Minggu, 31 Mei 2015

Pokok dan Tokoh Sastra Iwan Simataupang

Mata Kuliah: Pokok dan Tokoh Sastra Indonesia

IWAN SIMATUPANG
SEORANG SARTRE INDONESIA
(Manusia Perbatasan yang Hilang  Dalam Rimba Labirin Filosofis)



OLEH
SRI RAHAYU ANDIRA
1251141006

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas  mata kuliah pokok dan tokoh sastra Indonesia ini dengan judul ” Iwan Simatupang Sebagai Sartre Indonesia (Manusia Perbatasan yang Hilang Dalam Rimba Labirin Filosofis) “ .
Dalam  penyelesaian tugas ini, penulis senantiasa mendapat bimbingan, bantuan, dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya materi yang menguak tentang Iwan Simatupang ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan  ini jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun senantiasa penulis harapkan agar makalah ini dapat lebih baik dan bermanfaat. Amin.

Makassar,  Mei  2015

Penulis





DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB  I  IWAN SIMATUPANG SEORANG MANUSIA PERBATASAN
A.      Biografi
B.      Karier Kepenulisan
BAB II IWAN SIMATUPANG DALAM HILANG DAN PENCARIAN
A.      Puisi
B.      Cerpen
C.      Novel
D.      Essai
BAB III SURAT-SURAT POLITIK IWAN SIMATUPANG
Data Sumber











BAB I
  MANUSIA PERBATASAN
“Aku menyebut diriku manusia marjinal, manusia perbatasan”
(Iwan Simatupang)
A.    Biografi
  Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai "Iwan Simatupang" (lahir di Sibolga, 18 Januari 1928 – meninggal di Jakarta, 4 Agustus 1970 pada umur 42 tahun) adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tapi tidak selesai. Kemudian belajar antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958. Ia pernah menjadi Komandan Pasukan TRIP dan ditangkap pada penyerangan kedua polisi Belanda di Sumatera Utara (1949); setelah bebas, ia melanjutkan sekolahnya sehingga lulus SMA di Medan. Ia pernah menjadi guru SMA di Surabaya, redaktur Siasat, dan terakhir redaktur Warta Harian (1966-1970). ]. Tulisan-tulisannya dimuat di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia mulai tahun 1952.
Pada mulanya ia menulis sajak, tapi kemudian terutama menulis esai, cerita pendek, drama dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama. Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.


B.     Karier Kepenulisan
Ketika di Belanda, sejak 1955 sampai 1958, Iwan giat menulis di majalah Gajah Mada, terbitan Yogyakarta. Artikelnya mencakup esai sastra, drama, film, seni rupa, juga ihwal kebudayaan pada umumnya. Selama studi Antropologi dan Sosiologi di Amsterdam, Iwan pun mengarang drama. Tahun 1957 lahir dramanya berjudul Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar. Tahun berikutnya, dia tulis drama Taman. Saat diterbitkan drama itu diberi judul Petang di Taman.
Iwan pernah menjadi guru, wartawan, pengarang cerpen dan puisi, selain menulis esai, drama dan novel. Puisinya pertamanya dipublikasikan berjudul Ada Dukacarita di Gurun, dimuat majalah Siasat edisi 6 Juli 1952. Sajaknya yang lain adalah Ada Dewa Kematian Tuhan, Apa kata Bintang di Laut, dan Ada Tengkorak Terdampar di Pulau Karang. Puisi-puisi itu dimuat di majalah Siasat Baru edisi 30 Desember 1959. Selanjutnya, judul-judul cerpen Iwan adalah Monolog Simpang Jalan, Tanggapan Merah Jambu tentang Revolusi, Kereta Api Lewat di JauhaI, Patates Frites, Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu, Tegak Lurus dengan Langit, Tak Semua Tanya Punya Jawab dan lain-lain.
Sebagai wartawan Iwan menulis banyak sketsa tentang orang-orang tersisih terpinggirkan. Misalnya, Iwan menulis di kolomnya itu, Oleh-oleh untuk Pulau Bawean, Prasarana; Apa Itu Anakku?, Aduh… Jangan Terlalu Maju, Atuh!, Husy! Geus! Hoechst!, Di Suatu Pagi, Seorang Pangeran Datang dari Seberang Lautan, dan Dari Tepi Langit yang Satu ke Tepi Langit yang Lain.
Kritikus sastra menyebut karyanya sebagai avant garde terhadap buah pena Iwan. Iwan sendiri menyebut dirinya manusia marjinal, manusia perbatasan. Dalam novelnya Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong, juga pada drama-dramanya, Petang di Taman, RT 0 RW 0, maupun Kaktus dan Kemerdekaan, begitu pula dalam cerpen-cerpennya, para tokohnya terkesan berkelakuan aneh, tidak rasional.
Iwan mendapat hadiah penghargaan untuk cerita pendeknya dalam Erwin Gastilla di Filipina, dan hadiah untuk karya nonfiksi dari Mrs. Judi Lee dari Singapura. Tokoh-tokoh dalam cerita Iwan adalah manusia terpencil, kesepian, terasing, dilanda tragedi, perenung, dan cenderung murung.
Tokoh-tokoh dalam karyanya menurut Iwan sendiri adalah manusia perbatasan, manusia eksistensialisme. Makanya, ada beberapa kalangan penikmat karya-karya Iwan, menilai karangan-karangan Iwan sulit dicerna. Karangan-karangan Iwan bertokoh manusia-manusia yang tidak masuk akal atau manusia aneh. Dalam drama Petang di Taman yang liris puitis, misalnya, tokoh-tokohnya seperti berkata pada dirinya sendiri, berfilsafat, dan putus komunikasi dengan orang lain, atau lingkungannya. Tapi, di sinilah kekhasan karya Iwan, yang membedakannya dengan karya-karya para pendahulunya.
 Karya-karya Terbaik Iwan Simatupang
  1. Bulan Bujur Sangkar (drama, 1960),
  2. RT Nol/RW Nol (drama, 1966)
  3. Petang di Taman (drama, 1966, seharusnya judulnya Taman, diubah penerbit menjadi Petang di Taman),
  4. Merahnya Merah (novel, 1968)
  5. Ziarah (novel, 1969),
  6. Kering (novel, 1972,
  7. Koong (novel, 1975, Prize winner Yayasan Buku Utama Departeman P dan K, 1975)
  8. Tegak Lurus dengan Langit (collection of short stories, 1982, Ed. Dami N. Toda)
  9. Sejumlah Masalah Sastra (collection of essays, 1982, Ed. Satyagraha Hoerip)
  10. Surat-Surat Politik Iwan Simatupang 1964–1966 (1986, Ed. Frans M. Parera)
  11. Ziarah Malam (collection of poetry, 1993, Ed. Oyon Sofyan dan Sjamsoerizal Dar).








BAB II
DALAM HILANG DAN PENCARIAN
“Hilang adalah keadaan lebih parah daripada mati”
(Iwan Simatupang)
A.    Puisi

Berikut menyajikan beberapa puisi pilihan Iwan Simatupang yang diambil dari buku Ziarah Malam. Selamat membaca. 

Potret

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.

Kini dara sudah lama tak menunggu lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa datang
Menjelang tengah malam dari kebun belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang.


Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.

Kini dara sudah lama dalam biara.


Ballade Kucing dan Otolet

Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet

Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan manusia buru-buru

Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan

Bangke makin rata
Di aspal panas

Penumpang gigimas
Bercanda

Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan


Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya

Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?

Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...

Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah

Dengan senyum –
Seribu-kiamat

Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang

Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu

Ada melati tumbuh
Diciuman segara dengan gurun
Jauh jauh

Darah beku
Melati layu
Tapal sayu

Ada murai atas cactus
Ada cactus dalam hati
Ada kicau berduri

Sunyi sunyi

Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas risau lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar

(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh

Pengakuan

Aku ingin memberi pengakuan:

Bulan yang gerhana esok malam
telah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada kaca yang retak oleh
tengadah derita kepada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
pengakuan:

esok adalah bulan purnama

Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961

REQUIEM
Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari
 Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik
Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kami tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.
Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera ...
Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggui kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepenginjakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!
Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!
Surabaya, 29 Januari 1953
B.     Cerpen

Cerpen-cerpen Iwan Simatupang dalam Tegak Lurus dengan Langit dikumpulkan Dami N. Toda, dan sejak awal telah menunjukan penjelajahan yang berhasil dalam mengedepankan pergulatan eksistensial manusia yang kehidupan psikologisnya problematis.

            Karakter  (tokoh) dalam cerpen-cerpen Iwan Simatupang sangat “khas Iwan”. Mereka adalah karakter-karakter  yang asing , “hilang”, misterius, tersesat dalam rimba labirin filosofis dan / atau terasing dari realitas kehidupan sosial. Karakter-karakter –karakter itu dalam kehidupan sehari-hari sangat mungkin kita kenal sebagai tetangga atau sahabat kita yang secara fisik biasa-biasa saja namun secara sosial mungkin kita anggap aneh karena pikiran dan tingkah lakunya yang rumit dan tidak biasa.

            Karakter-karakter itu tampaknya tidak hadir secara sembarang atau begitu saja turun dari langit khayalan. Dapat kita katakan Iwan Simatupang sengaja menghadirkan mereka dari realitas ‘kini dan di sini’ setelah terlebih dahulu di-interiorisasi, yaitu diolah lewat suatu proses membatinkan melalui penjelajahan secara mentubi ke dalam wilayah pikiran dan perasaan mereka.

            Dari hasil interiorisasi itulah, misalnya, lahir karakter aku dalam “Lebih Hitam dari Hitam” yang hidup dalam dunia yang asing, yang menyebal dari segala ukuran logika umum (common sense). Aku yang disiksa perasaan hampa dalam cerpen itu adalah pasien rumah sakit jiwa. Suatu ketika ia terlibat konflik dengan sesama pasien. Secara tak sengaja konflik itu melahirkan kembali perasaan kasih sayang dalam hatinya yang dilukiskan Iwan dengan lyric-cry (meminjam istilah Frank O. Connor) sangat menyentuh:
Pipiku basah keduanya: dunia menghenyakan dirinya ke dalam diriku. Dunia kutimang. Kasihku padanya tak terhingga.

           “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu” dan “Tegak Lurus dengan Langit” adalah dua dari sedikit cerpen Iwan Simatupang yang  paling berhasil menggugah kita untuk berpikir kembali tentang kesadaran meng-Ada manusia. Yang dimaksud  “kesadaran meng-Ada” adalah bagaimana manusia (sebagai individu atau sebagai aku) menempatkan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain, Tuhan, dan dengan segala sesuatu di luar dirinya. Karakter dalam kedua cerpen itu adalah aku yang memikul beban sisi gelap meng-Ada secara etre-pour-soi (Inggris: being-for-itself atau “kesadaran manusia”) dalam pemahaman filsafat eksistensialisme. Menurut Jean Paul Sertre , filsuf kelahiran Francis yang bukunya L’etre e le neant (Ada dan Ketiadaan) menjadi dokumen penting aliran filsafat eksistensialisme dan pikiran-pikirannya di sana-sini mempengaruhi cara berpikir Iwan Simatupang, manusia yang meng-Ada secara etre-pour-soi adalah manusia yang menggenggam kebebasan dalam kedua tangannya sendiri, dan membentuk kebebasan yang dimilikinya menurut kehendaknya sendiri. Ia menjadi semacam manusia yang dimaksudkan Sartre dengan perkataannya: I’homme n’est nen d’autre que ce qu’ilse fait atau “manusia adalah sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri.
Karakter yang tersesat dalam rimba labirin filosofis dan terasing dari realitas kehidupan sosial muncul pula dalam dua cerpen berikut ini. Karakter gadis dalam “Patates Frites” yang dilukiskan sebagai mirip Juliette Creco, “penyanyi eksistensialisme kota Paris” terlunta-lunta dalam pengembaraan yang melelahkan sebagai akibat dari keyakinannya yang teguh terhadap “kebenaran” filsafat dunianya.

Cerita tentang bunuh diri misalnya terdapat dalam 'Kereta Api Lewat di Jauhan', 'Tegak Lurus Dengan Langit' , ' Tak Semua Punya Jawab', dan 'Dari Tepi Langit Yang Satu Ke Tepi Langit Yang Lain'. Cerita tentang orang 'sakit' dapat ditemukan misalnya dalam 'Lebih Hitam Dari Hitam', 'Monolog Simpang Jalan' dan 'Senyum Di Jembatan'. Selebihnya adalah cerita-cerita yang biasa tetapi luar biasa yang dikemas dengan bahasa yang realis minim metaforis.

Tegak Lurus dengan Langit kumpulan Cerita Pendek Iwan Simatupang Penerbit Sinar Harapan, 1982, 115 hal sesuatu yang tidak mungkin, sesuatu yang gila-gilaan dalam sebuah cerita pendek bisa sangat menarik. Dan Iwan Simatupang (1928-1970) rupanya ahli dalam hal itu. "Lima belas tahun yang lalu, terataknya didatangi seorang laki-laki kasar memperkosanya lalu pergi ...." Atau, "Oleh karena ia pada suatu hari tak tahu apa yang harus dilakukan tangannya, ia mencari tali dan menggantung dirinya." Dengan daya rangsang dan daya kejut seperti itulah Iwan membuka cerita pendeknya.

Kumpulan 15 cerita pendek Iwan ini, pembukaan seperti itu selain memiliki daya pikat, pun langsung menyiapkan pembaca untuk terjun dalam satu dunia imajinasi yang lepas bebas. Suatu dunia tempat langit bisa disulap.

a)      Tegak Lurus Dengan Langit
Antologi ini juga memuat cerpen Tegak Lurus dengan Langit, cerpen yang menjadi judul antologi. Sama seperti tiga cerpen yang telah kita ulas tadi, cerpen ini juga tragis. Kelam. Dalam cerpen ini, Iwan menggambarkan sebuah keluarga yang gelisah, nyaris separuh gila semuanya, akibat menghilangnya sosok yang menjadi ayah dan suami di keluarga mereka. Kehilangan sosok yang tak jelas dimana rimbanya tersebut melahirkan rasa frustasi. Si ibu tidak bisa disebut janda, karena jelas mereka belum cerai. Anak-anak tidak bisa disebut yatim karena tak ada kabar ayah mereka telah mati. Alhasil, situasi status serba tak menentu tersebut melahirkan tekanan sosial yang berimpilikasi psikologis kepada mereka semua.

Sang ibu pada akhirnya mati mendadak setelah ia tak sengaja dipergoki si bungsu bertelanjang-ria, bergulat, bemain cinta dengan pria lain. Dua kakak si bungsu dipenjara seumur hidup gara-gara membunuh petugas sensus. Kesalahan petugas sensus mungkin saja kecil, karena bertanya dimana ayah mereka. Tapi di mata kedua kakaknya, kesalahan si petugas sangat besar, membuka luka lama keluarga mereka yang selama ini tersiksa karena kehilangan ayah mereka.

Lantas bagaimana dengan si bungsu? Kisahnya lebih hebat dan tragis lagi. Sang ayah yang telah 17 tahun menghilang, tiba-tiba muncul di depan rumah mereka. Sebuah kepulangan yang sangat tidak tepat, setelah satu persatu anggota keluarga tersebut tercerabut dari rumah mereka. Si ibu mati karena malu pada anak-anak karena telah ber-seks di luar nikah dengan laki-laki lain, si kakak harus dikurung seumur hidup di penjara karena membunuh orang yang menanyakan ayah mereka dimana—ini jelas implikasi dari hilangnya ayah mereka. Kutukan-kutukan tersebut akibat dosa besar ayah mereka yang menghilang tanpa rimba. Kini sang ayah telah pulang. Kutukan tak lagi bisa menjadi keberkahan. Dosa tak lagi mungkin terhapus.

Kutukan dan dosa itulah yang membawa si bungsu pada akhirnya membunuh ayah mereka. Pembunuhan untuk menuntaskan dendam, itulah motifnya. Langkah cepat untuk membebaskan beban pikiran, itulah tujuannya. Pada akhirnya, memang si bungsu mendapatkan apa yang ia motifkan dan ia tujukan. Kebebasan dari bayang-bayang sang ayah. Dan pada akhirnya, memang ia merasakan dirinya sama-sama tegak lurus dengan langit
\
b) Tunggu Aku Di Pojok Jalan Itu

Ketika suami-isteri sedang berjalan berdua, sang suami pergi untuk membeli rokok. Sang isteri menunggunya di pojok jalan. Hari demi hari, sampai sepuluh tahun kemudian, ia kembali ke kota itu. Ternyata sang isteri masih menunggu di pojok jalan itu.
Mereka saling tegur sapa seperti orang yang baru mengenal. Kemudian datang laki-laki lain, isterinya pun segera menghampiri lelaki itu dan berbincang-bincang akrab dengan lelaki itu.
Sang suami cemburu melihat kejadian itu. Tapi dia lihat-lihat isterinya selalu ramah dengan semua laki-laki yang menghampirinya. Ternyata dia baru tahu kalau isterinya sekarang sama saja dengan wanita-wanita lainnya yang pernah ditegurnya di kaki-kai lima. Isterinya sekarang menjadi tuna susila.
            Secara estetika maupun tematik cerpen-cerpen Iwan Simatupang dapat dikatakan berjaya, keberhasilan itu tampaknya disebabkan bukan semata-mata karena kehadirannya dalam lingkungan kesusastraan kita pada waktu itu bersamaan dengan menggejalanya “demam eksistensialisme”, melainkan karena cerpen-cerpennya sebagaimana karya drama, novel, dan juga puisi-puisinya merupakan endapan biografis dari perjalanan jiwanya.

Cerpen-cerpen Iwan Simatupang sangat kental aroma realismenya dengan mengambil latar dan karakter orang-orang biasa yang sering sekali kita temui dalam kehidupan tetapi kadang kita tidak sadar akan keberadaan mereka hanya karena mereka adalah orang-orang biasa, orang-orang tidak penting. Taruhlah tukang cingcau, tukang becak, penjual rokok, anak gelandangan, orang gila, bahkan seorang penumpang biasa di sebuah bus kota.

Karakter-karakter tokoh yang ditampilkan dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam antologi ini, selalu saja adalah orang-orang dengan begitu banyak permasalahan, terkadang samapi mempertanyakan diri sendiri, mempertanyakan ke'manusia'annya. Manusia yang terjebak dalam dilematika kehidupannya yang biasa : sakit jiwa, penyakit darah tinggi, ditinggal pergi sang ayah, rumahnya digusur, pulang kampung, dan perasaan ingin bunuh diri; permasalahan yang klasik di negeri indonesia terlebih dalam masa proses kreatif iwan di era transisi kemerdekaan negeri ini.

C.    Novel

Bagaimana ide totalitas pencarian itu direalisasikan Iwan Simatupang dalam karya fiksi khususnya novel. Pola-pola apa yang digunakan Iwan dalam kerja ‘mencari’ tokoh-tokoh imajinernya.

Di sini akan diambil tiga novel Iwan Simatupang sebagai lahan untuk menelusuri kerja nyata ‘mencari’-nya Iwan Simatupang, yakni Merahnya Merah, Kering, dan Koong. 



a)      Merahnya Merah

Merahnya Merah bercerita tentang kisah seorang tokoh protagonis yang disebut sebagai tokoh kita tanpa nama pribadi. Tokoh kita ini digambarkan sebagai lelaki yang mempunyai latar belakang yang kompleks. Sebelum revolusi, dia calon rahib. Selama revolusi, komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa.

Cerita berlanjut. Tokoh kita dipertemukan dengan Fifi yang akhirnya menjadi kekasih hatinya. Suatu ketika Fifi hilang dan inilah awal dari pergerakan panjang novel ini, yakni ‘mencari’. 

Dalam novel ini, pencarian kepada salah seorang tokoh yang hilang (Fifi) adalah pencarian kolektif, pencarian yang melibatkan semua tokoh dalam novel, baik mencari secara langsung atau sekadar terlibat dalam emosi pencarian. Tokoh kita sendiri yang semula dihalangi oleh Maria, akhirnya berangkat untuk mencari juga. 

Ketika Pak Centeng mengejarnya dan bertanya akan kemana, tokoh kita menjawab: “Entahlah. Hatiku berkata, aku harus berbuat sesuatu. Entah apa. Dan ini semakin membuatku sebal. Yakni, hadirnya suatu keadaan yang, dilihat dari segenap penjuru, adalah sama dan sebangun dengan suatu tuntutan untuk bertindak.” (Merahnya Merah: 1968, 87). Dengan kata lain, diam dan tidak mencari adalah sesuatu yang dielak oleh bawah sadar tokoh kita. 
Dalam karya-karya fiksi Iwan Simatupang, pola atau alur pencarian semacam ini tidak hanya ditemui dalam novel Merahnya Merah, tetapi juga dalam novel Kering dan Koong. 

b)     Kering

Dalam novel Kering kerja ‘mencari’ dalam arti bergerak secara terang-terangan dan memicu pencarian secara kolektif justru diawali oleh tokoh antagonis yang disebut Si kacamata. Suatu ketika, desa transmigran yang dihuni penduduk itu dilanda kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan fatal. 

Si kacamata berbicara pada orang-orang di sekitarnya, “Bila tak ingin mati, kita harus pilih hidup. Daerah ini, dengan keadaannya yang begini kini, tidak memperkenankan kita hidup. Bila kita menolak mati, dan memilih hidup, kesimpulan berikutnya berbunyi: Kita harus cari daerah lain, di mana kemungkinan hidup itu ada bagi kita.” 

Si kacamata sebagai orang yang pertama memulai pencarian tidak mengerti secara jelas jalan yang akan ditempuhnya kelak. Hal ini sama seperti keadaan yang dialami Tokoh kita dalam Merahnya Merah saat akan memulai mencari Fifi. Baginya, mencari berarti risiko, spekulasi, mencoba lagi, berusaha lagi, dan hidup lagi! 

Bagaimana dengan tokoh protagonis dalam Kering itu sendiri? Oleh pengarangnya ia disebut juga sebagai tokoh kita. Tokoh kita dalam Kering ini juga memiliki latar belakang yang kompleks sebagaimana tokoh kita dalam Merahnya Merah. Tokoh kita ini digambarkan sebagai orang yang selalu “nyaris berhasil” dalam berbagai peran yang ia lakoni sepanjang masa lalu. 

Kompleksitas latar belakang ini membuat tokoh kita dalam Kering juga tidak dapat lepas dari suatu keterasingan terhadap lingkungannya. Hal ini dipertegas oleh pengakuan tokoh kita sendiri yang berkata alangkah sulit melakukan hubungan antar manusia. Alangkah sulitnya untuk berbuat biasa saja. Alangkah sulitnya untuk bercakap biasa saja. 

Tokoh kita dalam Kering juga melakukan suatu pencarian yang total, mental dan fisik, dalam dan keluar. Ia melakukan kerja ‘mencari’-nya seorang diri di desa kering itu. Pencarian itu adalah pencarian dari nol-harapan-hasil, tidak peduli bahwa sumur yang ia gali akan menemukan air, tetapi proses itulah yang tetap membuatnya hidup (pencarian-dalam). 

Tokoh kita baru mengalami pergerakan keluar desa (pencarian-keluar) setelah desa itu kering terbakar. Sebelum berhasil mengadakan pencariannya yang bebas, ia harus lebih dulu berurusan dengan rumah sakit jiwa sebagaimana dalam Merahnya Merah juga. Sewaktu pencarian-keluarnya inilah ia merasakan keterasingannya dalam melakukan hubungan antarmanusia. Akan tetapi, semangat pencarian tokoh kita tetap berjalan dengan optimis. Bahkan ia sempat mengikrarkan dirinya sebagai ‘bukan manusia-pulang, tapi manusia-pergi’, dimana dirinya senantiasa berangkat dan tak pernah ingin terikat dan mengikat (pada) apa dan siapapun. 

c)      Kooong

Judul: Kooong, Kisah tentang Seekor Perkutut
Pengarang: Iwan Simatupang
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya
Cetakan kedua, 2013 (pertama kali 1975)
ISBN:978-979-419-386-0

Tokoh protagonis dalam novel Koong mempunyai nama pribadi, yakni Pak Sastro. Hal ini dimungkinan oleh karena Koong punya latar belakang penciptaan yang berbeda dengan novel lainnya. novel Koong ini ditulis khusus diperuntukkan bagi muda-mudi dan anak-anak sebagaimana yang dikatakan dalam surat Iwan Simatupang kepada H.B. Jassin. Meski demikian, ada yang tetap tidak hilang dari motif dan pola khas Iwan dalam novel ini, yakni keterasingan dan pencarian. 
Dalam Koong, Pak Sastro juga berlatar belakang yang kompleks karena peristiwa tragis dan ironis yang terus-menerus menimpanya. Mula-mula ia seorang yang dihormati sekaligus disayangi warga setempat karena sifat dermawan dan rendah hatinya. Suatu ketika, bencana banjir datang dan merenggut nyawa istrinya. Selang beberapa waktu, anak semata wayangnya meninggal tertabrak kereta api. Dalam kehilangan yang berlipat-lipat itu,  suatu saat kepulangan Pak Sastro membawa seekor burung perkutut menarik perhatian orang desa. Orang-orang desa berkerumun mendekati perkutut Pak Sastro untuk mendengar kooongnya. Namun mereka kecewa. Perkutut Pak Sastro tidak ada kooong-nya.  Pak Sastro tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia sendiri cukup puas dengan keadaan tersebut. Bagi dia, keberadaan perkutut yang tidak bisa kooong tersebut justru tepat mengisi kekosongan dalam dirinya. Begitulah Pak Sastro setiap pagi. Begitu bangun ia memberi makan perkututnya dan dikereknya sangkar burung perkutut itu tinggi-tinggi di udara. Itulah kebahagiaannya. Sampai pada suatu ketika ia menemukan sangkar perkututnya dalam keadaan kosong. Burung perkututnya hilang!
sebuah pelarian berupa ‘burung perkutut’ miliknya yang unik pun lepas dari sangkarnya. 

Kisah selanjutnya adalah perjalanan Pak Sastro tanpa tujuan. Berkelana kemana ia suka untuk mengusir kegundahan. Meski perjalanannya bertema "kebebasan" ia tetap bertanya pada orang-orang yang ditemuinya perihal perkututnya. Tentu saja banyak orang menertawakannya dengan ciri-ciri perkututnya. Warna bulu biasa, kakinya biasa, paruhnya biasa, dan tidak ada kooong sama sekali. Sampai-sampai orang-orang mengatakan bahwa ia sinting.
Pak Sastro merenungkan kembali atas situasi kehilangan yang dialaminya. Dalam hatinya Pak Sastro mempertanyakan apa yang salah dengan ia menyayangi sesuatu yang orang lain anggap biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan? apakah yang kita miliki di rumah semuanya memiliki keistmewaan? apakah salah memiliki suatu benda yang menurut orang lain biasa-biasa saja namun justru di dalamnya ada kenangan pada salah satu kurun waktu di masa lalu? Situasi yang sama mungkin menghampiri kita, manakala kita dianggap orang lain aneh bila kita mengalami kehilangan suatu benda.

Kehilangan yang dialami Pak Sastro menjadi kehilangan bagi seluruh warga. Pak Sastro mencari perkututnya dan seluruh warga pun membantu mencari perkututnya. Terjadilah pencarian kolektif yang menggerakkan novel ini sebagaimana dalam novel-novel Iwan sebelumnya. Pencarian burung perkutut secara kolektif ini menimbulkan keresahan desa. Akhirnya, Pak Sastro memutuskan untuk pergi meninggalkan desa itu. 

Di sinilah Pak Sastro menjadi seorang manusia-pergi, bukan manusia-pulang. Ia lebih memilih untuk terus pergi dan mengembara dalam kebebasan, bukan pulang dan mengikat diri pada masa lalu. Pada akhir Kering, Pak Sastro berkata, “Aku mau terus begini dulu. Katakanlah, mengembara. Katakanlah aku dipesona secara dahsyat oleh alam kebebasan dan kemerdekaan. Menurut hematku lebih membahagiakan dari kehidupan di desa kita.” 

Dari tiga novel tersebut, tampaklah motif dan pola yang selalu diterapkan oleh Iwan Simatupang dalam menggerakkan karya-karya fiksinya, yakni keterasingan dan pencarian. Sekalipun tidak tahu harus kemana arah pencarian itu, tapi alam bawah sadarnya selalu menolak untuk diam. Lewat pola pencarian sesuatu yang hilang, Iwan dan tokoh-tokoh imajinernya senantiasa bergerak menemukan hal-hal yang baru. Tidak digunakannya nama pribadi bagi tokoh-tokoh imajiner Iwan ini (kecuali dalam Koong) juga menunjukkan sikap kepengarangnya yang tidak melulu konvensional, tetapi mencari kemungkinan-kemungkinan baru dalam karya sastra Indonesia. Iwan Simatupang mencari terus garis-garis bagi sosok tubuh tokoh-tokoh roman kita, dan tokoh-tokoh yang diciptakannya itu pun senantiasa bergerak mencari, sebuah pencarian yang total dan tak henti-henti. 

Apakah makna "kebebasan" bagi pengarang? Iwan Simatupang dalam sebuah esainya: Kebebasan Pengarang dan masalah tanah air menyatakan bahwa maknanya adalah kebebasan yang dibutuhkan (oleh pengarang) untuk memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah pergumulan kebebasan melawan yang selebihnya, alias melawan ketakbebasan.

Bagaimana kisah selanjutnya, silakan anda teruskan sendiri membacanya. Banyak pelajaran yang dapat kita tarik dari kisah Pak Sastro ini. Iwan Simatupang berhasil memikat dengan kata-katanya yang tidak menggurui, namun memberikan permenungan yang mendalam tentang apa artinya hidup, apa kebahagiaan. Iwan benar-benar mengeksplorasi makna kebebasan pengarang sebebas-bebasnya, tanpa kehilangan pesan utamanya. Iwan sangat apik menyajikan peristiwa kehilangan perkutut ini dari sudut pandang Pak Sastro, orang desa, bahkan dari sudut pandang si burung perkutut itu sendiri.
Dari pengantar yang diberikan oleh Ajip Rosidi, diketahui bahwa naskah Kooong ini awalnya adalah salah satu naskah yang tidak menang dalam Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 1969. Namun, naskah-naskah sisa tersebut daripada dikembailikan ke penerbitnya, ditimbang sekali lagi, barangkali ada diantaranya yang patut untuk diterbitkan. Ajip adalah orang yang diminta untuk mempertimbangkan naskah-naskah tersebut. Berhubung pada saat itu umumnya tiap naskah menggunakan nama pena, Ajip mengira bahwa naskah ini adalah karya orang lain yang terinspirasi pada Iwan Simatupang. Ajip merekomendasikan pada agar naskah ini diterbitkan, namun hingga tahun 1973, tidak berhasil ditemukan penerbit yang bersedia menerbitkannya. Hingga Ajip terpilih menjadi Ketua Ikapi, naskah ini kembali disodorkan padanya, dan ia mengenali naskah ini dan mencari alamat penulisnya. Ternyata nama pena Kebo Kenanga, bukanlah orang yang terinspirasi Iwan Simatupang, namun Iwan Simatupang sendiri. Novel ini terbit di tahun 1975, setelah karya-karya Iwan Simatupang yang lain seperti Merahnya Darah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Perihal judul Kooong sendiri, Ajip memberi keterangan bahwa Iwan bermaksud menggambarkan Kooong sebagai onomatope suara burung yang melambangkan suara panjang. Judul aslinya adalah Koong (dengan dua huruf o), untuk menghindari orang salah membaca sebagai "ko-ong", maka Ajip mengubah judulnya dari Koong menjadi Kooong.



D.    Drama

a)      RT 0 RW 0
LAKON
RT NOL
RW NOL
Karya Iwan Simatupang
ADEGAN I
KOLONG SUATU JEMBATAN UKURAN SEDANG, DI SUATU KOTA BESAR. PEMANDANGAN BIASA DARI SUATU PEMUKIMAN KAUM GELANDANGAN. LEWAT SENJA. TIKAR-TIKAR ROBEK. PAPAN-PAPAN. PERABOT-PERABOT BEKAS RUSAK. KALENG-KALENG MENTEGA DAN SUSU KOSONG. LAMPU-LAMPU TOMPLOK.
DUA TUNGKU, BERAPI. DI ATASNYA KALENG MENTEGA, DENGAN ISI BERASAP. SI PINCANG MENUNGGUI JONGKOK TUNGKU YANG SATU, YANG SATU LAGI DITUNGGUI OLEH KAKEK. ANI DAN INA, DALAM KAIN TERLILIT TIDAK RAPIH, DAN KUTANG BERWARNA, ASYIK DANDAN DENGAN MASING-MASING DI TANGANNYA SEBUAH CERMIN RETAK. SEKALI-KALI KEDENGARAN SUARA GEMURUH DI ATAS JEMBATAN, TANDA KENDARAAN BERAT LEWAT. SUARA GEMURUH LAGI.
KAKEK
Rupa-rupanya, mau hujan lebat.

PINCANG (Tertawa)
Itu kereta-gandengan lewat, kek!

KAKEK
Apa?

PINCANG
Itu, truk yang pakai gandengan, lewat.

KAKEK (Menggeleng-Gelengkan Kepalanya, Sambil Mengaduk Isi Kaleng Mentega Di Atas Tungku)
Gandengan lagi! Nanti roboh jembatan ini. Bukankah dilarang gandengan lewat di sini.

ANI
Lalu?

KAKEK
Hendaknya, peraturan itu diturutlah.

ANI TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.

KAKEK
Kalau begitu apa guna larangan?

ANI
Untuk dilanggar.
KAKEK
Dan kalau sudah dilanggar?

ANI
Negara punya kesibukan. Kesibukan itu namanya: bernegara.

KAKEK MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA, TERUS MENGADUK MASAKANNYA. SUARA GEMURUH LAGI.

PINCANG
Kali ini, suara itu adalah suara guruh.

ANI (Tersentak)
Apa?!

PINCANG (Tertawa)
Itu neng, geluduk. Biasanya itu tanda, tak lama lagi hujan turun.

ANI KESAL. IA PERGI KETEPI BAWAH JEMBATAN, MELIHAT KELANGIT. DIACUNG-ACUNGKAN TINJUNYA BERKALI-KALI KELANGIT. SUARA GELUDUK.

ANI
Sialan! Ina!

INA
Apa, kak?

ANI
Percuma dandanan!

INA
Ah, belum tentu juga hujan turun.
(SUARA GELUDUK LAGI).

ANI (Kesal)
Belum tentu, hah! Apa kau pawang hujan? Dengarkan baik-baik: Yang belum tentu adalah –kalau hujan benar-benar turun– kita bisa makan malam ini.

PINCANG
Sekedar pengisi perut saja. Ini juga hampir masak.

ANI (Tolak Pinggan Di Hadapan Pincang)
Banyak-banyak terimakasih, bang! Aku sudah bosan dengan labu-siammu yang kaupungut tiap hari dari tong-tong sampah di tepi pasar sana. Labu-siam ½ busuk, campur bawang-prei ½ busuk, campur ubi dan jagung apek, -- bah! Aku bosan! Tidak, malam ini aku benar-benar ingin makan yang enak. Sepiring nasi putih panas, sepotong daging rendang dengan bumbunya kental berminyak-minyak, sebutir telur balado, dan segelas penuh teh manis panas. Dan sebagai penutup, sebuah pisang raja yang kuning emas…

SELAMA ANI NGOCEH TENTANG MAKANAN ENAK ITU, YANG LAINNYA MENDENGARKAN DENGAN PENUH SAYU. BERKALI-KALI MEREKA MENELAN LIURNYA. SUARA GELUDUK. SEMUANYA MELIHAT SAYU PADA ANI.

ANI (Histeris)
Oh, tidak. Tidak! Hujan tak boleh turun malam ini. Tidak boleh!

INA (Mendekatinya)
Sudahlah, kak. Hujan atau tak hujan, kita tetap keluar.
PINCANG
Mana bisa. Laki-laki mana mau sama kalian kuyup-kuyup?

INA
Ah, abang seperti tahu segala. Lagi, kata siapa kami bakal basah kuyup?

KAKEK (Dengan Suara Datar)
Siapa jalan di hujan, basah. Biasanya begitulah.

INA
Kalau kami – oh, naik becak?

PINCANG
Ah, jadi kalian bakal operasi dengan becak? Uang untuk ongkos becaknya, gimana?

INA TERTAWA TERBAHAK-BAHAK.

PINCANG
Oh, pakai kebijaksanaan dengan bang becaknya, hah?

INA TERUS TERTAWA. ANI IKUT MENCEMOOH.

PINCANG (Gemas)
Becak jahanam!

INA
Lho, kok jahanam?

PINCANG
Ahh, aku sudah tahu. Pasti bang becak yang hitam itu lagi, kan?!

INA (Geli)
Hitam manis, dong. Oh, jadi kau kenal dia? (Tertawa Lagi) Kau cemburu apa?

PINCANG TIBA-TIBA MENYEPAK KUAT-KUAT SEBUAH KALENG KOSONG DI TANAH.

ANI
He, sabar dikit, bang! Apa-apaan nih?! Sejak bila si Ina ini hanya milikmu saja, hah?

PINCANG DIAM, KEMUDIAN BERSUNGUT-SUNGUT.

ANI
Kira-kira dikit, ya. Kau ini sesungguhnya apa, siapa? Berani-berani cemburu. Cih, Laki-laki tak tahu diuntung!

INA
Ah, sudahlah, kak.

ANI
Apa yang sudah? Aku ingin tanya kau, hei Ina: Sejak bila kau ini tunangan resminya, atau isteri-isterinya, atau gundik-gundiknya, hah?

INA
Tak pernah.

ANI
Mentang-mentang semua main pordeo di sini.

PINCANG
Pordeo? Akupun punya sahamku dalam kehidupan di sini.
ANI
Saham? Kau hingga kini kontan mencicipi hasil sahammu yang ½ busuk semua itu. Cih, labu siam, bawang prei, beras menir dan ubi yang semuanya ½ atau malah semua busuk. Dan itu kau anggap senilai dengan tubuh panas wanita semalam suntuk, hah?! Kau anggap apa si Ina ini? Kau anggap apa kami wanita ini, hah?

KAKEK
Sudahlah. Kalau kalian tak lekas berhenti cekcok, aku kuatir nama Raden Ajeng Kartini sebentar lagi bakal disebut-sebt nanti di sini.

ANI (Kesal Melihat Kakek)
Ayo Ina, lekasan pakai baju. Kita lekas pergi.

KAKEK
(Nada Kelakar) Nasi putih sepiring…

PINCANG (Idem)
Sepotong daging rendang, bumbunya kental berminyak-minyak…

KAKEK
Telor balado…

PINCANG
Teh manis panas segelas penuh…

KAKEK
Dan sebagai penutup: sebuah pisang raja…

PINCANG
Warnanya kuning keemas-emasan…
ANI (Selesai Mengenakan Bajunya)
Ya, tuan-tuan. Semuanya itu akan kami nikmati malam ini. Cara apapun akan kami jalani, asal kami dapat memakannya malam ini. Ya, malam ini juga!

INA (Juga Sudah Siap)
Mari, kak.

SUARA GELUDUK KERAS, DISUSUL KILATAN-KILATAN. TAK LAMA KEMUDIAN, HUJAN KEDENGARAN TURUN LEBAT.

INA (Melihat Ke Ani)
Gimana, kak?

ANI
Terus, pantang mundur! Kita bukan dari garam, kan?!

KAKEK
Selamat bertugas! Entah basah, entah kering. Semoga kalian menemukan apa yang kalian cari.

ANI
Kalau rejeki kami baik malam ini, kami akan pulang bawa oleh-oleh.

ANI DAN INA DENGAN SEPOTONG TIKAR ROBEK MENUTUPI KEPALANYA, PERGI. HUJAN SEMAKIN LEBAT JUGA.
ADEGAN III


HUJAN TELAH REDA. KEMBALI JELAS DERU-DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. MASUK BOPENG DAN ATI.

BOPENG
Belum tidur kalian?

PINCANG
Hm, lambat juga kau pulang kali ini.

KAKEK
Ada puntung?

BOPENG (Tertawa)
Sabar. Rokok sungguhanpun ada. Malah sebungkus utuh. Juga aku bawa nasi rames empat bungkus.

KAKEK
Na… nasi rames? Kau kan tak merampok hari ini?

BOPENG (Tertawa)
Syukur, belum sejauh itu aku perlu merendahkan diriku, Kek.

PINCANG
Kata orang, tak yang lebih rendah lagi dari gelandangan.

BOPENG (Bernafsu)
Siapa yang memompakan kepintaran itu dalam kepala kakek?

KAKEK (Tertawa)
Sabar, sabar! Mana itu nasi ames? Katakan, empat bungkus.
BOPENG
Yu, buat kalian saja. Aku, eh, kami sudah makan tadi.

BARULAH KAKEK DAN PINCANG SADAR AKAN KEHADIRAN ATI.

KAKEK
Ooo! Kita kedatangan tamu nih.

PINCANG (Batuk-Batuk)
Darimana kau petik dia? Lalu bagaimana dengan Ani? Ada kau pikirkan itu?

BOPENG (Marah)
Hati-hati dengan mulutmu, ya. Dia ini, Ati namanya. Dia ketemu tadi nangis-nangis di pintu pelabuhan, mencari suaminya. Setengah modar aku tadi mengitari pelabuhan bersama dia, tapi suaminya tetap tak ketemu.

KAKEK
Sudah naik kapal, barangkali.

BOPENG
Mungkin juga.

PINCANG
Apa dia kelasi?

BOPENG (Tersinggung)
Bukan kelasi saja yang boleh naik kapal.

KAKEK
Dugaanku begini: Dia suruh anak ini menunggunya di pintu pelabuhan. Lantas dia sendiri masuk pelabuhan, kemudian dia keluar lagi dari pintu lainnya, terus kabur entah kemana.

BOPENG
Terhadap dugaan Kakek itu, bisa saja kuhadapkan sekian dugaan lainnya.

KAKEK
Dugaan orangtua biasanya lebih berdasar.

BOPENG
Firasat atau pengalaman nih, Kek?

KAKEK
Dua-duanya. Aku sendiri dulu eh, kelasi.

PINCANG(Tertawa)
Ha, dimana-mana kawin, Kek ya? Dimana-mana meninggalkan pengantin baru, dengan jani-jani setinggi langit berbaku-bakul.

BOPENG (Sangat Tersinggung)
Diam kau!!!

ATI
Ya, dia berjanji mau bawa saya kekampungnya di seberang. Katanya, ayahnya raja kopra di sana. Dia mau beri saya…

KAKEK
Sudahlah, nak. Aku sudah mengerti. Mari kita lihat kini persoalan anak. Anak kini sudah di sini, dan kalau saya tak salah, anak tak ingin pulang kekampung dulu?

ATI
Malu, Kek. Kami berangkat dari sana dengan pesta dan doa segala. Dan koperku, dengan segala pakaian dan perhiasan emasku di dalamnya, telah dia bawa kabur.

PINCANG
Ck, ck, ck. Hebat benar orang seberang itu! Eh, tapi apa benar dia dari sana?

ATI
Kata dia begitu.

BOPENG HABIS SABARNYA. DITERKAMNYA PINCANG, DICEKIKNYA. KAKEK MELEPASKANNYA DENGAN SANGAT SUSAH PAYAH. ATI MENJERIT KETAKUTAN.

KAKEK (Nafasnya Satu-Satu)
Apa-apaan nih? Haus darah apa?

BOPENG
Dari tadi, dia cari fasal saja.
O, apa aku harus menutup mulutku terus? Mengapa setiap ucapanku kauanggap sebagai cari fasal saja?

KAKEK
Sudah, sudah. Mana nasi rames itu?

ATI MENYERAHKAN BUNGKUSAN.

BOPENG
Mana yang dua orang lagi?

PINCANG
Biasa, dinas.

BOPENG
Dinas? Dalam hujan selebat tadi?

PINCANG
Hidung belang ada di setiap musim.

BOPENG TERDIAM. TAMPAK IA LETIH BENAR. DIA DUDUK DI BETON DEKAT PILAR JEMBATAN. ATI TAMPAK RAGU-RAGU, TAPI KEMUDIAN DIAPUN DUDUK, DEKAT BOPENG. PINCANG DAN KAKEK DENGAN LAHAPNYA MAKAN DARI BUNGKUSAN NASI RAMES.

KAKEK (Sangat Bernafsu)
Ha, ada telor.

PINCANG (Idem)
Dan daging rendang! Rupa-rupanya pukulanmu hari ini besar juga.
BOPENG(Lesu)
Tak ada pukulan apa-apa, selain bahwa aku telah dapat persekotku.

KAKEK (Bersama Pincang, Kaget)
Persekot?!

BOPENG (Acuh Tak Acuh)
Ya, persekot.

KAKEK (Mendekati Bopeng)
Jadi, akhirnya kau diterima juga?

BOPENG
Ya.

KAKEK
Berarti, kau segera akan meninggalkan kami?

BOPENG TUNDUK, TAK MENJAWAB

ATI
Apa sih artinya ini semua? Diterima gimana, dan siapa yang akan pergi?

PINCANG
Ah, jadi kau sendiripun belum diceritakannya apa-apa?

ATI
Aku tak diberitahu apa-apa.
ATI MELIHAT KESAL KEARAH BOPENG

KAKEK (Menunjuk Bopeng)
Dia ini tadi diterima sebagai kelasi kapal. Sudah lama dia melamar, tapi baru hari ini rupanya berhasil. Dan tadi, dia menerima persekot. Artinya, sebagian pembayaran dimuka. Itu lazim di kapal. Dan (Menelan Ludahnya) dari uang persekotnya itu, dibelikannya kami rames-rames ini. (Hampir Menangis) Jelaskah sudah soalnya bagi kau?

KAKEK BERDIRI TERHUYUNG-HUYUNG. NASI RAMESNYA TAK DAPAT DIMAKANNYA TERUS. KERONGKONGANNYA SERASA TERSUMBAT. DIBUNGKUSNYA KEMBALI NASI ITU, LALU PERGI MENJAUH KESEBELAH YANG LEBIH GELAPAN DARI KOLONG JEMBATAN.

BOPENG
Ini rokoknya, Kek.

KAKEK HANYA MENGGELENG SAJA.

ATI
Bawalah aku, Kak!

BOPENG
Kemana?

ATI
Terserah Kakak. Pokoknya, jadi juga aku berlayar.

BOPENG
Pekerjaan kelasi kapal tidak mungkin berteman wanita. Jangankan kemana-mana, naik kekapal saja kau tidak boleh.

ATI
Sembunyikan aku dalam bilikmu.

BOPENG (Menggeleng-Gelengkan Kepalanya)
Orang yang dalam hidupnya telah sekian lama menjadi manusia gelandangan seperti aku ini, taklah semudah itu menginginkan kembalinya ia kedunia gelandangannya itu apabila ia sekali telah sempat berhasil meninggalkannya. Kau tak tahu, apa artinya gelandangan.

ATI (Menangis)
Aku tahu. Dan aku memang tak mau tahu. Aku hanya tahu, aku masih muda, dan bahwa akupun berhak juga akan sedikit cinta… dan sejemput bahagia.

ATI TERISAK-ISAK. MENANGIS. HENING. SESEKALI KEDENGARAN DERU LALU LINTAS LEWAT DI ATAS JEMBATAN.


PINCANG
Sedikit cinta, sejemput bahagia… kesempatan untuk mengejar itu semua, setidaknya tidaklah di kolong jembatan ini, Dik.

ATI(Bernafsu)
Kata siapa aku datang untuk itu kemari?
PINCANG (Mengerti)
Ah, jadi kalau sekiranya aku disuruh menyimpulkannya kini, maka Adik kemari ini hanyalah sekedar untuk menumpang bermalam untuk satu malam ini saja? Lalu, bagaimana besok?

BOPENG
Kuperingatkan kau sekali lagi, jangan terlalu jauh mengada-ngada, ya Bung.

PINCANG TEGAK DENGAN SIKAP MENGANCAM DI HADAPAN BOPENG.

PINCANG
Kalau maksudmu, bahwa gara-gara ucapanku yang barusan kita terpaksa berkelahi, ya apa boleh buat: Ayo berkelahi! Aku mungkin dapat kau kalahkan. Kau kekar, cocok memang untuk kelasi. Mungkin kau aka dapat membunuh aku, dan tubuhku nanti kau benamkan dalam lumpur sana. Tapi, untuk kali yang paling terakhir, dan demi martabatmu sendiri sebagai seorang jantan, aku minta pada kau: (Berteriak) Berterusteranglah kepada wanita cilik yang sedang dirundung malang ini! Ayo ceritakan, dengan terbitnya matahari esok pagi, apa yang akan kau lakukan sesungguhnya? Apa rencanamu yang sebenarnya dengan dia ini? Ayo, berkatalah terus terang kepadanya. Jangan dirikan bangunan-bangunan harapan kosong baginya, sebab demi Allah! Tiada dosa yang paling besar dari itu yang dapat kau lakukan terhadapnya.

BOPENG TERPESONA, DAN KAGUM, ATAS LAKU YANG TAK DIDUGANYA DARI PINCANG INI. IA TERDIAM, DAN TERUS SAJA DUDUK DI TEMPATNYA.
PINCANG (Pada Ati)
Barangkali ada baiknya, bila akulah yang menceritakannya kepada Adik. Dia telah terima uang persekotnya tadi. Berarti, dia segera bakal berlayar, mungkin sudah besok. Bukankah begitu? (Ia Berpaling Pada Bopeng. Bopeng Mengangguk) Nah, besok! Besok kita akan pamitan dari dia, mungkin untuk selama-lamanya tak bertemu lagi. Sehabis pamitan, dia menuju kelaut lepas, kami ini kembali kemari lagi, dan sisahlah lagi pertanyaan yang sangat penting artinya bagi Adik, bagi kita semuanya: Bagaimana dengan Adik sendiri?

HENING. HANYA KEDENGARAN ATI TERSISAK-ISAK.

ATI
Aku mau ikut berlayar.

PINCANG
Tidak mungkin, sudah Adik dengar sendiri tadi dari dia.

ATI TERSEDU-SEDU.

PINCANG
Apakah Adik tak bisa berbuat apa-apa sedikit dengan rasa harga diri Adik yang luber itu, dan tidak begitu keberatan terhadap usul saya, agar sebaiknya Adik pulang saja kesaudara Adik di kampung?

ATI (Menghapus Airmatanya)
Kalaulah aku boleh bertanya: Abang sendiri, ya kalian semuanya yang di sini, mengapa kalian tak pulang saja kekampung kalian?
PINCANG TERDIAM. LAMA IA BERTUKAR PANDANGAN DENGAN BOPENG.

BOPENG (Merenung)
Yah, mengapa kita sendiri tak pulang saja kekampung kita masing-masing?



ADEGAN IV


TERDENGAR BUNYI LONCENG BECAK. MASUK INA, SENDIRIAN, MENENTENG BUNGKUSAN. IA TAMPAKNYA GIRANG.

PINCANG
Hai, Ina.

BOPENG
Mana Ani?

INA
Kak Ani takkan datang kemari lagi. Dia telah bernasib baik. Babah gemuk yang selamanya ini jadi langganannya, tadi di Seksi Polisi berkata, bakal mengawini Kak Ani. Dan Kak Ani setuju.

BOPENG
Lho, kenapa di Seksi Polisi?

INA MENYERAHKAN BUNGKUSANNYA KEPADA KAKEK YANG MUNCUL DARI TEMPATNYA YANG GELAP. INA KINI MELIHAT ATI.
INA
Ah, ada penghuni baru? Seperti tahu saja, Kak Ani tak pulang lagi kemari. (Pada Bopeng) Punya Abang?

PINCANG
Dia tamu semalam kita di sini. Besok dia kembali kekampungnya.

INA
Sowan nih? Pada siapa? (Melihat Terus Pada Bopeng)

KAKEK (Memeriksa Bungkusannya)
Nasi rames lagi! Dan daging rendang. Ya Allah, juga telor! Dan ini, pisang raja sesisir! Ada-ada saja si Ani!

INA
Kak Ani cuma mau penuhi janjinya saja pada kalian.

KAKEK MENGAMBIL BUNGKUSAN NASI RAMESNYA YANG TAK HABIS TADI DARI POJOK.

KAKEK
Nih, tadi juga sudah nasi rames. Juga rendang, telor…

INA (Heran)
Dari siapa?

PINCANG (Menunjuk Pada Bopeng)
Dia kawul tadi. Besok dia berlayar.

INA (Terkejut)
Berlayar? Jadi, Abang telah diterima?

BOPENG MENGANGGUK. INA MEMELUKNYA GIRANG.
INA
Aku sangat gembira, Bang. Untuk Abang, untuk kita semuanya. Besok benar-benar Abang berlayar?

BOPENG
Kalau tak ada halangan apa-apa lagi. Sebelum tengah hari besok, aku sudah harus di kapal. Sore-sore, berlayar.

INA (Masih Girang)
Kemana, Bang?

KAKEK
Adakah pertanyaan itu masih penting lagi sekarang? Pokoknya, berlayar! Pergi, jauh-jauh dari sini. Tiap tempat lainnya, pastilah lebih baik dari kolong jembatan kita ini.

BOPENG
Coba teruskan dulu ceritamu tentang Ani tadi.

INA
Oh, ya. Tapi, mengapa tak ada kalian yang tampaknya mau memakan oleh-oleh dari Kak Ani ini?

KAKEK (Tertawa)
Entah apa rencananya Dewa-Dewa dengan mengirimkan dua kali dalam semalam ini makanan dari jenis yang sekian tahun belakangan ini memimpikannyapun kita, sebagai orang gelandangan, tak berani. Tiba-tiba, malam ini, bintang-bintang di langit, dan rupanya juga roh nenek moyang kita, ingin berseloro dengan kita. Dan sekedar untuk melengkapkan unsur bergurau itu pada pengalaman aneh kita malam ini, selera kita sedikitpun tidak terangsang! Sebab, berkah besar ini secara kontan harus kita bayar dengan berita akan berlayarnya dia (MELIHAT PADA BOPENG) besok sudah, dan dengan berita lainnya tentang Ani yang tak bakal kemari-kemari lagi. Perasaanku pribadi, entah bagaimana kalian, adalah persis seperti aku beroleh makanan enak-enak dulu sebelum aku digiring ke tiang gantungan.

BOPENG (Tertawa)
Ah, Kakek ada-ada saja. Apa ya separah itu?

KAKEK
Kelengangan disebabkan perpisahan, terkadang lebih parah dari kematian sendiri. Mengapa pula kita, manusia-manusia gelandangan, berbuat seolah tak mengerti hal itu?

LENGANG. HANYA SUARA HALILINTAR DI ATAS JEMBATAN SESEKALI KEDENGARAN

INA (Duduk)
Sekeluar kami berdua tadi dari sini, kebetul;an bang becak, kenalan kami selama ini, lewat.

PINCANG (Menyeringai)
Hmm, kebetulan. Sudah tentu dia sudah sejak lama menantikan kalian.

BOPENG (Pada Pincang)
He, mengapa kamu ngos-ngosan begitu?

PINCANG
Apa kau tak tahu, bahwa mereka dengan bang becak itu selama ini membentuk suatu usaha, namanya “Becak Komplit”?

KAKEK
Seingatku, di restoran yang besaran dikit, kita bisa pesan apa yang disebut “Biefstuk Komplit”.
BOPENG
Becak komplit itu apa?

PINCANG
Becak, komplit dengan wanitanya, untuk plesir. Malah, bang becaknya telah komplit mengatur dimana tempat plesirnya, sewanya, ongkos angkutannya, dst, dst. Pokoknya, selesai semuanya, sang tamu membayar biaya komplit.

KAKEK
Seingatku – dari masaku dulu sebagai kelasi – pembayaran serupa itu namanya “all in”. Semuanya sudah termasuk: ya ongkos hotelnya, ya ongkos makan-makan dan mabuk-mabuknya, ya ongkos plesirnya dengan wanitanya, ya ongkos taksi besok paginya yang harus mengantarkan kita pulang kekapal di pelabuhan – tidak terlambat!

BOPENG
Siapa yang menerima semua pembayaran itu?

PINCANG
Kan sudah dikatakan tadi, bang becaknya. Saham dia yang terbesar. Oleh sebab itu, dia yang menentukan berapa yang boleh diterima siwanita.

BOPENG
Adil nggak dia?
PINCANG
Bergantung bagaimana bang becaknya. Tapi, jangan lupa, kadang-kadang dagangannya tak laku. Walaupun dia sudah putar-putar kayu beberapa kali. Dalam hal yang demikian, bang becak sering beri pinjaman pada siwanita. Kalau dia sendiri tak punya, nah melarat.

BOPENG
Itu lumrah.

PINCANG
Tapi, ada kukenal bang becak yang jadi kaya raya dengan usaha seperti itu. Dia punya hubungan sekaligus dengan sepuluh sampai duapuluh wanita. Dan dia punya hubungan rapat dengan pelayan-pelayan hotel. Dia jadi semacam loveransir plosiran. Dia sudah punya mobil, dirikan rumah gedung di kampungnya, malah baru-baru ini mendirikan lagi sebuah yang mentereng di kota ini. Kabarnya, bulan depan dia bakal naik haji.

ATI
Wah, dari uang lendir.

PINCANG
Dari uang lendir atau bukan, pokoknya dia bisa naik haji. Pulang dia nanti dari sana, dia berhak pakai sorban – kalau dia mau. Nah, haji sungguhankah dia, atau tidak?

ATI
Jijik, ah.

PINCANG
Jijik atau tidak jijik, najis atau tidak najis, ya lendir atau tidak lendir, dia adalah Haji Anu, titik.
ATI
Apa tidak ada peraturan yang bisa melarang orang seperti itu pergi ketanah suci?

BOPENG
Kukira, tidak pantas melarang orang yang mau menunaikan ibadahnya. Soal najis atau lendir, itu semata-mata urusan lempeng antara dia dengan Tuhan sendiri. Bukan dengan panitia haji. Kukira, Tuhan memandang soalnya kira-kira begini: Untuk soal lendirnya, dia terang berdosa. Untuk naik hajinya, jelas dia berbuat kebaikan dan pahal. Mana yang lebih berat timbangannya, hanya Tuhan yang tahu. Jelas itu tak dikatakan-Nya pada kita. Nah, oleh sebab itu, mengapa pula kita mesti ikut-ikutan mengadili bang becak lihay yang jadi haji itu di dunia kita ini? Kalau kita bertemu dengan dia, apa salahnya kita bilang: Selamat sore, Pak Haji? Dan apakah rokok yang kemudian ditawarkannya padaku harus kutolak, hanya oleh karena hati kecilku mungkin pada saat itu berkata: Awas, rokok dibeli dari uang lendirnya? Tidak, rokoknya kuterima. Bila rokoknya memang enak, ia akan kunikmati. Dan bila tidak, rokok itu dilemparkan kejalan. Titik. Demikianlah aku memandang persoalannya.

KAKEK
Persis pandangan seorang jagal sapi: ini daging ya masuk; ini lemak dan tetelan, ya masih bisa masuk; tapi ini apa? Daging bukan, lemak bukan, tetelan bukan? Yah, lempar masuk tong sampah. Tidak ada tempat buat usus, babat…

BOPENG
Ah, kita ini sudah lewat ngelantur. Ina, bagaimana ceritamu tadi tentang Ani seterusnya?

KAKEK
Hmm, apa masih ada lanjutannya? Kukira…
INA
Kak Ani tadi rupanya sudah ditunggu langganannya, itu babah gemuk yang punya pabrik mi.

BOPENG
Langganan?

INA
Ya, sudah hampir tiga bulan mereka berkenalan dan terus langganan. Babah itu demen betul sama Kak Ani. Katanya, Kak Ani persis betul menyerupai isterinya almarhumah.

BOPENG
Inna Lillaah!

INA
babh itu sudah lama minta Kak Ani supaya mau kerja padanya.

BOPENG
Lho, kok kerja?

INA
ya, kerja. Katanya, sekedar mengurus dia dengan anak-anaknya saja.

BOPENG
Berapa anaknya?
INA
Kalau tak salah, enambelas.

BOPENG
Enambelas? Ampun, mati si Ani!

INA
Dan disamping itu, yah kerja rumah tangga biasa lainnya.

KAKEK (Menjerit)
Babu Komplit!

PINCANG DAN BOPENG MELEDAK TERTAWA. INA MELIHAT KESAL PADA MEREKA.

KAKEK
Dan itu namanya: sekedar. Wah, pintar juga si babah.

PINCANG
Babah-babah biasanya memang pintar-pintar.

KAKEK
Di koran, ini mah namanya: Eksi… eksle… apa sih namanya? Pokoknya, di belakang nyusul kata-kata: delomparlom.

BOPENG (Tertawa)
Gitulah, kalau hanya membaca sobekan-sobekan koran saja. Itupun, yang kebetulan diterbangkan angin saja kepinggir jalan-jalan, dan sambil lalu kita pungut dan baca. Kek, apa kira-kira arti kata-kata yang Kakek ucapkan tadi?

KAKEK
Kalau tak salah: Manusia dihisap manusia.
PINCANG
Jempol!

KAKEK
Eh, jangan anggap enteng seorang bekas kelasi, ya.

PINCANG (Geli)
calon kelasi gimana?

KAKEK (Melirik Pada Bopeng)
Dia adalah makhluk paling bahagia.

BOPENG
Teruskan ceritamu, Ina.

KAKEK MEMBUNGKUK ARAH INA, GELI.

INA
Singkatnya: Ketika mereka sedang eh…

PINCANG (Nyeletuk)
… pelesir…

INA
Ya, eh… di tempat mereka yang biasa, tiba-tiba ada razzia!

PINCANG, BOPENG, KAKEK (Serempak)
Razzia?!!
INA
Hanya dengan jaminan dari seorang suami saja, wanita yang kena dirazia begitu bersedia polisi melepaskannya.

BOPENG
Ya, tapi sejak bila bang becak itu suami si Ani?

INA
Bang becak komplit punya surat-surat kawinnya.

PINCANG
Itu termasuk servis dalam perseroan mereka “Becak Komplit” itu.

BOPENG
Aha, suami sekedar buat keadaan darurat saja!

KAKEK (Menjerit)
Suami razia!!

INA (Tak Menghiraukan Cemoohan Kakek)
Tapi, kali ini bang becak itu tidak perlu lagi menawarkan jasa-jasa baiknya. Di depan polisi, si babah meminang Kak Ani, dan di depan polisi, Kak Ani berkata iya.

BOPENG + PINCANG + KAKEK SERENTAK TERCENGANG.

INA
Dan aku sangat gembira atas putusan Kak Ani itu. Biar dengan babah gemuk gituan sekalipun, entah memang dia licik, entah Kak Ani yang kurang seksama dalam pertimbangannya, tapi setidaknya mulai sekarang Kak Ani mempunyai kedudukan tetap, punya alamat tetap, ya… (Menangis) punya kartu penduduk tetap!

HENING. SEMUANYA TERKESAN DAN TERHARU.

INA (Menyeka Air Matanya)
Dan aku sendiripun sekarang ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian. Akupun… (Terisak) akupun tadi telah mengambil keputusan buat diriku sendiri. Aku telah terima lamaran bang becak itu.

PINCANG (Kaget)
Bang becak itu?

INA (Menyeka Air Matanya)
Aku tahu, Abang (Melihat Pada Pincang) sudah lama tidak menyukai bang becak itu. Tapi Bang, sekiranyalah aku menyerahkan diriku dan nasibku seterusnya padamu, apakah yang dapat kauberikan padaku, di luar kolong jembatan ini?

PINCANG
Kata siapa, aku terus-terusan akan begini, dan di sini ini?
INA
Abang selama ini telah banyak bercerita padaku tentang masa depan, tentang cita-cita dan bahagia. Tapi, aku sedikitpun tak ada melihat, bahwa Abang sungguh-sungguh ingin menebus kata-kata itu dengan perbuatan. Terus terang saja, Bang, aku memang selalu mengagumi ucapan-ucapan Abang. Sungguh dalam-dalam maknanya! Dan kata-kata, dengan mana Abang mengatakannya sungguh lain dari yang lain. Bermalam-malam aku, tergolek di samping Abang (Suara Batuk-Batuk Kakek), melanturkan angan-anganku menerawang entah kemana: Ah, sekiranya betullah semua yang diucapkan laki-laki pujaanku ini, aku pastilah jadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.

Tapi, dengan hati yang pedih aku dari hari kehari melihat, dan mengalami, bahwa semua ucapan Abang itu bakal tetap tinggal cuma kata-kata saja. Aku melihat pada diri Abang semacam kejanggalan laku dan sikap untuk berbuat, untuk bertindak. Abang gamang berbuat sesuatu. Abang adalah manusia khayal dan kata-kata semata, dan asing sekali di bumi dari otot-otot, debu, deru dan keringat berkucuran. Semula masih ada harapanku diam-diam, bahwa Abang pada suatu hari akan mengungkapkan diri Abang sebagai seorang pengarang. Tapi, alangkah kecewanya aku melihat, betapa Abang telah menghambur-hamburkan kerangka karangan-karangan Abang itu dalam percakapan-percakapan kecil tentang kisah-kisah kecil yang menjemukan di kolong jembatan ini. Ya, kolong jembatan ini telah membunuh dan mengubur tokoh pengarang pada diri Abang itu. Dan aku, gelandangan biasa saja, yang diburu oleh sekian kekurangan dan kenangan buruk di masa yang lampau, aku tak mampu lagi mencernakan kata-kata Abang itu sebagaimana mestinya. Walhasil, bagiku Abang adalah seorang aneh, tak lebih dan tak kurang dari seorang parasit…
Dan bila aku tadi menerima lamaran bang becak itu, maka itu berarti, bahwa belum tentu aku mencintainya; itu berarti, bahwa pada hakekatnya aku masih tetap pengagum kata-katamu yang dalam-dalam maknanya itu. Tapi juga, Bang, bahwa aku lebih gandrung akan kepastian, kenyataan dan kejelasan. Bukannya aku tak sadar, apa dan bagaimana nasib seorang isteri dari seorang bang becak. Mungkin aku bukan isterinya satu-satunya. Mungkin aku akan berhari-hari tak melihat dia, tak menerima uang belanja. Mungkin tak lama lagi aku bakal jadi perawat dia yang sudah teruk dan tak kuat lagi menarik becaknya, batuk-batuk darah. Tapi, itu semuanya rela kuterima, Bang, demi – dapatnya aku memiliki sebuah kartu penduduk! (Menangis) Kartu penduduk, yang bagiku berarti: berakhirnya segala yang tak pasti. Berakhirnya rasa takut dan dikejar-kejar seolah setiap saat polisi datang untuk merazia kita, membawa kita dengan truk-truk terbuka keneraka-neraka terbuka yang di koran-koran disebut sebagai “taman-taman latihan kerja untuk kaum tuna karya”. Gambar kita di atas truk terbuka itu dimuat besar-besar di koran. Tapi, kemudian koran-koran bungkem saja mengenai penghinaan-penghinaan yang kita terima di sana. Kemudian kita dengan sendirinya berusaha dapat lari dari sana, untuk kemudian terdampar lagi di tempat-tempat seperti ini. Tidak, Bang! Mulai sekarang, aku mengharapkan tidurku bisa nyenyak, tak lagi sebentar-sebentar terkejut bangun, basah kuyup oleh keringat dingin.

KEDENGARAN LONCENG BECAK BERKALI-KALI. MUKA INA SEKETIKA BERUBAH. IA BERDIRI, DAN MELEPASKAN PANDANGANNYA PELAN-PELAN KESELURUH PELOSOK DARI KOLONG JEMBATAN.
INA
Barang-barangku kutinggalkan semuanya di sini. Pakai, bila berguna bagi kalian. Buang, bila tidak. (Lonceng Becak Lagi. Dia Tersedu-Sedu. Dipeluknya Bopeng) Selamat tinggal, dan selamat belajar, Bang. Semoga… (Ia Tak Dapat Meneruskan) Maafkan, bila ada kata-kataku dan perbuatan-perbuatanku selama ini yang salah, Bang.

BOPENG (Sangat Terharu, Dengan Suara Serak)
Akupun demikian terhadapmu, Ina.

INA (Pada Kakek)
Kek! Ah, semoga kita tidak pernah bertemu lagi.

KAKEK (Tertawa)
Begitu bencinya kau padaku, Ina?

INA MENGGELENG. DIDEKAPNYA KAKEK, MENANGIS TERSEDU-SEDU.

KAKEK (Serak)
Aku berharap, suatu hari dapat melihat kau lewat, naik becak suamimu, kau dan anak-anakmu sehat dan montok-montok. Selamat jalan, Nak.
INA (Tertegun Di Hadapan Pincang)
Dan kau, Bang. Selamat tinggal. Aku harap, kau dapat memahami dan memaafkanku.

PINCANG MENGANGGUK-ANGGUK KECIL. IA TAK DAPAT BERKATA APA-APA).
(KEMBALI BUNYI LONCENG BECAK. TAK SABAR.

KAKEK (Tertawa)
Wah, laki-laki tak sabaran juga rupanya. (Pada Ina) Lekaslah, Nak. Nanti suamimu kabur!

INA TERTAWA. KEMUDIAN IA MELIHAT ATI, DAN DIHAMPIRINYA.

INA
Dan akhirnya, kau Dik! Maafkan, bila aku tadi ada melukai hatimu. Kalaulah boleh aku memberi hanya satu nasehat saja padamu: Pandanglah kami satu persatu yang di sini ini. Kemudian, pandanglah keadaan yang dapat disajikan kolong jembatan ini. Dik, besok pagi, pulanglah lempang-lempang kekampungmu. (Dibukanya Sapu Tangannya) Nih, ambillah semua uangku ini. Kukira, sekedar untuk ongkos pulangmu dan bekal di jalan, cukup jugalah. (Ati Menerimanya) Pulanglah, dik, segera! Jangan sempat kau menghirup iklim gelandangan ini. Sekali kau menghirupnya, kau tak dapat lagi melepaskan dirimu dari lilitan-lilitan guritanya.
BOPENG (Tersadar)
Ya, dan agar benar-benar terjamin kau pulang menuju kampungmu, maka pada si Pincang kuminta supaya suka mengantarmu sampai di sana. Ongkos buat dia, pulang pergi, biarlah aku yang tanggung. (Mengambil Uang Dari Sakunya, Diberinya Pada Si Pincang) Nih, sisa persekotku tadi. (Tertawa) Biarlah, aku toh tak butuh apa-apa lagi. Di kapal, aku tak perlu uang.

LONCENG BECAK LAGI. BERKALI-KALI AGAK KERAS.

INA (Melihat Kearah Datangnya Bunyi Lonceng Becak)
Selamat tinggal, Erte-Nol/Erwe-Nol ku… (Matanya Berlinang-Linang)

INA LARI MENINGGALKAN KOLONG JEMBATAN, SAMBIL MENGHAPUS-HAPUS AIR MATANYA. TAK BERAPA LAMA KEMUDIAN, KEDENGARAN LONCENG DARI BECAK YANG BERANGKAT.



ADEGAN V


KEDENGARAN SESEKALI DERU LALU LINTAS DI ATAS JEMBATAN. BUNYI-BUNYI MALAM DARI JANGKRIK, KODOK, DLL, DI BAWAH JEMBATAN.

ATI (Setelah Lama Hening)
Mengapa Abang ini harus pulang pergi mengantarkan aku?
KAKEK (Curiga)
Apa maksudmu?

ATI
Eh, apa salahnya dia tinggal sambil istirahat sebentar di kampungku. Siapa tahu, di sana ada kerja yang cocok untuknya.

KAKEK (Setelah Menyenggol Pincang Keras-Keras Dengan Sikunya Di Samping)
Akur! Aku setuju banget, dia tinggal dulu sekedar istirahat di sana, asal saja orang tuamu setuju di sana, sudah tentu.

ATI
Kukira orang tuaku setuju di sana.

KAKEK (Girang)
Hore! Dengan kaki pincangnya, setidaknya dia masih bisa kerja…

ATI
Di sawah.

BOPENG (Girang)
Horee! Dan eh, siapa tahu, setelah orang tuamu melihat bakat-bakat petaninya, siapa tahu dia barangkali juga punya harapan untuk diangkat sebagai… eh, sebagai menantu!

ATI (Merah Mukanya)
Siapa tahu.
PINCANG (Kaget)
Apa? Menantu?

KAKEK (Geli)
Apa ya kau tak punya tenaga apa-apa lagi untuk menjadi seorang menantu, hah?

PINCANG
Menantu siapa?

KAKEK
Alaa, masih ingat kau kata-kata Ina tadi untuk kau? Nah, kukira sudah tiba saatnya bagimu kini, terlebih pada usiamu yang begini, untuk mencamkannya baik-baik. Jangan bingungkan dirimu lebih lama lagi dalam kerangka-kerangka kata-katamu yang mengawang itu. Mulai sekarang, rebut! Dan reguklah! Kesempatan segera ia nongol di hadapanmu. Berbuatlah! Bertindaklah! Bukankah begitu kata Ina tadi? Jadi, besok pagi, subuh, kau bersama dia ini kestasiun kereta api. Antar dia baik-baik sampai di rumah orang tuanya. Selebihnya, mainkanlah perananmu sebaik-baiknya, seperti yang telah kita goreskan tadi. Kalau kau belum apa-apa bakal ditendang oleh bakal mertuamu dari sana, maka benar-benar patokkanlah sejak itu dalam kepalamu: Nasibmu, kawan, untuk selama-lamanya bakal runyam! Dan ini adalah sebagian besar karena salahmu sendiri. Malaikat-malaikatpun kukira takkan dapat lagi menolongmu.

PINCANG NAMPAK BINGUNG OLEH KATA KAKEK TADI. TAMPAKNYA IA INGIN MERONTA, TAPI LAMBAT LAUN KATA-KATA KAKEK ITU MERESAP JUGA KEDALAM SANUBARINYA.
KAKEK (Setelah Lama Hening)
Kukira, malam ini kita semuanya terlalu penuh dengan perasaan kita masing-masing, sehingga pastilah kita tidak mungkin akan dapat tidur. Tapi, baik jugalah bila kita namun bisa istirahat. Malam telah larut juga, sedang matahari besok pagi sudah mengantar beberapa dari kita ketempat yang jauh-jauh. Bahkan, ada yang harus berlayar. Mari kita mengumpul tenaga, agar langkah-langkah yang bakal kita ambil besok tidak terhuyung-huyung, tapi tegap-tegap dan tepat pada tempatnya. (Menguap Panjang) Selamat beristirahat! (Menjentik Bopeng Di Lengannya) Sstt, biarkan mereka. Kita kesana saja… (Menunjuk Dengan Wajahnya Kepojok Kolong Jembatan Sebelah Sana)

BOPENG (Mengerti Tertawa)
Oh, ya. Eh, mengapa aku begitu bodoh.

ATI MALU-MALU TERSIPU. MALU-MALU KUCING. TIBA-TIBA PINCANG TEGAK LURUS, SIKAPNYA SEPERTI MAU BERONTAK.

PINCANG
Tunggu dulu! Kalian mau kemana, hah! Apa maksud-maksud gelap kalian?

BOPENG (Tertawa)
Ah, cuma maksud baik saja.

PINCANG (Berteriak)
Tidak! Aku tidak mau!

KAKEK
Tidak mau apa?
PINCANG
Maksudku, aku tidak mau mulai dengan cara yang kalian anjurkan tadi secara diam-diam itu. Bila benarlah nasibku akan menempuh jalan seperti yang kalian reka-reka tadi, entah kalian sungguh-sungguh tadi entah cuma ingin memperolok-olok aku saja untuk kesekian kalinya…

BOPENG
Ya Allah! Siapa yang berolok-olok?

PINCANG (Suaranya Meninggi)
Baik! Bila benarlah kalian mengkhendaki aku memulai hidup baru, seperti anjuran kalian tadi, demi Tuhan! Mengapa kalian tak memperbolehkan aku memulainya dengan baik?

KAKEK
Siapa mau menyuruh kau mulai dengan tidak baik?

PINCANG (Bernafsu)
Kalian! Barusan! Dengan anjuran kalian yang tidak senonoh tadi!

BOPENG
Tidak senonoh?

PINCANG
Ah, pura-pura lagi. Apa maksud kalian berdua tadi dengan pindah kepojok sana, dan membiarkan kami berdua di sini?

BOPENG DAN KAKEK MELONGO SEBENTAR, KEMUDIAN MELEDAKLAH TAWA MEREKA.

BOPENG
Maaf, maafkanlah kami. Syukur, kalau kau memang benar-benar mau mulai baik sekarang.
PINCANG
Ya, aku telah bertekad ingin memulai segala-galanya dengan benar-benar suci bersih. Aku besok mengantarnya kesana dengan tidak sedikitpun anggapan sebagai calon menantu seperti yang kalian gambarkan tadi. Apa alasanku untuk menganggap begitu saja, bahwa orang tuanya secara otomatis bakal menerima aku sebagai menantunya? Kemungkinan, bahkan hak penuh mereka untuk menolak aku, tetaplah ada dan ada baiknya sejak semula ikut diperhitungkan. Ya, aku ingin kesana, tapi dengan patokan bermula: aku benar-benar ingin kerja. Kembali kerja! Kembali merasakan keutuhan dan kedaulatan tubuhku di dalam teriknya matahari, dengan kesadaran bahwa butir-butir keringatku yang mengucur itu adalah taruhanku untuk sesuap nasi yang halal. Soal menantu, kawin, cinta… ah, hendaknya aku diperkenankan kiranya tidak dulu mempunyai urusan apa-apa dengan itu semuanya. Kerangka-kerangka yang disebut Ina tadi, ingin kukubur… setidaknya untuk sementara dulu. Aku ingin mengembalikan seluruh kedirianku kembali kekesegarannya semula, yang dulu… entah telah berapa puluh tahun yang lalu, telah hilang… oleh salahku sendiri. Aku harap, Ina, maupun orang tuanya, sudi memandang diriku dalam kerangka persoalan seperti ini, dan tidak menganggap aku di sana sebagai lebih dari itu. Aku datang sebagai pelamar kerja, pelamar keadaan dan kemungkinan hidup yang baik kembali. (Suaranya Turun, Nafasnya Satu-Satu) Sudah tentu, sudah tentu… kalian berhak menolak lamaranku…
HENING. SEMUANYA TERKESAN OLEH KATA-KATA PINCANG. KAKEK DAN BOPENG LAMA TERHARU MELIHAT PADANYA. KEMUDIAN, TERHUYUNG-HUYUNG, KAKEK MENDEKAT PADA SIPINCANG, KEMUDIAN DIPELUKNYA. AKHIR SEKALI, ATI MERABA-RABA TANGANNYA. PUN IA TERSEDU, TAPI SEDU SEDANNYA ADALAH CAMPURAN YANG KHAS DARI KEHARUAN DAN BENIH-BENIH PERTAMA DARI TUMBUHNYA SUATU RASA KEKAGUMAN DAN CINTA KASIH YANG MURNI… JARI-JARI PINCANG DIGENGGAMNYA, DAN PELAN-PELAN DICIUMNYA.

SETELAH ADEGAN HARU DAN KASIH INI LEWAT, KAKEK TAMPAK KEMBALI KETEMPAT NYA SEMULA. IA KELIHATAN NGANTUK SEKALI.

KAKEK (Menguap Panjang)
Ah, benar-benar ngantuk aku nih. (Kepada Ati) Begini saja, Nak. Aku golek-golekan di sini, kau boleh duduk dekatku, eh… menjagai aku.

(ATI DATANG DUDUK DEKAT KAKEK YANG SUDAH MEREBAHKAN DIRINYA).

KAKEK (Pada Bopeng Dan Pincang)
Dan kalian tak salahnya, jaga istirahat. Tidurlah, kalau memang betul bisa tidur. Ingat, acara kalian besok sungguh banyak… (Menguap Panjang Lagi)

BOPENG DAN PINCANG TAMPAK PERGI KEPOJOK SEBELAH SANA DARI KOLONG JEMBATAN, DAN MEREBAHKAN DIRINYA DI SANA. HANYA ATI SAJA YANG MASIH DUDUK, DEKAT KAKEK.
SUARA-SUARA MALAM DI KOLONG JEMBATAN, SEPERTI JANGKRIK-JANGKRIK, KODOK-KODOK BERSAHUTAN. KEDENGARAN AIR SUNGAI DI BAWAH JEMBATAN ITU MENGALIR. DI ATAS JEMBATAN SESEKALI LALU LINTAS TERDENGAR MENDERA.
ATI
kami besok berangkat semuanya, kecuali Kakek.

KAKEK (Tetap Rebah, Suaranya Mengantuk)
Aku? Mau kemana aku?

ATI
Ikutlah kami besok kekampungku, Kek.

KAKEK
Ikut? Aku sudah terlalu tua untuk ikut dengan siapa-siapapun. Lagipula, kalau kita semuanya pergi, bagaimana dengan kolong jembatan ini? Dengan Rt-Nol/Rw-Nol ini seperti kata Ina tadi?

BOPENG DAN PINCANG TERDUDUK MENDENGARKAN KATA-KATA KAKEK INI. MEREKA TAMPAKNYA SANGAT TERKESAN.

ATI
Justru oleh karena hal-hal itulah, Kek, bukankah dia tidak milik siapa-siapa? Kakekpun boleh saja meninggalkannya.
KAKEK
Ah, kau tak tahu apa arti kolong jembatan ini dalam hidupku. Sebagian dari hidupku, kuhabiskan di sini. Memang, dia milik siapa saja yang datang kemari karena rupa-rupanya memang tak dapat berbuat lain lagi. Ia milik manusia-manusia yang terpojok dalam hidupnya. Yang kenangannya berjungkiran, dan tak tahu akan berbuat apa dengan harapan-harapan dan cita-citanya. Yang meleset menangkap irama dari kurun yang sedang berlaku. (KEMBALI MENGUAP) Pada diriku, semuanya yang kusebut tadi itu terdapat saling tindih menindih, berlapis-lapis, dan sebagai selaput luarnya yang makin keras: usiaku yang semakin tua! Semakin tua kita, semakin lamban kita, semakin keluar kita dari rel… dan akhirnya: dari tuna karya, kita jadi tuna hidup. Selanjutnya, tinggallah lagi kita jadi beban bagi kuli-kuli kotapraja yang membawa mayat kita ke RSUP. Apabila kita mujur sedikit, maka pada saat terakhir mayat dan tulang-tulang kita masih dapat berjasa bagi ilmu urai kedokteran, menjadi pahlawan-pahlawan tak dikenal bagi kemanusiaan. (MENGUAP) Ah, selamat malam…

(TAMPAKNYA ATI MASIH MAU MENJAWAB SESUATU. TAPI BOPENG MENARUH TELUNJUKNYA PADA BIBIRNYA, ISYARAT AGAR ATI SEBAIKNYA DIAM SAJA SETERUSNYA. ATI MELIHAT SAYU PADA KAKEK YANG SUDAH TERTIDUR, DENGAN NAFAS BERATURAN. IA MENANGIS. KEMUDIAN DISELIMUTKANNYA SELENDANG KECILNYA PADA KAKEK. RAMBUT PUTIH KAKEK DIBELAINYA, SAMBIL MENYEKA AIR MATANYA. DILIHATNYA BOPENG DAN PINCANG TELAH KEMBALI MEREBAHKAN DIRINYA, TIDUR. PINCANG MALAH MENDENGKUR. ATI TERTAWA GELI.

TAK LAMA KEMUDIAN, ATIPUN MEREBAHKAN DIRINYA DI SAMPING KAKEK.
TERDENGAR DERU SEBUAH MOBIL LEWAT DI ATAS JEMBATAN. KEMUDIAN LONCENG BECAK. ATI MEMBALIKKAN TUBUHNYA. DI JAUHAN, SEEKOR ANJING MENYALAK PANJANG. ATI MENARIK NAFAS PANJANG).
LAYAR

SELESAI
Aneh, inilah kata yang tiba-tiba muncul ketika sekilas melihat judul sebuah tulisan, yang ternyata adalah judul sebuah naskah drama karya Iwan Simatupang, ‘Rt Nol Rw Nol’. Namun justru dari keanehan itulah sisi menarik dari naskah drama ini muncul, tak hanya sekedar aneh, namun judul naskah drama ini dapat dikatakan unik. Jika biasanya alamat kependudukan dimulai dari angka satu, misalnya saja Rt 01 Rw 01, maka kali ini dimulai dengan angka nol. Memang tidak wajar, namun inilah yang membuat pembaca benar-benar tertarik untuk membaca naskah drama ini untuk mencari tahu apakah yang dimaksud dengan angka nol di dalam judul ini. Karena tidak mungkin judul dari naskah drama ini dibuat secara asal-asalan. Penulis pasti sengaja membuat judul demikian dengan tujuan tertentu.
b)     Bulan Bujur Sangkar
      Dalam drama ini menceritakan bagaimana keinginan dan kematian itu sejalan. Apa yang kita inginkan tidak bisa terlepas dari mati. Kembali saya sebagai pembaca karya sastra Iwan Simatupang dibuat bingung dan tidak mengerti dari buah pikiran yang dituangkannya ini. Mungkin itu sesuatu yang wajar bila dilihat dari psikologis pengarang, kesusastraan Iwan memang bermula dari filsafat ilmu yang selalu memunculkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang lain dan terkadang tak sampai pada akal dan pikiran kita sebagai pembacanya.
Bagaimana mungkin dan tidak habis pikir, jika menafsirkan melalui judul saja saya sebagai pembaca dibuat pusing dan tak mengerti. Apakah ada bulan yang berbentuk bujur sangkar ? Apa maksud dari judul dan kaitannya dengan cerita drama ini.  Apa ada bulan yang berbentuk bujur sangkar, apa sudah berubah bentuk bulan yang bulat menjadi bentuk bujur sangkar. Apa makna yang terkandung dan ingin disampaikan Iwan dalam judul serta isi cerita ini. semua pertanyaan apa mengapa, bagaimana dan lainnya akan selalu muncul jika kita membaca karya-karya pengarang ini, begitu pula karya yang sedang saya analisis ini yaitu yang berjudul bulan bujur sangkar.
      Kisah ini menceritakan tentang tokoh yang bernama orang tua yang selama hidup akhirnya berhasil mencapai keinginannya membangun tiang gantung sesuai keinginannya selama ini. Tokoh orang tua menganggap sebuah tiang gatung  itu adalah sebuah penentu awal dan akhir, apakah kita yang akan dimatikan atau mematikan dalam tiang itu. Pada hari itu datang pula tokoh anak muda yang heran melihat tiang besar itu dan menganggap orang tua sebagai musuh. Anak muda mencoba membunuhnya, namun tokoh orang tua mencoba melawan dengan cara meyakinkan dan mempengaruhi pikiran anak muda. Keinginan anak muda pun sirna ketika ia mendengarkan dan menafsirkan kata-kata yang terucap dari mulut orang tua, ia menjadi terpengaruhi bahwa kehidupan adalah pilihan untuk mati dan dimatikan. Dari pengaruh yang telah dilakukannya itu tokoh orang tua berhasil menghasut dan membuat anak muda menjadi pelengkap dari tiang gantungan barunya, menjadi akhir kehidupan bagi tokoh anak muda.
Berlanjut ke adegan yang ke-2, setelah terbunuhnya anak muda yang tidak lain merupakan prajurit perang kemudian datanglah tokoh perempuan yang sedang mencari kekasihnya, bertemu tokoh orang tua dan bertanya mengenai keberadaan pacarnya. Orang tua yang tak merasa bersalah menjelaskan keberadaannya bahwa pacarnya telah tiada. Tokoh perempuan yang tidak bisa menerima keadaan akhirnya bunuh diri dan begitu pula dengan tokoh orang tua yang juga mengakhiri hidupnya.
      Tema yang saya dapatkan dari naskah drama ini adalah bagaimana pemikiran orang masa kini yang hanya memikirkan logika tanpa melihat realita yang terjadi.




E.     Essai
Membaca karya sastra dalam bentuk novel, puisi, teater, atau cerpen, kita lebih sering dihadapkan pada imajinasi seni penulisnya. Dengan kata lain seluruh kekuatan seni menulis, gaya bahasa, pilihan tema menjadi prioritas. Sebaliknya pada penulisan esai, imajinasi seni sering tidak dikedepankan lagi, melainkan lebih mengutamakan wawasan, pengalaman, pandangan politik, dan sosial dari penulis bersangkutan. Faktor lain yang tak kalah penting pada penulisan esai adalah mengikuti secara intensif berita teraktual yang sedang beredar di masyarakat. Kualitas esai sering pula dinilai dari bagaimana esais mampu mengaplikasikan antara tema yang dipilih dengan banyak referensi buku bacaan. Schopenhauer menyebutnya, membaca ibarat berpikir dengan menggunakan kepala orang lain. Akan tetapi Nietzsche justru berseberangan dengan argumen, orang-orang yang banyak belajar dan bekerja dengan baik, maka tak perlu membaca lagi.
Pada buku “Esai-Esai Iwan Simatupang”  , Iwan menulis 44 esai yang secara garis besar terbagi dalam tiga bagian. Bagian I: Masa Menjadi Guru SMU (1950-1955). Bagian II: Masa di Eropa (1955-1959). Bagian III: Masa Menulis Novel (1960-1970).
Buku setebal 366 halaman ini cukup menantang. Setidaknya untuk mengintip pandangan-pandangan seorang Iwan terhadap dunia sastra pada umumnya. Novel-novel Iwan, seperti: “Ziarah“ ,“Kering“, dan “Merahnya Merah“  bisa kita anggap sebagai ciptaan imajinasi seni Iwan. Pada esai-esai ini pembaca disodori sumpah serapah, emosional serta niveau intelektual seorang pengarang yang kritis. Kalau orang membicarakan kepengarangan Iwan, sering dikaitkan dengan gaya bahasanya yang berbeda dengan pengarang sezamannya. Atau kepengarangannya sering pula diparalelkan dengan tokoh eksistensialisme Perancis, Sartre atau Camus.
Pada esai berjudul “Sartre dan Konsekuensi“  , Iwan tampak habis-habisan mendudukkan persoalan seorang Sartre yang dianggap hanyalah sebagai Ecce homo. Keterlibatan Sartre pada Partai Komunis Perancis, serta kesalahan tentara Rusia menduduki Hongaria, tak bisa dinilai secara separuh-separuh. Istilah yang dipakai Iwan harus dinilai secara totalitet. Kalau tidak ingin pincang menemukan sosok Sartre sebagai filsuf. Pada esai itu disebutkan keretakan hubungan antara Sartre dan Camus dipicu lahirnya buku Camus berjudul “L`Home révolté“. Polemik Sartre-Camus dilangsir oleh jurnal “Les Modernes Temps“. Jurnal yang didirikan oleh Sartre sendiri dan lebih banyak menganalisis hasil pemikirannya. Pada jurnal tersebut Camus mengakhiri perpisahannya dengan mengucapkan, ”Adieu, Monsieur le Directuur – Bien, Bien.”  Sartre menjawab, ”Au revoir, Monsieur Camus.“ Iwan pada esai ini tidak banyak menyinggung Camus. Justru ketertarikan Sartre pada marxisme, dibela oleh Iwan dengan membandingkan ketertarikan awal Dostojewsky pada sosialisme.
Pada buku Sartre ”L`Existentialisme est un humanisme”  (Eksistensialisme Adalah Humanisme), Sartre menyitir pula pandangan Dostojewsky yang menyebut, ”Bila Tuhan tidak ada, semuanya bisa dibebaskan.“  Pandangan Dostojewsky tersebut bagi Sartre dianggap sebagai jalan keluar pemikiran eksistensialisme. Pada prinsipnya manusia terlempar ke dunia tanpa harus punya rasa beban bersalah. Sebaliknya mereka harus bebas. Sebab masa depan manusia terletak pada manusia itu sendiri. Mereka bisa dan harus mandiri. Di sini letak perbedaan sekaligus persamaan teori marxisme dengan eksistensialisme.
Marxisme mengajak manusia menentukan masa depannya dengan kekuatan kolektif kaum proletar seluruh dunia. Artinya kaum proletar lah yang dapat dan harus mengubah sistem untuk masa depannya. Sebaliknya eksistensialisme menawarkan kemandirian menatap masa depan dimulai dari diri sendiri secara individu. Niscaya bila setiap individu sudah mampu mandiri, dengan sendirinya masyarakat bisa mengurus dan menjawab beban hidupnya di dunia.
Sebaliknya Camus menyebutkan pada bukunya ”L`Homme révolté“, kejahatan zaman kini bukan lagi dari anak-anak bersenjata, melainkan dari orang-orang dewasa yang berusaha mencari alasan dengan logika. Sejalan dengan itu pada buku ”Inspirasi? Nonsens!“  karangan Kurnia Jr mengutip perkataan Gunawan Mohamad sebagai berikut, ”Tokoh pada `Merahnya Merah` ada selalu unsur ke-Tarzan-an. Tokoh Iwan yang tak bernama dan disebut `tokoh kita` dan `dia` punya fisik mental yang kuat untuk memilih situasi yang paling keras sekalipun. …seperti pahlawan dalam sastra realisme-sosialis.“  Pada buku yang sama Kurnia Jr menyitir pendapat Arief Budiman, “Tapi kesulitan Iwan menurut saya, dia terlalu genit, bombas dengan ide-idenya. Dia menurut saya bukan pengarang. Dia lebih seorang esais atau kritikus. Sebenarnya dia tidak pantas menulis novel, dia lebih pantas menulis esai atau kritik.“
Lepas dari berbagai interpretasi terhadap kepengarangan Iwan, tetap saja Iwan telah pergi dan mewariskan guratan corak kepenulisan baru. Tampaknya Iwan lebih dekat dengan pemikiran Sartre daripada Camus. Pada beberapa esainya di buku ini dia sering menyinggung dan membenarkan pemikiran Sartre. Iwan menganggap eksistensialisme Sartre itu bertuju ke suatu bentuk sosiologi yang lempang mengunjuk ke suatu acara sosial. Sartre bercondong ke suatu bentuk moral berlatar luas yakni, sosiologi yang marxistis. Sebagai pengarang Indonesia, Iwan lah yang terlihat paling loyal dan membenarkan pemikiran Sartre. Sebab itu layak dia disebut sebagai Sartre Indonesia. Seperti halnya Edward Said pernah menjuluki Nagib Machfuz sebagai Thomas Mann dari Arab. Atau Lu-Xun sering dijuluki sebagai Gorki dari China.
Pada esainya berjudul ”Manusia-souterrain“  , dia berang dengan seorang berinisial H.S. Berawal dari pidato Iwan di sebuah radio, mendapat kritik pedas dari H.S yang dimuat di majalah ”Jaman Baru“  milik Lekra edisi 20 Juni 1953. Iwan ditantang bertemu H.S untuk berdialog. Tapi Iwan menolak dengan jawaban santai “Mari mencipta! Masih terlalu sedikit ciptaan dalam kesustraan kita. Yang banyak baru ngomongnya saja.”  Apalagi kalau dikaitkan dengan prediksinya, bahwa masa produktif seorang pengarang berkisar antara 15-20 tahun. Masa itu penanya masih basah, khayalnya kaya. (Sekitar Surat Kabar Selentingan, hal:202).
Tentang proses kreatif pengarang, Iwan menurunkan esai berjudul “Kemungkinan-kemungkinan bagi Para Tunas Muda“  (hal:195). Dia memaparkan kejujuran Winston Churchill, peraih nobel sastra yang mengakui, karyanya “Memoires“ yang terdiri atas empat jilid sangat sukses. Kesuksesannya bukan karena mutu karyanya, malainkan Churchill menganggap lebih banyak disebabkan oleh pengaruh kepopuleran namanya sebagai negarawan dan pengarang.
Pengembaraan Iwan di negeri Eropa tak hanya mempelajari seni teater di Amsterdam, antropologi di Leiden, dan filsafat di Sorbonne, namun dia melakukan pengamatan pada perkembangan sastra di Belanda khususnya serta Eropa pada umumnya. Iwan mencontohkan seorang pengarang Belanda bernama Simon Vestdijk yang sangat berbakat saat itu. Pria bujang berusia 50 tahun itu dalam waktu setahun mampu menghasilkan tiga novel, satu kumpulan esai, dan satu kumpulan sajak. Karya-karya Vestdijk digemari dan selalu ditunggu-tunggu publik. Dalam pandangan Iwan keberhasilan sebuah karya lebih banyak ditentukan oleh bakat penulisnya.
Penyair kenamaan Jerman, Reiner Maria Rilke tak lepas pula dari kritiknya. Iwan menuduh Rilke penyair nyinyir, berdasar bacaan Iwan atas buku berjudul “Buku harian Malte Laurids Brigge“  (Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge). Iwan muak dengan ulasan panjang Rilke berhalaman-halaman hanya bicara tentang cat yang hampir pudar pada sebuah bingkai. Inginnya Iwan melemparkan jauh-jauh atau merobek-robek buku itu. Mitos  seniman yang harus morat-marit hidupnya atau didepak dari asmaranya, seperti dilakukan Rilke tak seharusnya diteruskan. Cara demikian menurut Iwan seperti beribadah pada era romantik. Sastrawan Jerman lain yang disinggung adalah Heinrich Böll. Ia mengharapkan kita untuk menuliskan apa saja yang Böll belum tulis.
Dari daratan Jerman Iwan meluruk ke Australia mempertanyakan kritik Harry Aveling perihal tak adanya humor sastra Indonesia yang sophiticated. Iwan memperkirakan humor model Indonesia sering tidak langsung. Puisi rakyat jelata kita adalah puisi alam bernada riang gembira. Dongeng-dongeng kita adalah folklore yang kocak tentang peri, jin, raksasa, dan roh nenek moyang kita. Singkatnya tanpa bakat alam akan humor ini, sudah sejak lama bangsa kita pupus dari muka bumi.
Dengan membaca kumpulan esai Iwan Simatupang ini, setidaknya pembaca bisa mendekatkan diri pada pola pikir pengarang yang pernah dijuluki sebagai pembaharu sastra Indonesia. Bagi pembaca yang datang dari generasi belakangan, terasa akan sedikit terganggu dengan banyaknya ungkapan bahasa Belanda yang dipakai Iwan. Mungkin pada zaman itu trend berbahasa Belanda menjadi barometers intelektual seseorang. 
Dalam kumpulan esainya, tampak sebuah mozaik pemikiran Iwan Simatupang mengenai kesusasteraan. Ia pertanyakan kembali apa dan bagaimana kerja pengarang, wajah karya sastra Indonesia, dan apa yang perlu dipikirkan demi masa depan kesusasteraan. Dari sana, tampaklah motif penciptaan yang melatari karya sastra Iwan Simatupang. Hal itu selanjutnya dapat kita telusuri lewat karya-karya fiksinya. 

“Apa yang harus dikarang pengarang? Apa saja, pada mana ia pada saat itu dapat memberikan seluruh dirinya, tanpa ragu-ragu. Bahwa sesudah itu, dia bakal digiring ke pojok surat kabar yang akan mempandirkan dirinya, atau digiring ke tiang gantungan, itu adalah persoalan sesudah saat itu, dan terhadap mana dia bukan subyek lagi, tetapi hanya obyek.” 

Pernyataan tadi termuat dalam esai Kekuatan Abstrak untuk Berkata Tidak yang dipublikasikan lewat majalah Siasat Baru, 17 Februari 1960. Dalam pernyataan tersebut tampak sikap dan pandangan Iwan sebagai pengarang memberikan totalitas sebagai subyek dalam menghasilkan karya. 

Tidak berhenti pada kemauan saja, Iwan menggalakkannya dalam kerja nyata yakni ‘mencari’. Dalam esai Mencari Tokoh bagi Roman yang dipublikasikan lewat majalah yang sama pada 30 Maret 1960, Iwan memulai pencariannya dengan mempertanyakan kembali wajah roman Indonesia. Jawaban atas pertanyaan tersebut memang ‘mencari’ yang juga bisa diwujudkan dengan ‘menciptakan’. Iwan ingin menekankan bahwa soal tokoh dan gaya bukanlah hal yang remeh dan formal saja. Ranah ini penting untuk dieksplorasi, dicari dan diciptakan kebaruannya. Totalitas pencarian yang tak henti-henti sebagai motif di balik penciptaan karya-karyanya ditegaskan lagi oleh Iwan dalam bagian akhir esainya sebagai berikut: 
“Selama jantung kepengarangan seperti ini masih berdetak, maka segala ramalan tentang nasib kesusasteraan umumnya, nasib roman khususnya, kita biarkan sebagai ramalan belaka—dan kita bekerja terus. Mencari terus garis-garis bagi sosok tubuh tokoh-tokoh roman kita yang akan datang.” 




BAB III
SURAT-SURAT POLITIK

“ Jika kita suka memakai ungkapan yang segar, menarik, lucu, dan terdengar cerdas, jika kita ingin bermain dalam I’esprit, kita harus berbohong sedikit”.

Surat-surat politik Iwan Simatupang lahir tahun 1964-1966 Penerbit: LP3ES, Jakarta, 986, 257 halaman
Iwan Simatupang, penulis sejumlah novel ganjil, cerita pendek yang aneh, lakon-lakon yang tak biasa, dan esei-esei yang sulit, tampaknya bakal dikenang juga sebagai semacam Ibu Kartini.
Dia pastilah orang kedua setelah putri bupati Jepara itu yang menggunakan surat sebagai bentuk ekspresi yang lengkap, dalam jumlah yang begitu besar dan dengan isi yang bisa jadi bahan rekaman tentang situasi Indonesia di suatu masa.
H.B. Jassin, kritikus termasyhur itu, juga pernah menerbitkan kumpulan surat-suratnya di tahun 1984. Tapi kelebihan surat-surat Iwan Simatupang bukan saja bentuknya yang panjang, dengan fokus yang jelas, melainkan juga kemampuannya mengungkapkan sesuatu yang tak sehari-hari. Kumpulan ini disebut “surat-surat politik”: di dalamnya memang tampak suatu sikap terhadap suasana politik yang mencekam dalam satu periode gawat sejarah Indonesia modern, tahun-tahun menjelang dan segera setelah peristiwa “Gerakan 30 September 1965″.
Di masa itu, surat memang bisa jadi alat pernyataan sikap dan ekspresi yang tak terelakkan. Di masa itu (seperti halnya di masa kini), tak semua orang dapat menyatakan pikirannya secara terbuka tentang keadaan. Dan yang bisa pun tak akan sepenuhnya berterus terang. Pers dalam masa akhir “Demokrasi Terpimpin” itu umumnya dikuasai oleh mereka yang sebarisan dengan PKI, yang waktu itu berpengaruh besar dl bidang media dan pemikiran. Banyak penulis lebih baik diam, atau mencoba memahami keadaan sembari mencoba menjaga pendiriannya sendiri, atau menulis dengan nama samaran, bila namanya sudah termasuk daftar hitam. Atau, seperti halnya Iwan, menulis surat kepada teman sendiri.
Kelebihan Iwan ialah bahwa ia memang gemar menulis surat. Ketika saya berada di Eropa tahun 1965-1966, saya juga ikut menerima beberapa pucuk suratnya (Juga “surat politik”): semuanya panjang, sampai empat halaman, ditulis tangan dengan huruf yang bagus serta rapi.
Ia menulis seperti ia bicara: iramanya retoris, pesonanya menemui suatu audtence dengan kembang api warna-warni kata-kata. Iwan kita adalah Iwan yang fasih, Iwan yang bijak bestari. Ia sangat mencintai kata-kata, khususnya yang keluar dari mulutnya sendiri dalam nada bariton yang lantang, atau dari guratan tangannya sendiri yang artistik.
Ada satu kalimat dalam Le Petit Prince yang bagi saya cocok untuk Iwan yang fasih ini: jika kita suka memakai ungkapan yang segar, menarik, lucu, dan terdengar cerdas, jika kita ingin bermain dalam I’esprit, kita harus berbohong sedikit.
Dalam kasus Iwan Simatupang, I’esprit itu begitu kuat mendorong, hingga kita tiap kali harus berhati-hati mana yang dipergunakan Iwan untuk cari efek, mana yang hasil imajinasi yang dimaksudkan untuk menghidupkan pembicaraan, dan mana yang betul-betul mengandung fakta.
Yang terakhir ini persentasenya sering kecil. Surat-surat Iwan karena itu bukan sepenuhnya rekaman keadaan.Ia harus hanya dilihat sebagai bahan rekaman.
Kumpulan ini berguna bagi mereka yang kini, dalam umur antara 20 dan 30 tahun, kurang bisa membayangkan bagaimana seorang intelektual seperti Iwan menghadapi masa yang genting itu.
Artinya, kumpulan ini penting sebagai ilustrasi sejarah. Toh artinya lain dari yang misalnya kita dapatkan dalam catatan harian Rosihan Anwar yang kemudian diterbitkan, Sebelum Prahara.
Rosihan, seorang wartawan ulung, adalah pencatat yang teliti. Iwan bukan: akurasi bahkan baginya sering seperti penghambat kenikmatan bercerita. Data, baginya, bisa membebani tubuh sebuah prosa yang asyik ingin terbang.
Namun, Iwan bisa mengagumkan dalam hal kemampuannya menganalisa keadaan. Baca saja teorinya tentang beberapa kemungkinan motif “Gerakan 30 September”, dan tentang kemungkinan-kemungkinan politik sebelum Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya. Bahkan di bulan Agustus 1965, sementara orang banyak belum mengenal Soeharto, Iwan telah menyebut nama perwira tinggi ini sebagai salah satu “jaminan bangsa kita” (hal. 91).
Itu dilakukannya waktu mencoba menyusun skenario “masa-depan-tanpa-Sukarno”. Tentu saja harus dicatat: Iwan adalah seorang antikomunis dalam bentuknya yang paling marah, juga seorang anti-Soekarno dalam bentuknya yang paling tajam. Ia memang pernah menyebut diri “Marxis” dalam suratnya, juga menyebut kekagumannya pada Bung Karno — tapi rasanya itu cuma sejenis teknik memperkukuh pernyataan. Saya tak mendapat kesan bahwa Iwan pernah berusaha memahami keadaan masa itu, pernah mencoba memahami Marxisme-Leninisme yang sedang berdengung, pernah mencoba menerima pikiran-pikiran Bung Karno. Dalam banyak surat ia bahkan menunjukkan sikap yang simplistis di dalam perkara ini.
Tapi mungkin justru di situlah kekuatannya dalam menghadapi kebingungan ideologis masa itu: iman antikomunis Iwan adalah iman yang sederhana dan teguh. Saya teringat, dalam suatu konperensi sastrawan di tahun 1964, yang berusaha dengan cara konyol menahan tekanan kuat PKI dan doktrin “Politik Sebagai Panglima”, Iwan bicara keras menentang ajaran penguasa waktu itu Manipol.
Ada tampaknya selalu yang kurang enak dalam pendirian semacam itu, tapi ada sikap Iwan yang bisa meluas bagai laut: Ia bisa membicarakan tokoh-tokoh politik waktu itu dengan semangat benci yang bahkan mengandung fitnah, juga sampai-sampai menyangkut soal keturunan, tapi Iwan juga bisa menulis begini: “Aidit harus diganyang dan seterusnya dan seterusnya — akur! Tapi jangan ikut kebuang prestasi-prestasi sosial yang sudah menjadi kenyataan di tanah air kita berkat Aidit dan kawan-kawan!”. Itu termuat dalam suratnya tertanggal 11 Oktober 1965.









DATA SUMBER

Simatupang, Iwan. 2013. Kooong. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Retno Iswandari 10:24:00 AMDescription: C:\Users\user\Documents\iwan simatupang\RETNO DARSI ISWANDARI_ Iwan Simatupang & Tokoh-Tokoh Imajinernya_files\icon18_edit_allbkg.gif
Blogger Buku Indonesia. Helvry | 30 Agustus 2013
Posting bersama BBI Agustus: sastra Indonesia







1 komentar:

  1. Terimakasih sudah menulis banyak tentang Iwan Simatupang, tapi ada satu yg saya cari, yakni soal IS yang dilaporkan Polisi karena dianggap menghina Tuhan,

    BalasHapus