di dalamnya—“cerita dalam cerita.” “Waktu Malin Kundang kecil, ia anak sehat, suka lari sana lari sini. Ibunya asyik dengan susurnya sambil bersandar di bawah naungan pohon rindang. Beberapa perangkat cuciannya, seperti ember, ketiding, bangku berserakan di tempat Malin Kundang berlari-lari. Kakinya tersandung dan jatuh. Keningnya menimpa ember. Robek, dan mengalirkan darahnya yang banyak. Ibunya terpekik. Luka lebar di keningnya ia tutup dengan susurnya. Darah memang berhenti mengucur, akan tetapi luka di kening itu terus menganga. Luka itulah sebagai pertanda Malin Kundang sampai dewasanya.” (Hal. 276) Selanjutnya, setelah Malin Kundang kembali dari rantaunya, sesaat sebelum ia berlabuh di pantai, Malin Kundang bercerita kepada istrinya bahwa negerinya kaya raya dan subur. Di pantainya nyiur melambai, di gunungnya emas di tambang, di hutan yang lebat satwa bertahta. satwa bertahta. Tentang ibunya Malin Kundang. menjelaskan bahwa sosok ibunya adalah ibu yang mandiri, ditinggalkan mati suaminya, ibu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Ketika telah sampai di pantai, alangkah terkejutnya Malin Kundang melihat semuanya. Tanah negerinya tidak lagi subur, tidak ada lagi nyiur yang melambai di tepi pantai, seperti sebelum ia berangkat untuk merantau dulu. Sekarang semuanya telah berubah, tanahnya sudah gersang, tandus kerontang, hutan-hutan yang dulunya sebagai tahta bagi aneka satwa sekarang sudah tidak ada lagi. Selain itu, ibu yang selama ini ia sayangi dan banggakan, selalu taat beribadah kepada tuhan pun telah berubah. Barangkali di sinilah kemarahan Malin Kundang terhadap ibunya. terhadap ibunya bukan tanpa alasan. Ibunya yang selama ini taat beribadah, sekarang justru berubah menjadi wanita penghibur alias pelacur. “Akulah ibumu, Malin Kundang. Memang beginilah keadannya sekarang, setelah banyak oarng seberang yang katanya mau menghangatkan tubuhku di ranjang. Ketika aku terlena, mereka membabat hutan kita, memindahkan untuk bangsanya. Ketika aku terjaga. Mereka sudah tiada,” kata perempuan tua di bawah tangga.
            “Tapi siapa laki-laki itu?” tanya Malin Kundang sambil menunjuk ke belakang ibunya. “Dialah lelaki satu-satunya yang tertinggal, yang rela menemani aku sampai kau
tiba membawa harta, karena aku janjikan bahwa dia akan mendapat bagian.
Pada saat itulah Malin Kundang mengutuk ibunya sendiri, “engkau perempuan laknat”. Kenapa tidak jadi batu? Itu bertentangan dengan hukum dibumi. Hal inilah perbedaan besar, penggembosan terhadap grand narative—sesuatu yang selama ini telah mendarah daging dan yang telah berakar dalam pikiran masyarakat. Bukan Malin Kundang yang durhaka, tapi ibunya. Sang ibu tidak mendoakan kesuksesan anaknya dalam berusaha di negeri orang, tetapi justru memanfaatkan kesendiriannya dengan para lelaki hidung belang. Entah telah berapa laki-laki yang tidur dengan ibunya. Dengan demikian, A.A Navis, melalui cerpen ini ingin menyampaikan sesuatu yang beda. Bahkan mengobrak-abrik pemikiran yang selama ini telah berkembang. Bila dianalogikan dengan novel Siti Nubaya, Datuk Maringgih adalah sosok seorang pahlawan yang senantiasa berjuang untuk bangsanya sendiri dari kaum penjajah.

BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Persoalan lain dalam dekonstruksi adalah penggembosan terhadap narasi besar (grand narative). Sesuatu yang telah berlaku lama, tertata, kemudian muncul sesuatu yang baru yang menolak atau bahkan sama sekali bertolak belakang dengan apa yang selama ini sudah tertanam kokoh.
Dalam cerpen Malin Kundang, Ibunya Durhaka, A.A. Navis melihat sisi-sisi lain dari legenda Malin Kundang dan menyampaikannya melalui cara yang sangat unik dan menarik. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa yang durhaka bukanlah Malin Kundang, tetapi ibunya. Hal ini adalah pembalikan yang luar biasa dari apa yang telah dipahami oleh banyak orang selama ini.

3.2       Saran 
 Dalam melakukan pengkajian karya sastra menggunakan teori dekonstruksi perlu mencari referensi yang tepat dan menentukan objek yang sesuai. Sebab penggebrakan yang ada dalam dekonstruksi merupakan hal yang luar biasa dan mampu mengubah opini khalayak.






DAFTAR PUSTAKA

Barry, Peter.1995. Beginning Theory. Yogyakarta. Jalasutra

Luxemburg, Jan Van.1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Gramedia













Tidak ada komentar:

Posting Komentar